FeatureHeadline

Kisah Nadiah Melahirkan di Bukit Kala Tsunami Menerjang Aceh

Muhammad Rizal didampingi ibunya Nadiah dan ayah Razali memperlihatkan ijazah untuk mempertegas bahwa ia lahir pada 26 Desember 2004 silam. (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

15 TAHUN silam, tepatnya 26 Desember 2004 adalah hari yang tak terlupakan bagi Nadiah dan keluarganya. Wanita berusia 55 tahun itu menjadi saksi hidup bagaimana dahsyatnya gempa dan gelombang tsunami.

Meski kejadian itu telah berlalu belasan tahun silam, tetapi ingatan Nadiah tentang bencana itu masih melekat kuat. Dia bahkan masih mengingat bagaimana momen terjangan ombak tsunami hitam pekat mengejarnya dari belakang.

Saat itu, Nadiah yang digandeng sang suami lari tertatih-tatih dengan kondisi perut buncit karena sedang mengandung 9 bulan. Suaminya, Razali, seorang nelayan di kawasan Lampageu, Kecamatan Peukan Bada, Kota Banda Aceh.

Wate nyan memang hana pike sapeu lee, lon hana terasa saket sapeu, kamo tetap plung (waktu itu memang tidak pikir apa-apa lagi, saya tidak terasa sakit apa-apa, kami tetap berlari),” kata Nadiah saat dijumpai di rumahnya di kawasan Lambadeuk, Kecamatan Peukan Bada, Kota Banda Aceh, Minggu, 22 Desember 2019.

Nadiah adalah salah satu perempuan yang melahirkan beberapa jam setelah bumi Aceh diterjang air bah. Ia melahirkan seorang putra yang kemudian diberi nama Muhammad Rizal, dalam kondisi tanpa bantuan medis.

Saat tsunami menerjang pesisir Peukan Bada, Nadiah, Razali, dan anak-anaknya, lari menyelamatkan diri ke pegunungan yang ada di kecamatan setempat.

Kemudian, pada hari yang sama sekira pukul 18.00 WIB di tengah hutan pegunungan setempat, Nadiah mengerang kesakitan. Suaminya, Razali panik bukan kepalang. Lantas, ia memutuskan untuk turun gunung guna mencari bantuan.

Menyisiri bekas-bekas terjangan tsunami, Razali kemudian mengambil sehelai kain gorden yang terbawa arus. Lalu, ia bawa ke atas pegunungan dan digelar di atas rumputan liar. Di sana, Nadiah ditidurkan.

Di ateuh naleung lako inan lon leung ija jendela, di sinan keuh mak jih melahirkan (di atas rumput di sana saya gelar kain gorden, di sanalah ibu Muhammad Rizal melahirkan),” kata Razali mengisahkan perjuangannya bersama istri, 15 tahun silam.

Muhammad Rizal, menemani sang ayah merajut jala di rumahnya di Desa Lambadeuk, Kemukiman Lampageu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, Minggu, 22 Desember 2019. (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

Beberapa saat kemudian, jelang azan magrib berkumandang, Muhammad Rizal lahir ke dunia. Ia disambut oleh hening dan gelapnya malam. Sebab, kehangatan mentari baru saja tertelan oleh sejuknya langit sore.

Kekhawatiran Razali semakin menjadi-jadi saat ia tak tahu bagaimana cara memotong tali pusar Muhammad Rizal. Tak ada benda tajam, apalagi gunting. Hal ini memaksakan Razali harus kembali turun ke perdesaan.

Di tengah gelapnya malam, Razali menyisir puing-puing bekas terjangan gelombang laut. Lalu, dia menemukan sebilah parang dan dibawa ke lokasi sang istri melahirkan. Kemudian, tali pusar Muhammad Rizal dipotong dengan parang tersebut.

“Waktu potong tali pusar di situ tidak ada cerita lagi, siapa yang potong, dengan apa dipotong, pakai apa untuk dipotong, waktunya udah azan magrib, saya lari lagi ke pinggir air. Di remang-remang itu dapat lagi parang bekas itu, saya bawa ke sana, potong tali pusar diikat dengan tali goni,” kenang Razali.

Saat itu, hanya satu harapan yang tertanam dalam benak Razali, yakni bagaimana caranya sang istri Nadiah dan anaknya Muhammad Rizal bisa selamat. Waktu terus berjalan, mereka melewati hari-hari dengan makanan seadanya yang berasal dari bekas terjangan tsunami dan hasil alam di pegunungan.

“Harus selamat dia, tiga hari tiga malam kami di hutan, tidak ada stok makanan, kalau bicara masalah makanan hari pertama memang tidak kami pikirkan, tidak susah lah kira-kira, itu cobaan,” kata Razali.

Kata Razali, tiga hari berselang mereka baru turun gunung. Kemudian berjalan di antara puing-puing bekas terjangan tsunami hingga ke pusat Kecamatan Peukan Bada. Sekitar sepekan pasca kejadian, mereka dijemput oleh seseorang menggunakan truk dan dibawa ke kawasan pengungsian di kawasan Lampeuneurut.

“Ceritanya waktu itu sudah tampak enakan sedikit lah, sudah mulai ada stok makanan,” jelas Razali.

Suami Nadiah, Razali saat ditemui di rumahnya di Desa Lambadeuk, Kemukiman Lampageu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, Minggu, 22 Desember 2019. (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

Hari ini, Kamis, 26 Desember 2019, genap 15 tahun sudah Aceh dihumbalang gempa dan tsunami. Masyarakat di Bumi Serambi Mekkah sudah memulai hidup baru. Mereka menjadikan peristiwa tersebut sebagai pelajaran untuk masa depan.

Demikian juga dengan Muhammad Rizal. Hari ini dia sudah menginjak umur 15 tahun. Remaja berparas tampan itu sedang duduk di kelas satu salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Kecamatan Peukan Bada.

Di sekolah, Muhammad Rizal tergolong siswa yang aktif. Selain ditunjuk sebagai ketua kelas, ia juga terlibat sebagai salah satu anggota Paskibraka pada peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Selain di sekolah, Muhammad Rizal juga aktif di dayah atau pesantren. Selain belajar tentang agama, di sana, dia juga aktif sebagai salah satu anggota zikir.

“Biasanya waktu maulid kami berzikir di tempat yang diundang panitia,” demikian Muhammad Rizal.* (C-008)

Shares: