FeatureHeadline

Kisah Fatmawati berjualan sirih selama 53 tahun

PEREMPUAN renta itu tampak masih cekatan melayani pembeli, sesekali Ia mengeraskan suaranya sembari berkata piyoh…piyoh…piyoh, dengan logat Aceh yang khas. Piyoh sendiri, bermakna meminta kepada para orang yang lewat atau pengujung untuk singgah atau mampir.
Kisah Fatmawati berjualan sirih selama 53 tahun
Fatmawati (6

PEREMPUAN renta itu tampak masih cekatan melayani pembeli, sesekali Ia mengeraskan suaranya sembari berkata piyoh…piyoh…piyoh, dengan logat Aceh yang khas. Piyoh sendiri, bermakna meminta kepada para orang yang lewat atau pengujung untuk singgah atau mampir.

Kala popularitas.com, Sabtu (6/2/2022) menghampiri perempuan itu, Ia memperkenalkan namanya Fatmawati, dan diterangkannya berdagang Sirih di seputaran Masjid Raya Banda Aceh telah dijalaninya sejak 1969. “Saat itu saya ikut nenek berjualan, dan kini melanjutkannya. Kalau dihitung sudah hampir 53 tahun berdagang sirih di sini,” terangnya kemudian.

Fatmawati adalah satu dari puluhan pedagang sirih yang berjualan di sisi sebelah utara Masjid Raya Baiturrahman. Para penjaja ranup sebutan sirih dalam bahasa Aceh itu, berdagang sejak pagi hingga tengah malam.

Di bawah atap berbentuk setengah kerucut dibalut dengan terpal bewarna biru dan tiang-tiang bercat putih, Fatmawati dan puluhan pedagang sirih lainnya berjibaku dengan para pedagang kaki lima lainnya yang memadati seputaran Masjid Raya Baiturrahman.

Menurut Fatmawati yang kini usianya menapaki 63 tahun,  berjualan sirih adalah pekerjaan turun menurun yang dilakoni keluarganya. Saat disinggung menganai pendapatan, Ia tersenyum seraya mengatakan hasil berdagang tidak selalu memuaskan. Kadang ramai banyak penghasilan, kalau sepi yah gak ada pemasukan, tambanya.

Rumah perempuan itu sendiri berjarak tidak kurang satu kilometer dari lokasinya berdagang, dan setiap harinya Ia membawa dagangannya menggunakan becak. “Sesekali suami ada membantu,” ujarnya.

Sirih merupakan salah satu kuliner khas Aceh, Fatmawati sendiri menjual beragam Jenis ranup dengan aneka rasa, ada manis, pahit, dan juga Ia menjual pinang muda yang sudah dikemas dalam plastik.

Ranup yang dijual Fatmawati merupakan campuran berbagai bahan, seperti sirih, pinang muda, dan kapur makanan. Kesemua bahan-bahan itu dijadikan satu, berbentuk kerucut dan siap di konsumsi langsung oleh para pembeli.

Harga sirih siap makan yang dijual Fatmawati terbilang murah, hanya Rp5 ribu rupiah para pembeli sudah bisa mendapatkan dua buah sirih yang langsung dapat di konsumsi. Selain itu, perempuan itu juga menjual daun sirih seharga Rp5 ribu perikat.

Para pembeli dagangannya, sebut Fatmawati umumnya warga Banda Aceh dan Aceh Besar, serta para pengunjung dari luar daerah yang datang ke Masjid Raya.

Sirih atau dalam bahasa Aceh disebut Ranup merupakan kuliner khas Aceh yang dianggap sebagai simbol memuliakan tamu, perdamainan dan kehangatan sosial, dan pada acara pernikahan.

Dalam tradisi masyarakat Aceh ranup merupakan budaya yang sudah ada sejak 300 tahun atau disebut zaman neolitik hingga sekarang. Konon tradisi makan ranub dibawa oleh rumpun bangsa Melayu sejak 500 tahun  sebelum masehi ke beberapa Negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Namun seiring perkembangan zaman, sirih dapat dibentuk dengan berbagai kerajinan tangan, saat hantaran sirih dapat dibuat dengan berbagai macam bentuk, salah satunya adalah Kupiah Meukeutop (Kupiah Aceh yang biasa dipakai pengantin laki-laki).

Sirih yang mereka jual awalnya dibeli dari Pasar Peunayong. Setelah membeli, sirih akan dibersihkan dan kemudian akan isi dengan pinang dan kapur, kemudian dibentuk sedemikian rupa, sehingga ketika pembeli datang, konsumen bisa langsung mencicipinya. Ranup sendiri dapat bertahan selama dua hari jika tidak di masukkan dalam lemari pendingin dan rasanya tetap nikmat.

 

Editor : Hendro Saky

Shares: