FeatureNews

Jejak Putroe Ijo, Antara Fakta dan Legenda

Makam Putroe Ijo, di Desa Pande, Kota Banda Aceh. (Popularitas/dani)

POPULARITAS.COM – Nama Putroe Ijo (Putri Hijau) mungkin tak setenar pahlawan perempuan seperti Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien dan pahlawan lainnya yang berasal dari Aceh. Namun, kisah perjalanan dan perjuangan  Putri Hijau tak kalah menariknya dengan kedua pahlawan itu.

Dari beberapa hikayat menjelaskan bahwa sosok Puteri Hijau memiliki kecantikan dan keindahan yang terkenal hingga ke pelosok negeri mulai dari Aceh, Malaka, hingga pulau Jawa.

Namun, kisah Putri Hijau sendiri hingga kini belum memiliki catatan sejarah yang pasti. Terdapat banyak versi berkembang di tengah masyarakat, kisah Putri Hijau lebih populer dibicarakan kalangan masyarakat Sumatera Utara dan Karo. Sebab, di sana terdapat sebuah prasasti peninggalan yang kerap dipercayai memiliki ikatan sejarah kuat dengan Putri Hijai,  yaitu Meriam Puntung.

Meriam Puntung atau Meriam Buntung dalam bahasa Karo adalah penjelmaan dari adik Putri Hijau dari Kerajaan Haru yang memerintah sekitar tahun 1594. Meriam Puntung ini berada di dalam komplek Istana Maimun, Medan, Sumatera Utara.

Dari berbagai peperangan pada Zaman itu, Meriam puntung menjadi  pertahanan terakhir yang dimiliki oleh Putri Hijau, Tapi karena ditembaki terus-menerus, meriam ini pun menjadi panas, meledak, terlontar, dan terputus dua.

Merasa tertekan, Puteri Hijau dibawa oleh kakaknya yang berubah menjadi ular besar ke atas punggungnya dan menyelamatkan diri melalui sebuah terusan memasuki sungai Deli dan langsung ke selat Malaka. Hingga sekarang kedua kakak beradik ini dipercaya menghuni sebuah negeri dasar laut di sekitar Pulau Berhala.

Makam Putroe Ijo, di Desa Pande, Kota Banda Aceh. (Popularitas/dani)

Versi lain menyebutkan bahwa Puteri Hijau sempat tertangkap. Dia ditawan dan dimasukkan dalam sebuah peti kaca yang diangkut ke dalam kapal untuk dibawa ke Aceh. Ketika kapal sampai di Ujung Jambo Aye, Aceh Utara.

Putri Hijau memohon diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas permintaannya, dia diberikan berkarung-karung beras dan beribu-ribu telur.

Tetapi setelah beberapa saat upacara dimulai, tiba-tiba berhembuslah angin yang maha dahsyat, disusul gelombang tinggi dan ganas. Dari dalam laut muncul jelmaan saudaranya, ular besar. Lalu Putri Hijau dilarikan ke dalam laut dan mereka bersemayam di perairan Pulau Berhala.

Ahli sejarah Aceh yang juga sebagai Dosen Ilmu Sejarah Universitas Syiah Kuala, Husaini Ibrahim menceritakan, dalam rangka perebutan kekuasaan terutama di perairan Selat Malaka. Semua orang ingin merebut kawasan Selat Malaka karena dianggap sebagai kawasan strategis jalur masuk lalulintas Internasional.

Ketika mereka ingin merebut itu setiap orang menunjukkan kekuasaannya. Di sana ada Portugis, Belanda, dan Aceh. Saat itu Aceh menunjukkan kekuatan besar, salah satunya juga ingin memperebutkan seorang putri dari kerajaan lain.

Kata dia, ada tiga kawasan Aceh yang paling besar, ada kawasan inti, daerah taluk, dan daerah fazar.

Daerah taluk, adalah daerah-daerah yang ditaklukkan. Sehingga kekuasaannya besar dan luas dan berlanjut sampai dengan pemerintahan raja-raja berikutnya.

Sampai pada masa kerajaan Aceh melemah, banyak daerah-daerah lain melepaskan diri. Tapi masih ada kekuatan-kekuatan Aceh. Salah satu caranya dengan menjalin hubungan perkawinan. Ada orang yang menikah dengan putri Aceh, juga sebaliknya.

“Seperti daerah Siak, Arokan, Deli, Pariaman, dan Haru. Semua itu adalah kekuasaan Aceh sebenarnya,  jadi ada kekuatan sehingga timbul cerita yang melegenda yaitu tentang Putri Hijau,” kata Husaini Ibrahim saat ditemui diruang kerjanya beberpa waktu lalu.

Merujuk pada silsilah keturunan raja Aceh seperti dalam buku “Tarikh Aceh dan Nusantara” halaman 576, Putri Hijau adalah anak dari Raja Putri yang menikah dengan Sulthan Mansyursyah bin S. Ahmad Perak. Keturunan Sulthan Ala Uddin Riayat Syah atau Saidin Mukammil.

Beliau memiliki Enam orang anak, Maharaja Diraja, Raja Putri, Puteri Diraja Indra Ratna Wangsa, Mahmud Syah, Raja Hussain Syah, dan Meurah Upah.

“Dari silsilah itu, salah satu diantaranya adalah Putri dari Raja Puteri yaitu Putri Hijau kemudian menikah dengan Raja Umar S Abdul Jalil Johor yang kemudian melahirkan keturunan Radja Hasjim.

Jadi saya lebih yakin yang dimaksud dengan Putri Hijau seperti legenda yang berkembang hari ini adalah Putri Hijau yang dimaksud dalam silsilah ini,” sebutnya.

Menurut Husaini, silsilah itu masih berhubungan dengan Sultan Iskandar Muda, karena Putri Hijau adalah anak dari Raja Puteri sementara Sultan Iskandar Muda anak dari Puteri Diraja Indra Ratna Wangsa.

“Raja Puteri dan Puteri Diraja Indra Ratna Wangsa adalah adik kakak. Sementara Putri Hijau dan Sultan Iskandar Muda mereka adalah sepupuan,” ujarnya.

Husaini tak menampik bahwa cerita tentang Putri Hijau memiliki banyak versi, kata dia, hal itu biasa terjadi dalam sejarah. Hal ini bisa digali dan untuk melihat tentang kebenaran legenda dalam sejarah atau sastra sejarah harus sangat berhati-hati.

“Karena ini bisa memisahkan antara fakta dengan mitos yang berkembang. Namun demikian cerita ini sangat penting sebuah sejarah menjadi besar juga karena ada legenda,” tambahnya.

Husaini melihat,  sejarah tentang Puteri Hijau adalah sebuah fakta sejarah namun memang belum ada bukti secara sentifik. Maka dari itu, beberapa ahli sejarah di Aceh saat ini sedang menggali termasuk menelusuri jejak-jejak perjuangan Puteri Hijau apakah di Aceh ataupun di Sumatera Utara.

Husaini meyakini, jejak Putri Hijau bisa ditemukan di Aceh, khususnya Gampong Pande ada makam Putri Hijau dan di Lamuri di kawasan bukit Lamreh, Aceh Besar
ada kolam Putroe Ijo.

“Kalau di Aceh khususnya di kita akan menelusuri ke sana. Saya sangat meyakini hal ini adalah sejarah fakta bukan legenda namun harus ditelusuri dengan berbagai sumber yang ada,” ucapnya.

Ketua Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa), Mizuar Mahdi menyebutkan kisah tentang Putri Hijau belum memiliki dokumen autentik. Kisah itu hanya ada dalam cerita hikayat atau legenda.

“Belum. Belum ada bukti yang ditemukan untuk bisa dipertanggung jawabkan,” tandas Mizuar.

Ia menceritakan, berdasarkan hasil bacaan dan temuannya selama ini tidak ada makam yang menyebutkan Putroe Ijo seperti yang tertera di Gampong Pande saat ini. Makam di sana sudah ada dari abad 16, sedangkan penamaan komplek makam tersebut dengan Putroe Ijo baru muncul sekitar tahun 1970-1980.

“Merujuk ke peta yang digambar Belanda akhir abad 19 dan awal abad 20, buka Putroe Ijo nama komplek makam itu. Tetapi komplek kandang Raja kalau tidak salah saya,” ujarnya.

Di Gampong Pande, Banda Aceh ini, sebuah monumen menyebutkan makam Putroe Ijo, merupakan sebuah komplek perkuburan yang diperkirakan merupakan peristirahatan terakhir seorang putri Sultan Kesultanan Aceh Darussalam.

Sebagian nisan tampak tak lagi utuh dan tertumpuk begitu saja hanya ruput-ruput hijau menyelimuti nisan milik Raja Kesultanan Aceh itu.

Makam ini juga sudah direposisi batu Nisannya pada Tahun 2013 setelah mengalami rusak parah akibat gempa dan stunami Aceh 2004 silam. Dari luar perkarangan sebuah tulisan menyebutkan komplek Makam Putroe Ijo (Putri Hijau).

Shares: