Politik

Keputusan MK: Aliran Kepercayaan Masuk Kolom Agama KTP

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk.

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan atas Pasal 61 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan mengisi kolom agama di Kartu Tanda Penduduk.

Dengan keputusan ini membuat para penganut kepercayaan bisa mencantumkan aliran kepercayaan di kolom agama saat membuat KTP.

Ketua MK, Arief Hidayat, mengatakan pihaknya mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” katanya dalam pembacaan putusannya di Gedung MK, Selasa (07/11/ 2017).

Empat penganut kepercayaan yang mengajukan gugatan adalah Ngaay Mehang Tana (penganut kepercayaan Komunitas Marapu), Pagar Demanra Sirait (penganut Paralim), Arnol Purba (penganut Ugamo Bangsa Batak) , dan Carlim (penganut Sapto Darmo).

MK juga memutuskan pula bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk “kepercayaan”.

Hakim anggota Saldi Isra menjelaskan MK berpendapat hak untuk menganut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan hak konstitusional (constitutional rights) warga negara, bukan merupakan pemberian negara.

“Dalam gagasan negara demokrasi yang juga dianut dalam UUD 1945, negara hadir atau dibentuk justru untuk melindungi (yang di dalamnya juga berarti menghormati dan menjamin pemenuhan) hak-hak tersebut,” ucapnya.

Saldi menjelaskan UU Administrasi Kependudukan membatasi hak warga negara untuk menganut agama hanya pada agama yang diakui oleh negara.

Konsekuensinya, kata dia, secara a contrario, tanggung jawab negara untuk menjamin hak beragama juga terbatas pada mereka yang menganut agama yang diakui. “Hal inilah yang tidak sejalan dengan jiwa UUD 1945 yang secara tegas menjamin bahwa tiap-tiap warga negara merdeka untuk memeluk agama dan kepercayaan dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan itu,” tuturnya.

Arnol Purba, salah satu penggugat, mengatakan puas atas putusan MK ini. Ia merasa terdiskriminasi lantaran anaknya yang berprestasi tidak bisa mendapatkan pekerjaan lantaran di kolom KTP-nya bertanda strip.

“Kami senang bahwa kepecayaan ini telah diakui oleh pemerintah, dan ruang lingkupnya untuk pekerjaan anak saya itu terbuka jadinya,” ujarnya.

Adapun dari pihak tergugat yaitu pemerintah tidak ada yang hadir dalam sidang di gedung MK tersebut. [jam]

SUMBER: TEMPO.CO

Shares: