News

Kecewa, Dokter dan Spesalis Kirim Surat Terbuka untuk Menkes Terawan

Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto (kanan, kemeja putih) dan Direktur RS Mitra Keluarga Depok Elisabeth Setyowati (kiri, berbatik) di RS Mitra Keluarga Depok, Senin (2/3/2020). (Foto: Kompas.com)

POPULARITAS.COM – Mewakili para dokter, spesialis, dan residen di Indonesia, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Prof Dr dr Zainal Muttaqin, SpBS(K), PhD, menyampaikan surat terbuka untuk Menteri Kesehatan RI, Terawan Agus Putranto.

Profesor Zainal menunjukkan kecewaannya atas sikap Terawan yang dinilai abai dan terkesan menyepelekan ancaman virus corona atau COVID-19, yang pada saat itu sudah ada di ambang pintu, atau mungkin sudah mulai masuk tanpa terdeteksi.

“Jangan panik, jangan resah, enjoy saja, ya Harvard suruh ke sinilah untuk melihat, kan virusnya ringan-ringan saja. Batuk pilek itu kematiannya lebih tinggi dari virus corona ini, memang ini akan sembuh sendiri. Corona ini tidak seganas flu burung, dengan mortality yang lebih rendah,” ujar Terawan di awal pandemi.

Menurut Zainal, sikap seorang komandan yang abai dan menyepelekan perang melawan COVID-19 inilah yang secara langsung menyebabkan gagap dan terlambatnya respons seluruh pasukan di lapangan dalam peperangan ini. Saat ini, kita sudah memasuki bulan ke delapan sejak pertama kali virus ini resmi masuk ke Indonesia.

Belum lagi tampak tanda-tanda terkontrolnya wabah ini, bahkan sebaliknya penularan semakin tinggi dan penyebaran semakin luas, dengan jumlah kasus terkonfirmasi lebih dari 303 ribu, dengan kematian lebih dari 11.151 orang, menurut data Gugus Tugas, sampai 4 Oktober 2020.

Di sisi lain, kapasitas rumah sakit untuk mengelola dan mengobati 20 persen pasien yang bergejala sedang sampai berat sudah hampir terlampaui, dengan dampak angka kematian tenaga kesehatan yang cukup tinggi, bahkan proporsinya tertinggi di dunia.

Bahkan sampai saat memasuki bulan ke delapan perang menghadapi pandemi ini, kapasitas tes kita belum bisa mencapai yang dianjurkan WHO, yaitu 1 tes per 1000 penduduk dalam 1 minggu, atau 1000 tes per 1 juta penduduk dalam 1 minggu. Indonesia baru bisa mencapai 70 persen dari standar WHO.

Hanya DKI Jakarta yang kapasitas tesnya melebihi standar WHO, sedangkan beberapa provinsi, seperti Lampung, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur, bahkan memiliki kapasitas tes kurang dari 100 per 1 juta penduduk.

Pelacakan kontak atau tracing juga dinilai masih lemah. Menurut perhitungan Kawalcovid19.id, kemampuan tracing (Rasio Lacak Isolasi – RLI) Indonesia sangat kurang yaitu 3,3 padahal standar WHO harus lebih dari 30.

Artinya, dari setiap kasus positif, harus dilacak-isolasi sampai minimal 30 orang, bukan cuma 3 orang (di Singapura bahkan RLI nya sampai 70 orang).

Dalam situasi ini, tenaga medis merupakan pasukan khusus yang dipersiapkan untuk menghadapi musuh di medan tempur yang paling sulit, yaitu 20 persen kasus yang membutuhkan perawatan di ruang isolasi dan ruang ICU rumah sakit.

Pasukan khusus ini terutama terdiri atas para dokter yang jumlahnya terbatas dan memerlukan pendidikan dan pelatihan yang lamanya 6-10 tahun sebelum dinyatakan lulus dengan kompetensi tempur di medan yang paling sulit dan risiko kematian yang paling tinggi.

“Alih-alih memberikan dukungan kepada para anggota ‘pasukan khusus’ dalam menghadapi ‘perang yang berkepanjangan’ melawan pandemi COVID-19 yang seolah tanpa akhir ini, sang komandan Terawan malah dengan tega dan terang-terangan mengobok-obok dan membuat kekacauan di institusi dan wahana pendidikan yang menjadi markas pelatihan kompetensi tempur para nakes, khususnya para dokter spesialis,” kata Zainal.

Awal Agustus lalu, di saat penambahan kasus positif harian mencapai lebih dari 3000 orang, dan angka kematian nakes (menurut IDI) mencapai 6,5 persen (20 kali angka kematian nakes dunia yang 0,37 persen), atas usulan Menteri Terawan, tiba-tiba Presiden melantik para anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang ditolak oleh IDI, PDGI dan seluruh Perhimpunan Dokter Spesialis.

Penolakan ini, menurut Zainal karena penunjukannya oleh Terawan tidak mewakili dan tidak pernah dikomunikasikan dengan organisasi yang mewakili para anggota pasukan khusus yang sedang sibuk bertempur di medan perang.

“Alhasil, satu kekacauan dan kekisruhan telah diciptakan oleh Terawan, sang komandan lapangan yang tidak pernah hadir di medan tempur, bahkan tidak jelas keberadaannya,” lanjut dia.

September 2020, belum lagi jelas kapan peperangan ini akan berakhir, di saat lebih dari 130 dokter menjadi korban meninggal bersama dengan ratusan nakes lain, dengan enteng Terawan menyatakan siap untuk memasok sebanyak 3500 tentara cadangan.

“Para dokter yang pendidikannya memerlukan waktu 6-11 tahun (6 tahun untuk dokter umum termasuk masa internship, dan tambahan 4-5 tahun untuk dokter spesialis) bukanlah ‘barang disposable’ yang gampang diproduksi dengan instan,” kata dia.

Para dokter adalah SDM langka yang menjadi pilar utama untuk bisa terlaksananya sila kelima dari Pancasila khususnya pemenuhan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.

“Belum puas rasanya sang komandan Terawan dalam mengganggu konsentrasi tempur pasukan khusus para dokter spesialis ini. Tiba-tiba sang komandan Terawan (yang tidak pernah diketahui keberadaannya) di luar kewenangannya sebagai Menkes, mengeluarkan surat perintah berupa PMK 24 tahun 2020 pada 21 September kemarin,” ungkapnya.

Dalam surat perintah yang belum ditayangkan di website resmi Kemenkes tersebut, Zainal menyebut isinya dapat menyebabkan kekisruhan dan mengacaukan TuPokSi berbagai satuan tempur dari pasukan khusus yang sedang sibuk bertugas di medan tempur. Para dokter spesialis ini masing-masing memiliki kompetensi khusus yang sebagian memang ada ‘overlap’ atau tumpang tindih antar bidang spesialis.

Sumber: VIVA

Shares: