FeatureHeadline

Kanji, Kuliner Bulan Ramadan di Serambi Makah

Kanji, Kuliner Khas Bulan Ramadan di Serambi Makah
Nurdin (40) dibantu Zikri (30) sejak pukul 14.00 WIB mulai melakukan persiapan memasak kanji itu di Gampong Manyang Lancok, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya. Nurzahri

PIDIE JAYA (popularitas.com) – Semerbak wangi rempah dari masakan berbahan rempah-tempah itu tercium hingga radius 5 meter, bikin air liur menetes. Aroma khas itu berasal dari masakan kanji di Gampong Manyang Lancok, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.

Kanji menjadi menu khas dihidangkan setiap bulan Ramadan. Tak lengkap rasanya tanpa berbuka dengan makanan jenis bubur yang cukup kaya rempah-rempah. Untuk memasak masakan khas Aceh ini, butuh keahlian khusus dan ketelatenan.

Siang itu, Selasa (28/4/2020) dua laki-laki tampak sibuk mempersiapkan bahan untuk memasak kanji. Nurdin (40) dibantu Zikri (30) sejak pukul 14.00 WIB mulai melakukan persiapan memasak kanji itu.

Tangan kanan Nurdin memegang sebilah pisau sambil menari-nari di atas talenan memotong rempah-rempah untuk bahan membuat kanji. Pergelangan kirinya secara teratur bergerak mengiris-iris rempah-rempah itu.

Irisan rempah-rempah itu yaitu jenis bawang merah, bawang putih, jahe, daun salam, daun pandan serta serai itu memunculkan semerbak aroma wewangian rempah.

“Rempah-rempah ini merupakan bahan dasar untuk memasak Kanji,” kata Nurdin.

Gampong Manyang Lancok, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.

Nurdin merupakan marbot (bilal) meunasah (surau) gampong setempat, menjadi juru masak kanji setiap bulan Ramadan. Profesi itu sudah digelutinya sejak tiga tahun lalu.

Untuk mendapatkan aroma dan rasa khas kanji. Nurdin juga menambahkan jinten, kapulaga, bunga lawang, santan dari 45 buah kelapa tua, duan kari dan kayu manis.

Nurdin masih sibuk mengiris rempah-rempah, sedangkan Zikir pria yang satunya lagi terlihat memegang sebuah ember yang berisikan parutan kelapa, sesekali menuangkan air putih secukupnya.

Jemari kedua tangan Zikri terlihat sibuk berdansa-dansa di dalam ember dengan meremas parutan kelapa sudah dicampur air bersih di dalam ember itu, remasan-remasan dengan tidak begitu keras pria itu menghasilkan santan yang kental.

Sesekali lelaki muda dengan dua anak itu menuangkan santan berwarna putih susu itu ke dalam sebuah wadah besar. Kemudian ia kembali melanjutkan mempermainkan parutan kelapa hingga tiga kali mengektrak sari kelapa itu.

Zikri pun kemudian beranjak untuk menuangkan minyak goreng dalam belanga berukuran 1 meter di dapur khusus di sebuah bilik terbuka berukuran 4×6 meter persegi.

Minyak dalam beulanga pun mulai panas, dengan seketika Nurdin beranjak dari tempat duduknya, tangannya memegang sebuah wadah irisan-irisan rempah itu, dan langsung menuangkan ke dalam minyak panas itu, hingga mengeluarkan suara cring-cring.

“Kalau bumbunya sudah dimasukkan ke dalam beulanga berisikan minyak itu, bumbunya digoreng sampai masak dulu, itu sudah ada bumbu semua, kemudian dituangkan santan sebanyak tiga gayung, baru setelah itu dimasukkan beras yang sudah direndam terlebih dahulu sebanyak 2,5 bambu,” kata Zikri yang disahuti Nurdin marbot meunasah itu.

Mentari sore itu mulai terbenam di ufuk barat pelan-pelan. Kedua pria itu berdiri tidak jauh dari tungku api kuliner kanji.  Asap mulai mengepul, Sesekali mereka menghindar dari kepulan asap, agar mata mereka tidak perih.

Centong panjang di tengan mereka, tak henti-henti mengaduk masakan kanji dalam belanga itu. Tampak mulai mendidih, mengeluarkan semerbak aroma wangi-wangian kanji yang kaya akan rempah-rempah.

“Kami berdua disuruh oleh desa untuk memasak kanji selama bulan puasa ini, dengan upah Rp 2 juta untuk dua orang,” kata Zikri.

Pria yang sehari-hari bergulat dengan tepung sebagai pembuat mie Aceh mentah itu, menyebutkan, hampir tiga tahun lamanya mereka berdua dijadikan sebagai juru masak kanji bulan puasa.

Saban hari, usai menggerjakan pekerjaan pokoknya sebagai pembuat mie mentah itu, mulai dari siang hari dia kembali menyibukkan diri mengolah kanji untuk dibagikan ke masyarakat.

Bocah-bocah berlari-larian di lorong sebelah dapur kanji itu, tangan mungil mereka memegang sebuah wadah plastik bergagang, berlomba-lomba yang tercepat menuju dapur kanji.

Dengan rapi, para bocah berdiri teratur di dalam dapur itu, seraya membuka penutup wadah yang ditentengnya. Dengan perlahan Nurdin mengambil kanji yang masih mendidih dalam beulanga itu kemudian menuangkan secara beraturan.

Gampong Manyang Lancok, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.

Selain ada bubur kanji, ada masakan khas lainnya yang mirip, yaitu ie bu peudah juga merupakan bubur pertama ada di Aceh. Setelah itu terjadi modifikasi menjadi bubur kanji yang banyak dikenal dan dijual di pusat-pusat penjualan takjil di Aceh.

Ie bu peudah banyak dimasak di Kabupaten Aceh Besar. Meskipun sekarang di beberapa masjid lebih banyak memasak bubur kanji dibandingkan Ie bu peudah. Ie bu peudah selain sulit mendapatkan bahannya, seperti rempah-rempah dedauan dalam hutan, proses memasak pun terbilang rumit.

Menurut catatan sejarah, bubur kanji pertama sekali dimasak masa kesultanan Aceh dulu. Sedangkan Ie bu peudah itu transformasi dan pengembangan setelah adanya bubur kanji.

“Bukan, bubur kanji itu duluan, baru pengembangannya ie bu peudah,” kata Dosen Sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Tgk Adli Abdullah.

Menurutnya, kuliner Aceh itu semua dipengaruhi dari Malabar, India. Setiap orang yang hendak berhijrah ke Aceh, terlebih dahulu singgah di Malabar. Malabar merupakan pusat perekonomian internasional kala itu, sehingga banyak pedagang singgah terlebih dahulu di kota tersebut.

Makanan di Aceh mayoritas terasa pedas dan kemerahan karena menggunakan banyak cabai merah. Selain itu, makanan Aceh juga berminyak. Adli Abdullah menyebutkan, hampir semua makanan di Aceh dipengaruhi dari India. [acl]

Reporter: Nurzahri

Shares: