NewsPolitik

Jubir PA: Jangan Ungkit Luka Lama dan Bangkitkan Konflik Baru

Aceh target 15 medali emas di PON Papua 2021
Muzakir Manaf, Ketua KONI Aceh

BANDA ACEH (popularitas.com) – Mulai tahun 2000, dataran tinggi Gayo, khususnya Kabupaten Aceh Tengah, muncul sentimen etnis dalam bentuk pembakaran rumah penduduk. Istilah warga Aceh pesisir menjadi jamak dan terpaksa bermukim di kawasan dekat jalan aspal. Selanjutnya, hadir kelompok (pagar kampung) yang menjadi embrio lahirnya milisi.

Aksi milisi memuncak pada pengepungan dan pembakaran Kantor Perwakilan Jeda Kemanusiaan, sehingga Komnas HAM RI menduga ada tiga pihak bersenjata yang terlibat dalam konflik ini yaitu, GAM, TNI-Polri serta milisi.

Artinya konflik di Bener Meriah tahun 2000 ke atas, masih berada dalam wilayah Aceh Tengah, menjadikan kawasan ini sebagai titik konflik paling parah saat itu.

Dari serangkaian penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM RI, tentu, berdasarkan pengakuan para milisi dan kombatan GAM setempat, salah satu pemicunya adalah karena adanya pajak nanggroe terhadap toke-toke atau pengusaha kopi di sana.

Karena itu, hampir semua Panglima Milisi di dataran tinggi Gayo adalah para toke kopi, yang kemudian meminta perlindungan pada TNI-Polri. Lalu, mereka dipersenjatai dan didaulat menjadi Panglima Milisi. Salah satunya, Tagore Abu Bakar.

Pasca konflik bersenjata, mereka banyak menjadi elite politik baru di eksekutif (pemerintahan) maupun legislatif (parlemen lokal) hingga nasional seperti anggota DPD dan DPR RI.

Tak hanya itu, Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah dapat memenangkan konstestasi Pilkada 2019 lalu, juga karena mendapat dukungan eksmilisi. Bahkan, Irwandi  tidak banyak mengeluarkan uang untuk meraih kemenangan di sana.

Lantas, bagaimana posisi GAM, terkait pemanggilan H. Muzakir Manaf (Mualem) oleh Komnas HAM RI?

Juru Bicara Dewan Pimpinan Aceh (DPA) Partai Aceh (PA), H. Muhammad Saleh atau akrab disapa Shaleh menjelaskan, secara pasti, kasus di Timang Gajah-Bener Meriah, tidak ada yang tahu sama sekali, terutama kronologisnya.

Namun ada berita bahwa milisi yang dibentuk aparat Indonesia (TNI-Polri) saat itu, melakukan kekerasan terhadap warga masyarakat di daerah Timang Gajah. Selain itu, tahun 2001, Muzakir Manaf (Mualem) juga belum menjadi Panglima TNA/GAM.

Dalam struktur Komando Militer Teuntara Nangroe Atjeh (TNA) sebut Shaleh, setiap Wilayah dan Sagoe mempunyai otoritas dan kewenangan masing-masing. Itu sebabnya, Komando Militer Pusat yang baru dipimpin Mualem saat itu, hanya memberikan petunjuk secara umum.

“Struktur Komando Militer TNA adalah; Komando Tentara Neugara Aceh (TNA) Pusat. Komando TNA Wilayah (Kabupaten/Kota). Komando Daerah TNA (beberapa kecamatan). Komando TNA Sagoe (tingkat kecamatan),” jelas Shaleh.

Selain itu, TNA bersifat defensif. Artinya bertahan dan tidak menyerang siapa pun. Baru bergerak, ketika saat mendapat serangan. Karena itu, senjata hanya digunakan untuk membela dan mempertahankan diri dari serangan TNI-Polri serta milisi saat itu.

Sebab, kata Shaleh, target dan tujuan TNA atau GAM adalah perjuangan politik dan diplomasi untuk meraih simpati rakyat, guna mencapai kemerdekaan Aceh.

“Nah, untuk mencapai semua itu, tentu GAM memerlukan dukungan dari seluruh rakyat Aceh, Indonesia dan dunia Internasional, sehingga setiap tindakan yang diambil TNA, untuk mendapatkan dukungan tadi. Jadi, tidak mungkin kontra produktif,” ungkap Shaleh.

Selain itu, semua Komando TNA bekerja secara independen berdasarkan karakter, kondisi dan situasi daerahnya masing-masing. Komando di atasnya (pusat) hanya memberikan petunjuk dan perintah secara umum.

“Petunjuk umum diberikan untuk penguasaan wilayah, rakyat dan membentuk Pemerintahan Aceh (versi GAM). Karena syarat berdirinya sebuah Negara Bangsa adalah; ada wilayah, rakyat dan pemerintahan yang dibentuk serta adanya pengakuan Internasional,” ujar Shaleh.

Dengan target dan tujuan tadi, sebut Shaleh, mustahil GAM melakukan kekerasan terhadap rakyat (bangsanya) sendiri. Termasuk semua suku dan etnis serta agama yang ada di Aceh. Bahkan, ada anggota TNA yang menikah dengan perempuan etnis Jawa, Batak maupun Gayo.

“Karena target penguasaan serta melindungi setiap rakyat adalah untuk mencapai dan mendapat dukungan penuh dari rakyat Aceh. Maka, kalau pun ada kekerasan atau tindakan lain yang menyakiti rakyat. Ini menjadi tindakan kriminal dan tanggung jawab pribadi dari TNA yang melakukan itu.
Jika diketahui komando di atas, tentu ada sanksi yang dijatuhkan. Dari tingkat skorsing, mencabut senjata sampai pemecatan sebagai TNA,” papar Jubir PA, Muhammad Saleh.

Diuraikan Shaleh, pola Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersifat gerilya. Dalam konsep ini, rakyat adalah pelindung utama keselamatan. Tanpa dukungan rakyat, GAM tidak akan bertahan selama hampir 30 tahun atau sejak 4 Desember 1976.

Karena itu, perjuangan GAM dilakukan demi perlindungan dan pembelaan atas bangsa dan hak-hak rakyat, keadilan dan kesejahteraan serta kemandirian rakyat (bangsa) Aceh.

“Dalam sejarahnya, bangsa Aceh adalah bangsa besar yang pernah menjadi kerajaan Islam dan masuk dalam lima besar Kerajaan Islam di dunia bersama; Turki, Mesir, Asfahan (Iran), Maroko dan Aceh,” ulas Shaleh.

Terkait peristiwa detail (rinci) tentang apa yang sebenarnya yang terjadi di Timang Gajah tahun 2001-2004, menurut Shaleh, tak selaras jika disandarkan pada Mualem.

Sebaiknya dapat ditanyakan langsung pada Panglima Komando atau bekas Panglima Komando Wilayah Linge/Aceh Tengah/Bener Meriah yang menjabat saat itu. Termasuk Panglima Komando Sagoe di daerah ini.

“Komando Pusat TNA pasti mengutuk setiap kekerasan atau tindakan kriminal yang dilakukan terhadap rakyat Aceh saat itu. Kalau pun ada senjata yang digunakan, semata-mata untuk membela dan mempertahankan diri. Termasuk melindungi rakyat Aceh,” jelas dia.

“Tak hanya itu, pengalaman kekerasan dan kesewenangan yang dilakukan terhadap Aceh sejak periode 1976 melalui Operasi Jaring Merah dan Daerah Operasi Militer, telah menimbulkan luka mendalam bagi rakyat Aceh,” jelas Shaleh.

Karena itulah, kata dia, pembentukan dan kehadiran TNA sejak 1989, sebenarnya sebagai kelengkapan bagi tata pemerintahan satu negara bangsa ketika itu.

“Bahwa ada eksodus dari suku dan etnis di luar Aceh, ini adalah pengalaman masa lalu. Ada pemaksaan dari aparatur militer Indonesia yang memaksa para warga transmigran serta etnis lain di pedalaman Aceh untuk menjadi penunjuk jalan (informasi), mencari anggota GAM,” ungkap Shaleh.

Itu sebabnya, para anggota TNA ketika itu sering harus berpindah-pindah markas dan pos, karena terdeteksi atau terlacak oleh militer Indonesia.

“Untuk itu, saya kira, tak ada catatan mendasar apa pun mengenai konflik masa lalu Aceh dari Mualem. Karena itu, pemanggilan Mualem oleh Komnas HAM RI, hal wajar dan biasa saja. Tak ada yang luar biasa,” jelas Shaleh.

Karena itulah, lahirnya MoU Damai antara GAM dengan Pemerintah Indonesia, 15 Agustus 2005 di Helsinki, hendaknya menjadi titik orbit bagi perdamaian abadi di Bumi Serambi Mekah.

“Kalau penyelidikan Komnas HAM RI bertujuan sebagai langkah untuk mewujudkan rekonsiliasi yang utuh di negeri ini, saya kira tak soal. Hanya saja, jangan sampai membangkitkan luka lama dan melahirkan konflik horizontal baru. Ini tidak baik bagi masa depan perdamaian Aceh dan keutuhan Indonesia,” tegas Shaleh.* (RIL)

Shares: