FeatureNews

Kisah relawan tsunami Aceh yang rawat puluhan kucing

Natalina Cristanto satu dari sekian banyak relawan yang datang membantu saat provinsi berjuluk Serambi Mekkah ini dihantam gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 silam.
Natalina Cristanto memberi makan kucing di rumahnya kawasan Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

POPULARITAS.COM – Kucing-kucing dengan berbagai jenis berlarian menyusuri setiap sudut di ruangan berukuran sekitar 4×15 meter. Paling ujung sudut, terdapat sebuah taman mini berukuran 3×3 meter, lengkap dengan aneka macam fasilitas permainan.

Pada dinding taman terdapat lukisan berbagai jenis tamanan, seperti guguhan pemohonan, hamparan rumput, aneka bunga, rawa-rawa dan pagar yang terbuat dari potongan-potongan bambu.

Sebuah roda besar terpasang di dekat dinding, kucing-kucing itu secara bergantian naik ke atasnya. Lalu, berjalan di atas roda tersebut. Kucing semakin cepat berjalan, roda semakin melaju, memaksakan si kucing terus berlari.

Itulah sekilas gambaran suasana saban hari di rumah milik Natalina Cristanto di kawasan Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Perempuan berusia 41 tahun asal Bandung itu sejak 2012 menetap di Kota Banda Aceh.

“Awalnya memang saya dari kecil suka sama hewan peliharaan, cuma terkendala waktu itu kita masih sekolah dan kesibukan kuliah juga, jadi akhirnya nggak bisa fokus,” ujar Natalina, memulai pembicaraannya saat didatangi popularitas.com, beberapa waktu lalu.

Gempa dan tsunami 2004 salah satu alasan Natalina Cristanto hijrah ke Aceh. Dia juga satu dari sekian banyak relawan yang datang membantu saat provinsi berjuluk Serambi Mekkah ini dihantam gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 silam.

Jauh sebelum tsunami melanda, Natalina telah berniat untuk datang ke provinsi paling barat Indonesia itu. Hal ini berawal pada 1998, saat Natalina mendapatkan hidayah memeluk agama Islam.

Saat itu, Natalina masih tercatat sebagai mahasiswi semester empat Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani, Kota Cimahi, Jawa Barat.

Setelah memeluk Islam, Natalina banyak mendapat informasi, termasuk dari teman-temannya bahwa jika ingin belajar tentang Islam, maka datanglah ke Aceh. Sebab, Aceh dikenal sebagai provinsi Serambi Mekkah.

“Jadi sebelum kita mampu pergi ke Mekkah untuk berhaji, paling tidak kita pergi ke Aceh dulu untuk belajar dan memperdalam tentang agama Islam, supaya kita tahu apa itu Islam dan bagaimana itu Islam yang sebenarnya,” katanya.

Karena itu, Natalina bertekat dan bercita-cita suatu saat nanti bisa berkunjung ke Aceh. Natalina ingin belajar agama Islam lebih dalam dari kiai dan ulama di sana.

Seiring berjalannya waktu, Natalina akhirnya menyelesaikan pendidikan kedokteran di Universitas Achmad Yani pada 2003. Natalina kemudian melanjutkan study ke Khaterinen Hospital Unna, Jeman pada pertengahan 2003. Setahun di sana, Natalina pulang ke Indonesia dan bekerja di Jakarta.

Tak lama di Jakarta, gempa dan tsunami menghantam Aceh. Melalui siaran televisi, Natalina menyaksikan betapa dahsyatnya musibah itu. Teman-temannya di Jerman menghubungi Natalina untuk menanyakan keadaan.

“Karena diberitakan Indonesia, Aceh, mereka tidak tahu Aceh itu di mana, mereka taunya Indonesia dan saya berasal dari Indonesia,” kata Natalina.

Melihat kejadian itu, Natalina merasa terpanggil untuk membantu Aceh. Demikian juga dengan teman-teman di Jerman, mereka mengabarkan bakal ke Aceh untuk menyalurkan bantuan serta tenaga medis.

“Maret 2005, bersama teman-teman di Jerman, kami bergandengan dengan NGO lokal di situ, kami berangkat ke Aceh dan tinggal di daerah Prada,” tutur Natalina.

Selama kurang lebih sebulan di Aceh, Natalina bersama teman-temannya menyalurkan bantuan ke sejumlah kawasan yang terdampak gempa dan tsunami. Mereka juga ikut memberikan bantuan medis di tenda-tenda darurat.

“Kami juga bermain dengan anak-anak, di Lampulo, Punge, waktu itu kita fokusnya di situ, cuma sebulan, karena teman-teman saya juga harus kembali ke Jerman. Maka saya pun ikut pulang ke Jakarta bersama mereka,” ujarnya.

Ada perasaan sedih saat Natalina hendak meninggalkan Aceh. Natalina merasa belum maksimal mengerahkan tenaganya untuk korban gempa dan tsunami Aceh.

“Karena saya berangkat dengan teman-teman dari Jerman, maka saya juga harus ikut pulang, karena mereka berangkat atas keinginan sendiri, bukan NGO yang mempunyai surat tugas kusus,” jelas Natalina.

Kesempatan Kedua Melalui Kemenkes

Tak lama setelah kembali dari Aceh, Natalina mendapat informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia membuka peluang untuk bergabung bersama dokter PTT, penempatan Aceh. Natalina menjadi salah satu yang mendaftar dan dinyatakan lulus.

Saat itu, Natalina memilih Kabupaten Aceh Besar, dengan harapan bisa ikut kembali membantu kawasan-kawasan yang terdampak gempa dan tsunami Aceh. Ternyata, surat keputusan (SK) menetapkan Natalina ditempatkan di kawasan Lamteuba, Aceh Besar.

“Saya dari Bandung 6 orang bersama teman-teman melalui jalur PTT dari Kemenkes, sampai di Aceh, dari dinkes provinsi dikirim ke dinkes Aceh Besar, saya berdoa dan berharap ditempatkan di Leupung atau Lhoknga, rupanya ketika keluar SK, SK saya malah di Lamteuba,” ujarnya.

Ditempatkan di kawasan pedalaman menjadi tantangan dan pengalaman baru bagi Natalina dalam menjalani kehidupan. Jaringan telepon tidak ada, apalagi internet.

Saat awal-awal bertugas di Lamteuba, Natalina banyak menemukan masyarakat yang wajanya putih pucat, kekuningan dan demam menggigil. Setelah diperiksa, ternyata mereka menderita malaria.

“Dalam satu bulan itu kasusnya luar biasa,” tutur Natalina.

Natalina akhirnya paham tujuan ia ditempatkan di daerah pedalaman, meski bukan kawasan yang terdampak tsunami. Dia tahu kalau kawasan-kawasan yang terdampak tsunami sudah dipenuhi oleh relawan-relawan lokal maupun internasional, sementara pedalaman tidak.

“Artinya di luar daerah-luar tsunami itu, ada yang luput dari perhatian kita yaitu masyarakat yang endemis untuk malarianya, jadi saya fokus di Lamteuba dan fokus dengan program pemberantasan malaria di situ,” katanya.

Saat itu, kata Natalina, kasus malaria di Lamteuba benar-benar parah dan angka kematian juga tinggi. Penyakit ini juga terinfeksi pada ibu-ibu hamil.

Sebuah lembaga di Thailand bernama Trus Mae Fah Luang Foundation kemudian memberi dukungan pemberantasan malaria di sana. Melalui Malaria Preparedness Programme di Lamteuba, yayasan milik ibu suri kerajaan Thailand ini fokus memberantas malaria di Lamteuba.

“Start di Oktober 2006 kita lakukan tahapan-tahapan pemberantasan malaria bersama kader desa dan masyarakat. 2008 Lamteuba dinyatakan bebas dari malaria.”

“2010 Pencanangan Indonesia Bebas Malaria dilakukan di Lamteuba. Dan Lamteuba jadi percontohan di Indonesia untuk pemberantasan malaria,” ungkap Natalina.

Belajar dari Tsunami

Hari ini, genap sudah 17 tahun usia gempa dan tsunami Aceh. Bagi Natalina, bencana mahadahsyat itu mengajarkannya banyak hal; bahwa apa yang dimiliki seseorang itu bisa kapan saja hilang dan apa yang diinginkan seseorang itu belum tentu yang terbaik.

“Seperti saya berharap supaya saya lebih banyak berbuat untuk korban-korban tsunami, ternyata saya ditempatkan di daerah Lamteuba, daerah sama sekali yang tidak terdampak tsunami, malah di situ saya dihadapkan dengan endemis Malaria,” katanya.

Natalina berharap semua pihak jangan pernah melupakan bencana tersebut. Tsunami 2004 adalah sejarah bagi kehidupan masyarakat Aceh. Kejadian ini semestinya dijadikan pelajaran untuk lebih baik di masa depan.

“Tsunami jangan pernah dilupakan, itu tetap menjadi bagian sejarah dari hidup kita, perubahan hidup kita saat ini adalah dari tsunami, terutama untuk saya pribadi,” ucap Natalina.

Natalina juga berharap kepada teman-temannya yang pernah menjadi relawan bahkan masih menjadi relawan kemanusiaan hingga sekarang agar ikhlas dan istiqamah dalam menjalankan tugasnya.

“Relawan itu tidak mempunyai gaji, relawan itu harus ikhlas dan mudahan kita harus istiqamah di jalan kita, tetap bersedia membantu, menolong orang, di mana pun, kapan pun tanpa pamrih dengan ikhlas. Biarlah yang kita buat ini Allah yang membalas nanti,” kata Natalina.

Dari relawan kemanusiaan ke relawan penyelamat hewan

Selesai bertugas sebagai dokter PTT Kemenkes pada November 2011, Natalina kemudian berpindah ke Banda Aceh. Di pusat ibu kota provinsi Aceh ini, Natalina bekerja di salah satu rumah sakit Malaysia cabang Provinsi Aceh.

Selain sibuk pada rutinitasnya sebagai seorang dokter, Natalina juga memanfaatkan waktu luang menyalurkan hobinya, yaitu memelihara kucing.

Saat ini, ada 80 ekor kucing yang dipelihara Natalina. Jenis-jenis kucing yang dipelihara di antaranya Bengal, Ocicat, Abbysinian, American Curl, Exotic, Persia, Sphynx, Munchkin, Kinkalow, dan Mainecoon.

Natalina Cristanto memberi makan kucing di rumahnya kawasan Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

Hobi Natalina memelihara kucing bukan hanya sekedar hobi, ia juga sering kali menyelamatkan kucing yang terlantar dan sakit di jalan. Kucing-kucing tersebut kemudian diambil dan divaksin, baru kemudian dirawat layaknya kucing-kucing lainnya.

“Misalnya di jalanan atau dari tempat-tempat buang sampah gitu, tapi khusus yang saya ambil yang kecil-kecil aja yang besar-besar nggak saya ambil. Selain kucing jalanan, ada yang memang saya adopsi untuk yang ras-ras tertentu dan ada juga yang ngawinin sama punya kawan nanti bagi anak,” ungkapnya.

Puluhan kucing yang dimilikinya juga diberi nama yang unik, misalnya Sierra Nevada, Raflesia, Ali Baba, Tanzania, Alphard dan Mercedes.

Natalina menabalkan nama-nama tersebut sesuai dengan karakter kucing. Apabila kucing tersebut terlihat gagah misalnya, maka namanya sedikit ekstrem, seperti nama-nama pegunungan di berbagai belahan dunia.

“Kebetulan anak dan saudara dia saya kasih nama seperti nama mobil semua, seperti Alphard, Mercedes, kek gitu, jadi pakai tema-temanya. Kalau anak bengal pakek tema pegunungan, Fuji Yama, Everest, Sierra Nevada,” ujarnya.

Nama-nama yang diberikan pada kucing-kucingnya bukan tanpa alasan. Natalina ingin anaknya belajar geografi dari nama-nama kucing itu, misalnya nama-nama pegunungan.

“Jadi dia tau Fuji Yama, nama-nama pegunangan,” kata Natalina.

Kucing-kucing miliknya dirawat sepenuh hati. Biasanya, ia memandikan kucing tersebut dua minggu sekali, khususnya kucing yang berbulu panjang. Sedangkan kucing yang berbulu pendek dimandikan 1 atau 2 bulan sekali. Perawatan itu di luar perawatan rutin yang dilakukan setiap hari, seperti menyisir bulu.

Mengurus 80 ekor kucing, kata Natalina tidak mengganggu waktu kerja dan waktunya mengurus keluarga. Bahkan tak jarang kucing-kucing itu menghibur sepulang kerja, misalnya ada yang datang mencium-cium, kemudian seperti memijat-mijat. Itu membuat lelahnya hilang.

“Setiap hari tingkah mereka itu ada-ada aja, selalu berubah-ubah. Kalau yang lucunya paling pas mandi ada yang nyanyi saat dimandikan, ada yang diam berendam, juga ada yang guling-guling dan lompat-lompat,” ujarnya.

Meski sudah dirawat dengan baik, termasuk diberi vaksin, beberapa kucing Natalina pernah sakit dan mati. Pada 2018 misalnya, ada sekitar 17 ekor kucing yang mati karena terpapar virus. Seperti virus Panleukopenia, Calici Virus, Chalmydia, dan Feline Infectious Peritonitis (FIP)

“Virus yang paling bahaya adalah seperti Feline infectious peritonitis (FIP). Ini penularannya sangat cepat juga,” demikian Natalina.

Shares: