HeadlineIn-Depth

Jam Malam Aturan yang Offside

Gegara Gim Online, Satu Kecamatan Berlakukan Jam Malam di Aceh Jaya
Ilustrasi, personel gabungan, TNI dan Polisi menyosialisasikan jam malam pada malam pertama pemberlakukannya di Aceh Jaya.

BANDA ACEH (popularitas.com) – Tak lagi terdengar deru kendaraan di Jalan Krueng Raya, Gampong Cadek, Kecamatan Baitussalam. Biasanya jalan itu merupakan kawasan yang padat. Jalan yang sempit, volume kendaraan yang terus meningkat, hingga membuat lalulintas padat merayap. Namun tidak sekarang, terlihat sepi semenjak diberlakukan jam malam oleh pemerintah Aceh.

Meskipun ada juga kendaraan satu-satu yang melintas. Itupun dibawah pukul 22.00 WIB, di atas itu mulai sepi. Begitu juga pertokoan, kios, rumah makan, warung kopi yang melayani penjualan take away sebelum magrib mulai tutup. Karena batas waktu yang ditentukan jam malam oleh pemerintah semenjak pukul 20.30 hingga 05.30 WIB selama dua bulan.

Pemberlakukan jam malam semenjak Jumat (29/3/2020) lalu, berdalih untuk mencegah penyebaran Covid-19 di Aceh. Warga diminta tak lagi berada di luar rumah semenjak waktu yang telah ditetapkan itu. Suasana kota Banda Aceh dan sekitarnya pun mulai sepi.

Jam malam di Aceh seperti rasa Darurat Militer. Begitulah kesannya tampak terlihat. Ini tentu cukup beralasan, setiap persimpangan di Banda Aceh dikawal ketat oleh pasukan berbaju loreng. Warga yang melintas diberhentikan dan dipaksa untuk kembali ke rumah masing-masing.

Sejumlah ruas jalan protokol di Banda Aceh ditutup akses. Seperti Simpang Lima, Simpang Surabaya, Simpang BPKP, Simpang Beurawe dan sejumlah titik lainnya. Ditambah lagi hampir semua lorong masuk ke perkampungan juga ikut ditutup secara swadaya oleh masyarakat. Alasannya agar dapat dipantau akses keluar masuk warga, terutama orang yang baru tiba dari daerah pandemi Covid-19.

Kesigapan warga dengan memperketat keluar masuk penduduk itu patut diapresiasi. Ini bagian langkah positif untuk menjaga dan mencegah penyebaran Covid-19. Tetapi, di lain sisi, pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pengawalan jam malam itu dinilai banyak kalangan over acting dan sudah offside. Kendati personel kepolisian ikut berada di lokasi, namun terkesan hanya memback-up pasukan tentara.

Pemberlakukan jam malam di Tanah Rencong memang bukan hanya keputusan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah sendiri. Tetapi ini merupakan kesepakatan bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Aceh.

Maklumat itu ditandatangi oleh Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar, Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah, Ketua DPR Aceh Dahlan Jamaluddin, Kapolda Aceh Wahyu Widada, Pangdam Iskandar Muda Teguh Arief Indratmoko, dan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Irdam.

Alasan pemerintah memberlakukan jam malam untuk membatasi aktivitas warga malam hari untuk memutuskan mata rantai penyebaran Covid-19. Berlaku sejak 29 Maret hingga 29 Mei 2020, atau selama dua bulan. Warga tidak dibolehkan lagi beraktivitas sejak pukul 20.30 hingga 05.30 WIB di luar rumah.

Padahal sebelumnya pemerintah Aceh telah memberlakukan physical distancing (menjaga jarak fisik) sejak sebulan terakhir. Semua sekolah telah diliburkan, begitu juga aktivitas perkantoran dihentikan. Warga diminta tetap berada di rumah, menjaga jarak fisik dan diminta tidak keluar ke keramaian bila tidak ada kebutuhan mendesak.

Secara umum pemberlakuan physical distancing sudah dipatuhi oleh warga. Buktinya tidak ada lagi warung kopi menerima pelanggan nongkrong. Kalaupun hendak beli kopi, sudah menerapkan take away, beli kopi lalu dibungkus dan bawa pulang.

Semua warung kopi sudah meletakkan dapur kopi kecil di depan warung kopi masing-masing. Seperti Solong Premium di Beurawae, Zakir Kupi di Darussalam, Leuser Café di Lampineung dan Dhapu Kupi. Mereka hanya melayani pembelian kopi secara take away. Di depan usahnya mereka tertulis di spanduk hanya melayani take away.

Sejak diberlakukan jam malam, TNI tampak lebih dominan dalam melakukan pengawalan di Banda Aceh. Bahkan peran kepolisian dan Satpol PP tak terlihat. Padahal Presiden Jokowi mengumumkan Indonesia memberlakukan darurat kesehatan, merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

Kendati sebelumnya Jokowi sempat mewacanakan memberlakukan darurat sipil. Tetapi berselang sehari kemudian, presiden langsung mengklarifikasi dan urung menerapkan itu. Jokowi lalu memilih opsi darurat kesehatan akibat pandemi Covid-19.

Dalam maklumat tersebut ditetapkan di Banda Aceh, pada 29 Maret 2020 disebutkan mengimbau masyarakat agar tidak melakukan aktivitas di luar rumah sejak pukul 20.30 wib sampai dengan pukul 05.30 wib.

Pengelola kegiatan usaha tidak membuka warung kopi/kafe, tempat makan dan minum, pasar, swalayan, mal, karaoke, tempat wisata, tempat olahraga, dan angkutan umum pada penerapan jam malam. Kecuali bagi angkutan umum yang melayani kebutuhan pokok masyarakat, dilengkapi dengan surat tugas atau dokumen yang menjelaskan aktivitas kerja.

Suasana pemberlakuan jam malam pun rasa darurat militer, seperti Aceh dalam pusaran konflik sebelum Aceh berdamai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia.

Selama pemberlakuan Darurat Militer tak ada pemblokiran jalan utama seperti sekarang. Hanya saja setiap pos tentara jalan dibuat zig-zag. Setiap kendaraan yang melintas harus pelan-pelan.

Jam Malam Membuka Trauma Masa Lalu

Pemberlakuan jam malam mendapat sorotan publik. Selain dinilai tidak relevan dalam pencegahan penyebaran Covid-19, juga akan membuka luka lama Aceh terhadap masa lalu yang pernah merasakan konflik yang berkepanjangan.

Jam malam di Tanah Seulanga juga akan menimbulkan nostalgia traumatik yang pernah dialami masa Aceh konflik. Kondisi seperti itu sebenarnya masih membekas bagi rakyat Aceh. Kontras Aceh memandang, pemberlakukan jam malam tidak efektif untuk membatasi keramaian.

Kadiv Advokasi Kontras Aceh, Azharul Husna mengatakan, untuk mencegah penyebaran virus corona, aktifitas masyarakat seharusnya bisa dikontrol tidak hanya malam, tapi juga siang hari.

“Di siang hari masyarakat tetap beraktifitas seperti biasa, keramaian tetap ada di beberapa titik perbelajaan dan lokasi lainnya, jadi buat apa diberlakukan jam malam,” kata Husna.

Namun, membatasi aktifitas masyarakat seharusnya juga mempertimbangkan dampak ekonominya. Pemerintah perlu mengantisipasi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Menurut Husna, pemerintah jangan hanya membatasi, tetapi tidak ada solusi. Apalagi bagi kalangan pekerja informal yang biasa beraktifitas di malam hari, mereka paling terdampak maka pemerintah wajib memastikan pemenuhan kebutuhan dasar mereka.

KontraS Aceh juga mempertanyakan apakah maklumat bersama Forkopimda tersebut bisa menjadi dasar hukum dari pemberlakuan jam malam di Aceh? Apalagi, penerapan jam malam yang membatasi berbagai aktifitas, termasuk blokir sejumlah ruas jalan di Kota Banda Aceh, sudah melibatkan TNI karena itu tak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari TNI.

Seharusnya seruan jam malam memiliki aturan resmi yang memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat dari pemerintah. Sehingga setiap pelaksanaan aturan hukum tersebut bisa diukur akuntabilitas, legalitas, jadi tidak cukup hanya dengan kesepakatan Forkopimda saja.

“Ini penting untuk penerapannya terjamin di lapangan, apalagi belakangan ini sudah mulai ada keluhan dari masyarakat terkait pembatasan tersebut,” ujar Husna.

Untuk mengefektifkan upaya pencegahan penyebaran covid 19 di Aceh, KontraS Aceh juga meminta pemerintah tegas untuk membatasi jalur masuk dan keluar dari Aceh, baik jalur darat, laut dan udara. Pembatasan itu harus dikecualikan untuk distribusi logistik dan yang terkait dengan kebutuhan medis.

Selain melakukan pendekatan secara hukum dan keamanan, pemerintah juga perlu melakukan upaya preventif untuk penyebaran covid-19 dengan menyediakan fasilitas khusus untuk menampung ODP yang baru pulang dari luar Aceh, karena masih banyak rumah di Aceh yang tidak bisa memenuhi standar khusus untuk melakukan karantina mandiri bagi ODP dan PDP.

Selain penyediaan fasilitas untuk ODP, Pemerintah juga harus lebih pro aktif melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan orang banyak, dengan memfungsikan secara efketif koordinasi dengan pihak kepolisian, sehingga mereka bisa mengefektifkan fungsi Bhabinkamtibmas yang ada disetiap polsek.

Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh, Syakya Meirizal ikut mengkritik kebijakan dari pemerintah Aceh sekarang. Pemberlakuan jam malam dinilai pemerintah sudah offside dan over acting. Karena tidak ada korelasi langsung antara pencegahan penyebaran Corona dengan jam malam.

Makanya harus ditiup peluit, karena pemerintah sudah offside sekarang, kata Syakya Meirizal.

Syakya menilai pemberlakuan Physical Distancing di Aceh sudah berjalan dengan baik. Warga mulai patuh tetap berada di rumah. Tempat-tempat keramaian, warung kopi, café dan sejumlah lokasi titik banyak berkumpul orang tidak ada lagi.

Apalagi pemberlakuan Physical Distancing itu berlaku selama 24 jam. Sehingga menurutnya, jam malam tidak relevan lagi diterapkan. Justru kebijakan ini akan menimbulkan resistensi dari masyarakat. Bila ini terjadi dikhawatirkan akan terjadi pembangkangan sosial.

Kalau pembangkanan sosial terjadi, kata Syakya, berpotensi seluruh aturan yang telah diberlakukan pemerintah tidak tidak lagi dipatuhi warga. Tentunya ini tidak boleh terjadi dan pemerintah harus mempertimbangkan potensi-potensi terjadinya konflik sosial dampak dari kebijakan yang tidak tepat itu.

Apalagi sebentar lagi seluruh rakyat Aceh akan menghadapi bulan Ramadan. Sebelum masuki puasa, ada tradisi masyarakat yaitu meugang. Saat itu kebutuhan masyarakat meningkat, bila jam malam tetap dilakukan, akan berpengaruhi rendahnya daya beli masyarakat karena pendapatan mereka berkurang.

Menurutnya aktivitas pedagang kali lima pada malam hari, seperti penjual jus, makanan dan pedagang lainnya. Hampir semua tidak menimbulkan keramaian. Lantaran pembeli tidak duduk di lokasi pedagang kaki lima itu, tetapi menggunakan metode take away.

Kendati ia tak menampik ada beberapa warga yang masih membendel. Ada yang masih nongkrong di warung kopi. Namun bila ada yang seperti itu, justru yang harus ditegur adalah pemilik warung kopi yang tidak mengindahkan imbauan agar tidak menerima pelanggan nongkrong.

Meskipun ada satu dua, ada yang duduk di warkop dan terjadi siang hari dan itu warkop yang harus diingatkan. Tapi kenapa harus kita hukum lagi malam hari, sebutnya.

Justru yang paling rentang terjadi penyebaran Covid-19 pada siang hari, sebutnya, pasar-pasar tradisional yang masih buka. Seharusnya kekuatan aparat pemerintah dikerahkan ke sana. Pemerintah harus memikirkan mekanisme warga berbelanja tidak bersentuhan langsung.

Ia mencotohkan, pembatasannya seperti membuka jalan hanya satu arah. Sehingga warga yang berbelanja tidak saling bertabrakan dan bersentuhan. Karena penyebaran Covid-19 dinilainya jauh lebih rentan di pasar-pasar tradisonal yang menjual kebutuhan pokok itu.

Pasar sembako itu memang tidak boleh tutup. Tetapi sekarang pemerintah terkesan tidak hadir di sana untuk mengaturnya. Harusnya aparatur Negara wajib hadir untuk mengatur sesuai SOP pencegahan yang dikeluarkan WHO.

Di situ harusnya pemerintah harus hadir membuat SOP, sebuah mekanisme bagaimana orang berbelanja. Tidak ada mekanisme jarak di pasar sekarang. Pemerintah belum hadir di sana, sebutnya.

Syakya mengaku, sejak awal sudah meneriakkan menyangkut dengan karantina Aceh untuk mencegah penyebaran Covid-19. Pintu masuk ke Aceh harus ditutup. Karena pasien positif Covid-19 di Serambi Makah semua memiliki riwayat perjalanan ke daerah pandemi corona.

Jadi yang harus diantisipasi arus keluar masuk orang. Bukan malah kita karantina warga sekarang. Kita lockdown gak diterapkan, tetapi kesannya sekarang justru lock door yang diterapkan, jelasnya.

Pemberlakuan jam malam, sebutnya, pemerintah terlalu mendramatisir. Seakan-akan virus corona itu hanya berkeliaran pada malam hari, sehingga warga diminta tidak boleh beraktivitas sama sekali dan jalan-jalan ditutup.

Jakarta daerah pertama episentrum penyebaran corona itu, jelasnya, tidak diberlakukan jam malam. Padahal mereka juga ketat pembatasan sosial dan menjaga jarak fisik.

“Tetap mereka tidak berlaku jam malam,” tukasnya.

Ombudsman Sarankan Karantina Wilayah

Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dr Taqwaddin Husin juga menilai pemberlakuan jam malam di Aceh dan pemblokiran jalan over acting dan offside. Kesannya telah menimbulkan nostalgia traumatik. Karena pada masa konflik pernah terjadi belasan tahun lalu.

“Bagi generasi kami, ingatan tersebut masih sangat kuat membekas. Ini beban psikologis yang harusnya dipertimbangkan saat akan ditempuh kebijakan pemberlakuan jam malam saat ini,” sebutnya.

Menurutnya, masa lalu di Aceh, jam malam diberlakukan dalam Darurat Sipil, yang kemudian meningkat menjadi Darurat Militer karena keadaan bahaya menghadapi Gerakan Aceh Merdeka.

Tetapi sekarang kan situasinya beda. Yang kita hadapi bukan pemberontakan, tetapi pandemik wabah virus Corona yang mendunia, jelasnya.

Pemberlakuan jam malam di daerah, sebutnya, memposisikan pemerintah daerah sebagai penguasa yang memiliki legalitas untuk bertindak represif kepada warganya. Itu baru dapat dilakukan dalam status Darurat Militer atau Darurat Sipil dan dibenarkan dalam UU Keadaan Bahaya.

Padahal Presiden Jokowi urung memberlakukan Darurat Sipil seperti yang diwacanakan. Jokowi kemudian meluruskan yang dilakukan pemerintah sekarang adalah darurat kesehatan merujuk UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

Taqwadin menyarankan kepada pemerintah Aceh, sebelum terjadinya kesan “melawan” pusat, sebaiknya kebijakan pemberlakuan jam malam segera dicabut. Karena apa yang telah diputuskan oleh Presiden dengan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) atau social dintancing sudah benar dan tepat.

Hal ini bisa dimaklumi dalam kondisi keuangan Indonesia dan dengan jumlah penduduk begitu banyak, tentu tidak mudah bagi Pemerintah Pusat untuk menetapkan kebijakan lockdown dengan segala konsekwensinya, imbuhnya.

Menurutnya, dengan kemampuan Dana Otsus yang Aceh miliki saat ini, maka refocusing anggaran untuk penanganan Covid-19 bisa dioptimalkan. Apalagi jika dicermati angka-angka : perjalanan dinas, pengadaan dan perawatan mobil, training, dan lainnya yang mencapai ratusan miliar.

Maka jika tiga item itu saja difokuskan ke penanganan virus corona maka ditemukan angka anggaran sekitaran Rp 600-an miliar lebih. Itu memadai untuk upaya pencegahan dan penanganan virus corona dilakukan secara optimal.

Sementara itu kritikan pemberlakuan jam malam juga disampaikan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Teuku Irwan Djohan. Dia menyebutkan peraturan jam malam untuk mencegah meluasnya Covid-19, apalagi sampai 2 bulan, tidak perlu dilakukan di Aceh saat ini.

Politisi Partai NasDem ini justru menantang pemerintah Aceh. Apabila pemerintah berani mengambil kebijakan untuk menutup semua jalur masuk ke Aceh dan melakukan karantina Orang Dalam Pemantauan (ODP) secara ketat, maka tidak perlu jam malam.

“Seluruh pintu masuk ke Aceh, baik dari udara, laut dan darat sudah seharusnya ditutup,” tukasnya.

Mengingat semua kasus positif Covid-19 di Aceh terjadi pada orang Aceh yang masuk dari luar, seperti Jakarta, Surabaya, Bogor dan Malaysia. Akar persoalan menghambat penyebaran Covid-19 di Aceh adalah dengan membatasi dan pengawasan ketat di pintu masuk ke Aceh.

“Jadi itu akar permasalahannya. Untuk menyelesaikan setiap masalah, maka yang harus diatasi adalah akar permasalahannya,” tukasnya.

Menurutnya, kalau Aceh menerapkan jam malam, meliburkan sekolah, menutup usaha masyarakat dan melarang keramaian, tapi masih membuka bandara, pelabuhan dan terminal, maka semua kebijakan itu tidak akan mengakhiri penularan virus corona.

“Seandainya kita asumsikan bahwa semua orang yang ada di Aceh ini negatif dari Covid-19. Tapi kemudian masuk orang yang sudah terinfeksi Covid-19, maka penularan akan terus terjadi,” sebutnya.

Selain itu di Aceh banyak di antaranya rakyat kecil yang sumber penghasilannya dari bekerja harian. Bagaimana mungkin mereka yang pekerja harian ini diimbau untuk berdiam diri di rumah selama 14 hari.

“Mau makan apa dia dan keluarganya,” sebutnya.

Oleh sebab itu, ia mendesak pemerintah Aceh agar segera menutup semua jalur masuk ke Aceh, baik resmi maupun tidak resmi. Tidak ada yang bisa masuk dan keluar dari Aceh hingga batas waktu yang ditentukan.

Apabila hal ini diterapkan, Irwan Djohan yakin penularan virus corona di Aceh akan terhenti. Karena yang di dalam sudah dilindungi, dan yang diluar tidak bisa masuk. Dengan demikian kegiatan perekonomian masyarakat Aceh masih bisa tetap berjalan. Tidak perlu jam malam dan bahkan tidak perlu penutupan usaha milik masyarakat.

Kata Irwan Djohan, kalau dengan penutupan jalur masuk ke Aceh dikhawatirkan akan mengganggu stok bahan pokok, peralatan medis, BBM dan sebagainya. Maka bisa dibuat pengecualian bagi truk pengangkutan, pesawat cargo dan kapal barang.[]

Penulis: A.Acal

Shares: