HeadlineIn-Depth

Ketika BRA Menjelma Jadi ‘Gudang Handuk’

POPULARITAS.COM – Masyarakat Aceh sejak dua hari ini dihebohkan dengan beredarnya data atau dokumen bantuan sosial berupa handuk untuk eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan korban konflik. Pengadaan handuk ini disebut dikelola oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA).

Dari data dihimpun popularitas.com, ada puluhan ribu lembar handuk yang akan dibeli menggunakan APBA 2021, di mana per lembar memakan biaya Rp 100 ribu. Apabila dijumlahkan, puluhan lembar handuk tersebut menyentuh angka Rp 2 miliar lebih.

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian ikut menyoroti rencana pengadaan puluhan ribu handuk tersebut. Menurutnya, pengadaan handuk tidak ada relevansi dengan kebutuhan sebenarnya.

“Pemerintah perlu segera mengevaluasi terhadap kinerja BRA saat ini, kebijakan yang tidak relevansi terhadap kebutuhan korban makin saja dipopulerkan,” kata Alfian saat dihubungi popularitas.com, Kamis (25/3/2021).

Dalam catatan MaTA, kata Alfian, kegiatan yang tak ada relevansi itu bukan kali pertama ini saja dilakukan BRA. Sebelumnya, kegiatan tour moge juga sempat menghebohkan masyarakat Aceh. Setelah mendapat pertendatangan, kegiatan itu kemudian dibatalkan.

“Ini kebijakan yang ada relevansinya dengan kebutuhan sebenarnya, ada ketidakberesan di perencanaan dan ini perlu dievaluasi secara menyeluruh, terutama terhadap kinerja. Karena tata kelola BRA saat ini menjadi sudah perhatian publik,” ucap Alfian.

Seharusnya, kata Alfian, perencanaan BRA harus berbasis dan sesuai kebutuhan korban konflik, bukan kebijakan yang tidak waras terus dimunculkan. MaTA bahkan menilai, kebijakan BRA terus menimbulkan pertanyaan dan kehebohan di publik.

“Pertanyaanya kemudian, apakah mantan kombantan dan korban komflik saat ini kebutuhan handuk? kalau alasan hanya perencanaan dibuat sementara ini malah lebih bahaya karena anggaran yang telah teralokasi wajib direalisasikan dan sesuai dengan kewenangan,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut Alfian, MaTA menilai perlu adanya perhatian semua pihak terhadap tata kelola BRA saat ini, sehingga harapan korban dan kombatan GAM dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan.

Dengan demikian, sambung Alfian,  anggaran Aceh yang saat ini mereka kelola tidak terjadi berupa bentuk kesewenang-wenangan. Itu sebabnya, MaTA memandang bahwa BRA perlu dibangun dengan trans yang dapat memberi kepercayaan terhadap korban konflik.

“Dan publik memiliki kewajiban untuk mengontrol terhadap kinerja BRA saat ini,” jelas Alfian.

Dalam kesempatan itu, Alfian juga menilai, pengadaan puluhan handuk itu tak terlepas dari potensi korupsi. “Potensi (korupsi) tetap ada, akan tetapi kalau tetap dipaksa pengadaan handuk, maka setelah pengadaan baru dapat kita cek tentang harga yang sebenarnya,” ujarnya.

Demi Selamatkan Anggaran

Kepala Bagian Data, Program dan Keuangan BRA, Nurmalis membantah pengadaan handuk tersebut memakan anggaran Rp2 miliar lebih. Ia menyebut, pengadaan handuk untuk eks kombatan GAM dan korban konflik hanya sekitar Rp1,2 miliar.

“Itu nama paket diubah nanti, sekarang di dalam kompeten itu belum ada, untuk menyelamatkan anggaran, ditarok lah sementara nama handuk,” kata Nurmalis.

Nurmalis menjelaskan, anggaran sebesar Rp1,2 miliar itu sebenarnya untuk pemugaran seratusan makam di Kabupaten Aceh Besar serta bantuan sosial lainnya. Namun, saat dimasukkan dalam aplikasi SIPD, pemugaran seratusan makam itu belum tersedia.

“Jadi itu hanya sementara dan kita sedang menunggu revisi anggaran dari Kemendagri,” sebut Nurmalis.

Dilarang jika Tak Mendesak

Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Mochamad Ardian menjelaskan, untuk mengubah komponen kegiatan sebagaimana yang diusulkan BRA, maka harus menunggu perubahan ABPA 2021, jika kegiatan tersebut tidak mendesak.

“Jika kegiatannya tidak mendesak dan darurat, harus menunggu perubahan APBA,” kata dia.

Namun sebaliknya, kata Ardian, apabila pemugaran makam  tersebut termasuk kategori mendesak dan darurat, maka tidak menjadi masalah apabila komponen diubah dari pengadaan handuk menjadi pemugaran makam.

“Sebaiknya tanyakan ke Pak Sekda, karena SIPD bukan instrumen atas kebijakan pembayaran, SIPD sifatnya merekam,” tutur Ardian.

Editor: dani

Shares: