NewsRamadan 1441 H

Kisah Para Muslim di AS Jalani Ramadhan di Tengah Pandemi

Ilustrasi, muslim amerika. (foto: AP)

(popularitas.com) – Biasanya Jamilah Shakir mengubah rutinitasnya selama Ramadhan. Setiap malam ia akan berada di Masjid Al-Islam di Atlanta atau masjid lainnya di dekat sana. Kini pandemi virus corona menyebabkan masjid-masjid di seluruh Amerika Serikat (AS) ditutup. Demi memutus rantai penularan jamaah pun dilarang datang.

“Rasanya sedikit aneh, tidak beribadah di komunitas rasanya sangat, sangat berbeda,” kata Shakir.

Bagi muslim AS tidak ada waktu yang paling tepat untuk berkumpul di masjid selain bulan suci Ramadhan. Di setiap sudut negeri itu setiap muslim menghadiri undangan buka puasa bersama lalu sholat tarawih berjamaah.

Pada akhir pekan terutama bagi mereka yang ketinggalan tarawih akan berlama-lama di masjid. Hingga mereka sahur bersama dan kembali sholat subuh berjamaah.

“Masjid memainkan peran yang lebih penting sebagai pusat komunitas muslim Amerika, karena muslim minoritas, mereka harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkan pengalaman komunal yang unik selama Ramadhan,” kata profesor Kajian Islam dan Arab American Islamic College Feryal Salem.

Namun Ramadhan tahun ini terjadi saat pandemi melanda seluruh dunia. AS menjadi dengan kasus infeksi dan pasien meninggal tertinggi di dunia. Muslim AS pun harus menjalani Ramadan dengan cara yang berbeda, lebih bersifat virtual dan terkadang sepi.

Mereka mengubah beberapa ritual spiritual dan sosial dengan mencampur antar beribadah di rumah dan program religi daring. Acara buka bersama daring menjadi salah satu pilihan sehingga ada beberapa muslim yang tak perlu berbuka sendirian.

Namun tentu tidak semua hal bisa dilakukan dengan jarak jauh terpisahkan layar. Mereka tidak berbagi piring, jamaah tidak lagi saling membangunkan satu sama lain, dan mereka tidak bisa saling berpelukan.

Berpelukan dan sholat berjamaah adalah dua hal yang paling Shakir rindukan. Tapi ia tetap bersyukur. Keluarganya tinggal di South Atlanta yang memiliki banyak keluarga muslim.

Shakir masih berencana untuk bertemu dengan tetangganya, tentu dari kejauhan. Ia dan putra-putranya mungkin akan membakar daging untuk buka puasa di depan rumah mereka.

“Walaupun sangat berbeda dari bagaimana biasanya kami berkumpul, saya masih bersyukur Allah menempatkan kami di komunitas Islam dalam masa ini,” katanya.

Muslim di seluruh AS berusaha beradaptasi dengan situasi yang tak pernah terjadi sebelumnya. Mulai dari mualaf yang menjalani Ramadhan pertama hingga seorang terapi pernapasan yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan pekerjaannya di garda depan pandemi virus corona.

Ricardo Ramirez menjadi mualaf di hadapan banyak muslim lainnya. Tepat setelah ia selesai mengucapkan syahadat orang-orang yang menyaksikan proses itu menyerukan ‘Allahu Akbar’.

Saat itu Ramirez diberitahu ‘semua saudara dan saudari ini adalah saudara dan saudari kamu’. Ia pun berjabat tangan dengan banyak orang, berpelukan dengan banyak orang.

Ramirez mengatakan sejak saat ini komunitas muslim selalu hadir untuknya. Tapi ia harus menghadapi tantangan dalam perjalanan spiritualnya. Ramadhan pertamanya sebagai muslim diganggu oleh pandemi virus corona yang menyebabkan masjid-masjid ditutup.

“Ini akan menjadi sangat sulit. Saya memiliki banyak pertanyaan dan banyak hal ingin saya lihat dan tanyakan,” katanya sebelum Ramadhan.

Percakapan tentang Ramadhan yang memicu minat Ramirez pada Islam. Pada tahun 2017 ia menyadari rekan kerjanya tidak makan seharian. Rekan kerjanya itu memberitahu Ramirez ia sedang berpuasa.

“Saya tidak pernah melihat orang yang berbicara tentang agamanya seperti dia, bahkan saat semua yang terjadi di dunia bersifat negatif terhadap muslim, dia masih bersemangat memberitahu saya,” kata Ramirez.

Lahir di Texas dari orang tua keturunan Meksiko, Ramirez dibaptis Katolik. Tapi saat tumbuh dewasa pengalamannya dengan Katolik terbatas pada upacara dan budaya. Ibunya marah saat ia beritahu ia tertarik dengan Islam.

“Tampaknya banyak orang yang pernah mengalami percakapan yang sama dengan orang tua mereka,” kata Ramirez.

Tapi tiba-tiba ibunya berubah pikiran. Ketika sedang melakukan perjalanan bisnis ke Arab Saudi, ibunya membelikan Ramirez sajadah, Al-Quran, tasbih, dan kurma. Ia ingin membatalkan puasanya dengan kurma itu.

Berbeda dengan mualaf yang antusias menjalani bulan puasa pertamanya. Terapis pernapasan Jumana Azam harus berjuang menyelamatkan nyawa selama berpuasa.

Di malam pertama bulan Ramadhan tahun ini, Azam harus tetap terjaga hingga sahur dan baru tidur setelah sholat subuh. Ia baru pulang pada pukul 02.00 dari tempat kerjanya di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Rush University.

Beberapa pekan yang lalu Azam mengkhawatirkan keselamatan nyawanya. Ia khawatir terinfeksi virus corona saat sedang merawat pasien Covid-19.

“Saya sedih, bingung, dan saya tidak tahu apakah mental dan fisik saya cukup kuat untuk berada di garda depan,” kata Azzam.

Ia mengatakan saat ini imannya cukup goyah. Pada awal April lalu jumlah pasien Covid-19 di Chicago melonjak tajam. Jam kerja Azam pun bertambah menjadi 16 jam. Ia hanya dapat beristirahat untuk makan atau sholat lima waktu.

Pekerjaan yang menguras fisik ini menggoyahkan Azam. Ia khawatir tidak sanggup untuk tidak makan dan minum selama 15 jam. Azam mengatakan ia mulai puasa bulan Ramadhan saat berusia 10 tahun.

Ini pertama kalinya ia mempertimbangkan untuk tidak berpuasa. “Dari sisi emosional dan spiritual, ini sangat sulit bagi saya bahkan untuk merenung,” kata Azam.

Sumber: republika

Shares: