FeatureHeadline

Kisah Pilu Siti ASN Dinkes Aceh

Pemecatan Siti, berawal dari penyakit yang dialaminya, yakni skizofrenia paranoid, pada 2006 silam. akibat dari sakitnya tersebut, perempuan itu mendapatkan gangguan otak yang menyebabkan dirinya mengalami kelainan dalam berpikir.
Kuasa Hukum Siti Nuri, Herni Hidayati didampingi keluarga Siti Nuri (kiri) memberikan keterangan kepada wartawan di Banda Aceh, Senin, 16 Desember 2019 sore. (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

SITI Nuri, pada 2019 ini, usianya memasuki 53 tahun. Yang bersangkutan merupakan pegawai negeri sipil, atau saat ini disebut ANS, pada Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh.

Kisah Siti, sebagaimana diungkapkan oleh penasihat hukumnya, Herni Hidayati, sangat memilukan. Betapa tidak, sejak 2015 lalu, perempuan yang pernah mengenyam pendidikan ilmu kimia di Universitas Indonesia (UI) tersebut, diberhentikan dengan tidak hormat, dari instansi tempatnya mengabdi.

Pemecatan Siti, berawal dari penyakit yang dialaminya, yakni skizofrenia paranoid, pada 2006 silam. akibat dari sakitnya tersebut, perempuan itu mendapatkan gangguan otak yang menyebabkan dirinya mengalami kelainan dalam berpikir.

Secara medis, skizofrenia juga suatu penyakit berupa kelainan dalam merasakan atau mempersepsikan lingkungan sekitarnya. Prinsip singkatnya, penderita skizofrenia memiliki kesulitan dalam menyesuaikan pikirannya dengan realita yang ada.

Perihal pemecatan tidak hormat yang dialami Siti, hal inilah yang menjadi dasar gugatan pihak pengacara, agar pihak Ombudsman Aceh, dapat meminta laporan akhir pemeriksaan (LHAP), yang ada pada Dinkes Aceh. Sebab, menurut para kuasa hukum tersebut, instansi itu telah melakukan maladministrasi.

Dalam keterangannya, Herni Hidayati, selaku kuasa hukum Siti Nuri, mengatakan, pemecatan dengan tidak hormat atau PTDH, yang dilakukan oleh Dinkes Aceh itu, cacat prosedur, dan tidak dilakukan dengan dasar dan prinsip-prinsip yang berlaku. Sebab, terangnya, Siti Nuri, adalah pasien yang mengalami gangguan jiwa, dan hal tersebut telah dibuktikan dengan surat pemeriksaan kesehatan yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh.

“Kami hanya ingin keadilan, agar surat PTDH terhadap Siti dapat direvisi, agar hak-hak yang bersangkutan dapat dibayarkan,” katanya.

Sebab itulah, pada Januari 2019 lalu, pihaknya telah melaporkan perkara yang dialami kliennya itu ke Ombudsman di Jakarta. Dan lalu, lembaga pemantau pelayanan publik tersebut, telah memerintahkan perwakilannya di Aceh, untuk melakukan pemeriksaan kembali terhadap LHAP Siti Nuri, yang dikeluarkan oleh dinas tersebut, sebagai dasar PTDH terhadap kliennya itu.

Dari laporan yang diperoleh pihaknya, dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh staf Ombudsman Aceh, memang didapati adanya pelanggaran prosedural dalam pemecatan Siti Nuri, dan disebutkan, lembaga itu telah meminta agar Dinkes Aceh, meninjau kembali, SK nomor 888/005/2015 tanggal 10 Juli 2015.

“Peninjauan SK pemecatan, sebagai bentuk upaya hukum agar hak Siti Nuri dapat diberikan,” ujarnya.

Herni, selaku kuasa hukum Siti, kembali melanjutkan, pihaknya bersama keluarga akan terus berupaya menempuh berbagai langkah dan upaya hukum, agar apa yang dialami oleh Siti, dapat dicarikan jalan keluar. Sebab, pihak keluarga selama ini telah menyampaikan kepada Dinkes Aceh, berupa bukti yang menguatkan, berupa hasil pemeriksaan medis, dan hasil sidang etik, yang memperkuat kedudukan kliennya yang mengalami gangguan jiwa.

“Namun sejumlah bukti yang diajukan ke instansi tersebut, tidak dianggap dan diabaikan,” jelasnya.

Sementara Sadiah AR adik kandung Siti Nuri, kakaknya tersebut, sejak kecil, hingga dewasa, dalam kondisi normal, dan bahkan, pernah mengenyam pendidikan dan tercatat sebagai mahasiswi S2 di jurusan Ilmu Kimia, di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Saat kuliah itulah, kakak kandungnya itu mengalami goncangan kejiwaan, dan sempat terlantar di Jakarta.

Pihak keluarga, kata Sadiah, selama ini telah menyampaikan ke pihak Dinkes Aceh bahwa yang bersangkutan sudah tidak cakap atau mengalami gangguan jiwa saat sidang etik pada tahun 2015.

“Alasan dan bukti kakak saya mengalami kejiwaan sudah kita sampaikan dan serahkan ke pihak Dinas, namun pemerintah Aceh tidak mempertimbangkan surat dari RSJ Aceh,” sesalnya.

Dan bahkan, yang menyedihkan, instansi tersebut, langsung mengeluarkan pemecatan dengan tidak hormat, tambahnya.

Sebenarnya, katanya, pihak keluarga hanya meminta agar Gubernur Aceh, dapat mempertimbangkan kembali, surat PTDH terhadap kakaknya tersebut, dan direvisi menjadi surat Pemecatan Dengan Hormat atau PDH, agar hak-hak kakaknya dapat diberikan.

“Toh selama ini, sebelum dinyatakan mengalami gangguan jiwa, kakaknya telah mengabdi 30 tahun pada negara,” ujarnya. (*RED/C-008)

Shares: