Editorial

Irwandi ‘Lawan’ Putusan Hakim

Irwandi Yusuf. (suara.com)

“SAYA dizalimi, dan akan melawan putusan ini,” kata Irwandi kepada sejumlah wartawan usai sidang pembacaan vonis dirinya oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi atau PN Tipikor Jakarta Pusat, Senin, 8 April 2019.

Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh nonaktif periode 2017-2022, dijatuhi hukuman 7 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta pusat. Tidak hanya kurungan badan, sidang juga memutuskan mencabut hak politiknya, serta denda 300 juta, subsider tiga bulan kurungan.

Vonis yang diberikan majelis hakim, lebih rendah dari tuntutan jaksa yang  sebelumnya mengajukan hukuman untuk Irwandi Yusuf dengan 10 tahun kurungan. Vonis majelis ini sejalan dengan aturan yang ada yakni 2/3 dari tuntutan diajukan penuntut umum KPK. “Saya merasa dicurangi, dizalimi karena itu akan menuntut keadilan, dan mengajukan banding,” tegas Irwandi Yusuf.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa upaya hukum banding diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tertuang pada Pasal 67, Pasal 233 s/d Pasal 243. Dari aturan-aturan pasal tersebut dijelaskan hak dari terdakwa maupun penuntut umum untuk mengajukan banding, dan tenggang waktu yang diberikan undang-undang.

Mengenai hak terdakwa maupun penuntut umum untuk mengajukan upaya hukum banding, diatur pada Pasal 67 KUHAP, yang menjelaskan: ”Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama,……”

Vonis hakim yang dijatuhkan kepada Irwandi, adalah putusan di tingkat pengadilan pertama, artinya, Gubernur Aceh nonaktif tersebut, masih memiliki hak untuk mengajukan banding ke PT Jakarta Pusat, dan bahkan kasasi hingga ke Mahkamah Agung.

Namun, dari yuresprudensi serentetan kasus yang ditangani KPK, sangat jarang vonis pengadilan tinggi di atasnya memberikan vonis lebih ringan, dan bahkan hingga vonis bebas. Kecuali menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama atau bahkan meningkatkannya.

Jikapun Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta Pusat, mengabulkan upaya hukum banding yang diajukan oleh seorang terbanding, dengan memberikam vonis bebas misalnya, atau pengurangan hukuman, KPK tentu tidak tinggal diam, dan dapat melakukan kasasi ke Mahkamah Agung atas vonis banding tersebut.

Akan tetapi, menilik sejumlah kasus yang telah divonis hakim di pengadilan tingkat pertama, atas sejumlah kasus tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, kebanyakan upaya banding hanya menghasilkan hukuman tambahan.

Secara aturan, Irwandi Yusuf dan penasihat hukumnya, memiliki waktu 7 hari untuk pikir-pikir, menyatakan sikap menerima atau tidak putusan pengadilan pertama dan 14 hari untuk mengajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat.

Kita tunggu saja, perlawanan Irwandi Yusuf selanjutnya untuk menemukan keadilan yang menurutnya tidak adil tersebut. Semoga! (red)

Shares: