EditorialNews

Kontroversi Pemberlakuan Jam Malam di Aceh

Gegara Gim Online, Satu Kecamatan Berlakukan Jam Malam di Aceh Jaya
Ilustrasi, personel gabungan, TNI dan Polisi menyosialisasikan jam malam pada malam pertama pemberlakukannya di Aceh Jaya.

DALAM upaya pencegahan dengan menghindari kontak sosial (sosial distancing) kontak fisik (phisical distancing). Setidaknya telah tiga kali Plt Gubernur Aceh menerapkan aturan tersebut. Yakni dengan menerbitkan instruksi gubernur perihal libur 14 hari masa sekolah, untuk semua tingkatan, dan libur hingga 30 Mei 2020, juga bagi semua jenjang pendidikan.

Surat edaran juga diterbitkan untuk penutupan warung kopi, pusat keramaian, tempat wisata, dan sejumlah fasilitas lainnya yang memungkinkan terjadinya kontak sosial.

Terakhir sebagai ketua gugus tugas Covid 19, Plt Gubernur Aceh, bersama dengan Forkopimda Aceh menerbitkan maklumat pemberlakuan jam malam. Pembatasan waktu antara pukul 20.30 -05.30 wib tersebut, secara tegas mengatur aktivitas warga dan pusat-pusat keramaian lainnya, pada jam tersebut.

Tak pelak, maklumat pemberlakuan jam malam tersebut mendapat respon beragam dari beragam pihak. Sebagian ada yang setuju, menilai bahwa pendekatan itu secara massif dapat mencegah seluruh bentuk interaksi sosial pada malam hari. Secara nyata mengurangi penyebaran virus corona. Ada juga pihak yang bertentangan, menyebut, hal itu tidak sama sekali mengurangi atau mencegah penularan, dan bahkan hanya mematikan banyak usaha kecil.

Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Teguh Arif Indratmoko, dalam pernyataan yang diterbitkan ajnn.net, mengatakan, pemberlakuan jam malam, mampu menghentikan penyebaran covid 19 di Aceh.

Menurut jenderal bintang dua tersebut, pembatasan gerak masyarakat pada malam hari, merupakan upaya Forkompimda Aceh, mengurangi penyebaran virus, mengingat, kebiasaan warga di provinsi ini, berkumpul di warung kopi.

“Jam malam merupak upaya physical distancing secara massif,” ujarnya.

Hal serupa juga didukung oleh pengamat politik Unsyiah, Saifuddin Bantasyam. Menurutnya, penerapan jam malam, merupakan upaya pencegahan covid-19 oleh pemerintah Aceh. Walau banyak kritikan, sambungnya, hal itu merupakan bagian dari langkah pembatasan kontak fisik.

“Tentu kebijakan itu, sudah didasarkan pada perhitungan dan masukan banyak pihak, katanya kepada antaranews.com.

Penolakan pemberlakuan jam malam, datang dari anggota DPR Aceh, Irwan Djohan. Melalui akun facebooknya, politisi Partai Nasdem ini menyebutkan, jam malam tidak diperlukan, dan ia sama sekali tidak setuju atas kebijakan tersebut.

Menurutnya, jika Aceh menerapkan jam malam, meliburkan sekolah, menutup usaha masyarakat dan melarang keramaian, tapi masih membuka bandara, pelabuhan dan terminal, maka semua kebijakan itu tidak akan mengakhiri penularan virus corona.

Sementara, Kepala Ombudsman RI, perwakilan Aceh, Taqwaddin, menilai, pemberlakuan jam malam, yang dilaksanakan di provinsi ujung sumatera ini, telah melampui kewenangannya, dan ia meminta agar hal itu segera dicabut.

Sebagai sebuah kebijakan yang dilahirkan dan diputuskan oleh suatu forum para pimpinan daerah, tentu pemberlakuan jam malam di provinsi ini, dilahirkan atas banyak pertimbangan dan masukan. Keputusan itu, pasti diambil bukan atas sikap terburu-buru atau emosional.

Para pimpinan daerah, sebelum melahirkan keputusan itu, pastinya telah mempertimbangkan banyak aspek, dan diputuskan dengan rasionalisasi, sebagai langkah untuk pencegahan, yang memiliki dampak penting dalam mencegah penyebaran covid-19.

Sebagai satu kebijakan, pro dan kontra adalah hal biasa, sebab, tidak semua pihak memiliki pendapat yang sama, dan tidak semua orang dapat dipaksa harus menerima satu keputusan, di era demokrasi dan kebebasan berpendapat saat ini.

Pemberlakuan jam malam, tentu memiliki dampak sosial dan ekonomi yang besar, dapat saja mematikan sektor usaha kecil, yang mengandalkan waktu malam untuk mencari nafkah. Pun begitu juga dengan banyak pekerjaan informal, yang juga dilakukan malam hari, seperti supir ojol, pedagang, dan banyak usaha lainnya.

Jika ditelisik dari aspek, pembatasan sosial, pemberlakuan jam malam, secara efektif, mampu mencegah berkumpulnya masyarakat pada malam hari, seperti di warung kopi, pusat jajanan rakyat, mal, dan juga di warung makan.

Penyebaran covid-19 tentu tidak memandang pagi, siang dan malam. Namun, sebagai upaya pencegahan, semua langkah harus ditempuh, guna menghindari terjadinya kontak sosial dalam skala besar.

Karena itu, menilai efektivitas jam malam, tidak memiliki urgensi dalam penyebaranluasan covid-19 juga kurang tepat, selama belum ada pembuktian secara ilmiah.

Namun, kebijakan jam malam juga dapat dievaluasi, baik dari sisi batasan waktu, ataupun dari aspek peningkatan manfaat, berupa jaringan pengaman sosial, guna mengatasi beragam dampak ekonomi yang muncul. Jadi, kita tunggu saja, apa yang akan diputuskan pemerintah Aceh selanjutnya. (RED)

Shares: