EdukasiFeature

Kontribusi Peradaban Islam dalam Perkembangan Sains

Ilustrasi | suaraislam.com

ANTARA abad ke-9 dan ke-13, peradaban Islam berkontribusi besar terhadap perkembangan sains pramodern dan pengetahuan yang diteruskan dari Yunani ke Eropa melalui penerjemahan secara besar-besaran. Seiring waktu, keadaan berubah. Tiga abad kemudian, yaitu abad ke-16, muncul perkembangan sains modern di Eropa.

Terjadi revolusi besar metode keilmuan. Peristiwa ini membuat hubungan kekuasaan antarnegara diukur berdasarkan penguasaan teknologi. Akhirnya, hal itu mengarah pada kolonisasi bangsa-bangsa Eropa terhadap dunia Islam. Di sisi lain, ada upaya yang ditempuh sejumlah figur di negara-negara Islam dengan mengadopsi teknologi mereka.

Hal itu terjadi sekitar abad ke-19. Menurut Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, setelah Mesir ditaklukkan Napoleon Bonaparte, Muhammad Ali mengambil alih kekuatan negara dan berkuasa pada 1805 sampai 1848. Selama berkuasa, ia mengalihkan teknologi Prancis dan Inggris ke Mesir dengan mengandalkan para pekerja asing di Mesir.

Ia memperkenalkan cetak pres pertama. Semula langkahnya itu dikecam sebagian ulama karena ada bagian dari alatnya yang terbuat dari kulit babi. Namun, dia mampu mengatasinya sehingga Bulaq Press yang didirikannya mampu mencetak 81 buku berbahasa Arab dalam bidang sains antara 1821 dan 1850.

Percetakan, teknologi irigasi, pabrik tekstil, penambangan batu bara dan besi, serta perlengkapan militer menjadi prioritas perhatian. Sekolah-sekolah teknik didirikan untuk membangun sumber daya yang berketerampilan. Lebih dari 400 mahasiswa kala Muhammad Ali berkuasa dikirim ke Eropa untuk menimba ilmu sains dan taktik militer.

Orang-orang Turki Usmaniyah membangun kekuasaan yang besar dan luas pada abad ke-16, juga segera menyadari manfaat teknologi militer, khususnya senjata-senjata berat yang dapat mereka pinjam dari Barat. Perubahan radikal mencuat pada masa pemerintahan Selim III yang berlangsung pada 1761 hingga 1808.

Gagasan tentang modernitas mendorong Sayyid Akhmad Khan menjadi pembela perkembangan sains dan pemikiran modern. Ia berbeda pendapat dengan mereka yang menentang sains karena dianggap tabu dalam ajaran agama. Ia meyakini kekalahan umat Muslim oleh Barat akibat keterbelakangan mereka di bidang sains.

Ia tergerak menafsirkan kembali teologi Islam agar dapat dipadukan dengan gagasan sains dan humanisme. Kecaman mendera dirinya karena penafsiran ulang itu, tapi tak menghentikan sikapnya. Bahkan, ia mendirikan Universitas Islam Aligarh. Melalui lembaga pendidikan tinggi ini, ia memberi kesempatan kaum Muslim untuk belajar.

Dorongan untuk mengejar ketertinggalan penguasaan sains modern oleh umat Islam disampaikan pula oleh Jamal al-Din al-Afghani (1883-1897). Al-Afghani menegaskan, tak ada kontradiksi antara Islam dan sains. Islam, kata dia, justru menganjurkan pemikiran rasional dan melarang taklid buta.

Perbincangan mengenai sains dan Islam pada gilirannya melahirkan apa yang disebut dengan sains Islam. Mereka mengenalkan dan mendukung berargumentasi. Sains Islam menawarkan alternatif Islam terhadap tantangan sains Barat modern yang mereka anggap bersifat reduksionis dan tidak mengakomodasi keyakinan Islam.

Usulan-usulan menciptakan sains alternatif ini bermunculan sejak 1970-an. Penulis terkenal, Maurice Bucaille, merupakan salah satu pendukung istilah sains Islam ini. Dia adalah ahli bedah asal Prancis. Ia menguraikan pandangannya dalam karya yang berjudul The Bible, the Qur’an, and Science.

Menurut Bucaille, Alquran secara tepat mengantisipasi semua penemuan ilmu, sedangkan Injil tidak. Pandangan lain terlontar, sains Islam merupakan pengetahuan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam dan keyakinan tauhid, ibadah, kepemimpinan, dan menolak kezaliman serta untuk memenuhi rasa keingintahuan.

Mereka menilai, wahyu melebihi rasio dan harus menjadi pedoman utama memperoleh ilmu yang sahih. Ilmuwan Muslim, Seyyed Hossein Nasr, menegaskan, sains Islam yang benar hanya bisa didapatkan melalui ‘intelek’ yang merupakan pemberian Tuhan, artinya tak mengandalkan akal semata, tetapi hati.*

Sumber: Republika

Shares: