FeatureHeadline

Menolak Ustadz Firanda di Masjid Al Fitrah

Massa yang menolak kajian Ustadz Firanda menguasai mimbar di Masjid Al Fitrah | Foto: Al Asmunda

SUARA gaduh terdengar dari luar sesaat pengajian yang dipimpin Dr Firanda Andirja di Masjid Al Fitrah Keutapang II Banda Aceh baru berlangsung selama 15 menit. Namun, Firanda Andirja yang memimpin pengajian tersebut terlihat tenang. “Beliau tidak gugup,” ungkap Ketua Badan Kemakmuran Masjid (BKM) Al Fitrah, Muslim Usman, Sabtu, 15 Juni 2019.

Muslim kemudian melihat jamaah wanita yang sebelumnya berada di luar masjid, tepatnya di bawah tenda pekarangan masjid, masuk ke dalam. Mereka terlihat ketakutan. “Ada yang terkena lemparan berbagai macam benda,” tambah Muslim.

Melihat kondisi seperti itu, pihak jamaah pengajian kemudian berusaha menahan laju massa yang terlihat emosi. Muslim menyebutkan di sinilah terjadi ribut-ribut. Massa terus merangsek ke dalam.

Pihak BKM Al Fitrah kemudian mencoba mengawal Firanda ke luar. Namun, Muslim tidak mengetahui kemana ustadz yang disebut-sebut sebagai pengisi pengajian berbahasa Indonesia di Madinah itu dibawa.

Muslim sempat berpikir massa yang kadung emosi akan kembali tenang. Hingga akhirnya waktu Isya berlangsung dan para jamaah pengajian melanjutkan salat berjamaah. Namun, dugaan Muslim salah. Di luar massa yang menentang kehadiran dan pengajian Firanda Andirja di Masjid Al Fitrah masih terus saja berteriak.

Pun demikian, salat Isya berjamaah berhasil dilaksanakan hingga selesai. Masih menurut Muslim, kegaduhan justru berlanjut setelah salat berjamaah dilaksanakan. Kata dia, massa masuk ke dalam masjid dan merusak pembatas salat wanita hingga patah. “Ada yang main pukul-pukul di dalam, bagaimanapun kalau dipukul begitu orang kan spontan melawan,” ungkap Muslim lagi.

Di tengah kegaduhan seperti itu, Muslim kemudian teringat akan putra putrinya. Menurutnya Muslim anak gadisnya saat itu berada di lantai dua, sementara anak lelakinya berada bersama dengan jamaah di lantai satu. Dia menyebutkan kegaduhan mereda setelah Kasdam Iskandar Muda (IM) mendatangi lokasi. “Mungkin pukul 22.00 WIB kurang udah mereda ya,” kata Muslim lagi.

Setelah tenang, Muslim dan Suyanto selaku perwakilan BKM Al Fitrah kemudian dibawa ke Polresta Banda Aceh. Mereka dimintai keterangan terkait kegiatan yang menimbulkan gesekan antara dua kubu tersebut. “Di sana kita melihat juga sudah ada panitia, ada saudara Noval, ada Askar, satu lagi orang tua, saya tidak tahu namanya,” ungkap Muslim.

Namun, menurut Muslim, pihak Polresta justru memberikan pemahaman kepada mereka bukan malah dimintai keterangan. Alhasil, dia dan Suyanto kemudian diizinkan pulang dinihari Sabtu. “Sementara Noval dan Askar masih memberikan keterangan. Saya dengar sampai Subuh,” kata Muslim.

Selama ini Masjid Al Fitrah Keutapang memang kerap mengadakan kajian-kajian, terutama kajian sunnah yang berdasarkan Alquran dan Al Hadist. Dari keterangan Muslim juga diketahui masjid tersebut telah terbiasa didatangi berbagai da’i, baik level lokal hingga internasional. Di masjid tersebut juga kerap didatangi syaikh asal Yaman dan Arab Sauudi. “Kita punya hubungan dengan Ma’had Assunnah di Lampeuneurut,” kata Muslim.

Muslim kemudian melanjutkan pihaknya tidak pernah mengundang ustadz secara khusus, kecuali da’i-da’i lokal. Hal tersebut dikarenakan BKM Al Fitrah tidak memiliki dana untuk mendatangkan para penceramah dari luar. “Kalau kehadiran Ustadz Firanda ini yang mengundang pemerintah, dalam hal ini BKM Rumah Sakit Umum Zainal Abidin,” ungkap Muslim.

Pun demikian, Muslim mengakui telah melihat adanya surat dari MPU Kota Banda Aceh yang berisi tentang pesan dan nasehat agar pengajian Dr Firanda Andirja dibatalkan. Namun, pihaknya tak memiliki kuasa untuk membatalkan acara karena hanya sebagai penyedia tempat. “Sepanjang tidak ada pemberitahuan dari panitia itu acara harus dibatalkan, kami ya siap menyediakan tempat saja. Begitu,” pungkas Muslim.

***

KAMIS, 13 Juni 2019. Sekelompok warga terlihat memenuhi Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Blang Bintang, Aceh Besar sekitar pukul 13.00 WIB. Kedatangan mereka untuk mencegah kedatangan Dr Firanda Andirja, salah seorang ustadz yang kerap mengisi pengajian berbahasa Indonesia di Madinah.

Informasi yang diterima wartawan menyebutkan Firanda Andirja hadir ke Aceh dalam rangka memenuhi undangan dari salah satu pengurus Badan Kemakmuran Masjid (BKM) di Banda Aceh. Dia diminta untuk memberikan tausiyah dan menjadi khatib salat Jumat di salah satu masjid di ibu kota provinsi Aceh.

Kabar kedatangan ustadz Firanda tersebut sudah ramai diperbincangkan warga Aceh, dua hari sebelum yang bersangkutan menjejakkan kaki di Bumi Serambi Mekkah. Warga tidak sepakat dengan isi tausiah pria kelahiran Surabaya tersebut dan kemudian dipolemikkan. Desas desus kedatangannya menyebar cepat di media sosial. Adu argumen di kalangan pro dan kontra pun tak terhindarkan.

Melihat respon masyarakat tersebut, MPU Banda Aceh kemudian mengeluarkan surat edaran dengan nomor 451/074/2019. Surat itu ditujukan kepada Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman, dan juga ditembuskan ke MPU Provinsi Aceh. Dalam surat yang disebut nasehat dan saran ini disebutkan, MPU Banda Aceh meminta Wali Kota agar menolak kehadiran Ustadz Firanda. Majelis ulama tersebut juga meminta pemerintah untuk menghentikan seluruh kegiatan yang telah direncanakan di sejumlah masjid, di Banda Aceh.

“Pertimbangan lainnya termasuk soal pertimbangan identifikasi aliran sesat yang difatwakan oleh MPU Aceh. Menurut mereka (MPU Banda Aceh), tidak tepat (kedatangan Firanda) itu. Wali kota perlu membuat surat ke panitia agar si ustadz jangan mengisi pengajian di Banda Aceh. Kami memperoleh tembusan dari surat itu. Di situlah kami (MPU Aceh) tahu ada kunjungan dari da’i itu,” kata Wakil Ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali, Jumat, 14 Juni 2019.

Dr Firanda Andirja

Warga yang menolak kehadiran Firanda di Aceh terus melakukan unjuk rasa di Bandara SIM. Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Trisno Riyanto yang mengetahui adanya aksi tersebut langsung mendatangi lokasi untuk menenangkan massa. Saat itu massa mendapat kabar berdasarkan hasil rapat Pemerintah Kota Banda Aceh dan instansi terkait serta panitia ihwal pembatalan pengajian Ustadz Firanda.

Menurut pengakuan Lem Faisal, da’i yang besar di Papua tersebut bahkan dikabarkan langusng pulang pada Kamis sore dengan menumpangi pesawat CityLink.

Massa yang berkumpul di Bandara SIM tidak serta merta percaya. Mereka bahkan menunggu sosok Firanda di Gerbang Arrival Bandara SIM. Namun, kata Lem Faisal, panitia dan pihak terkait ternyata memberi kabar bohong kepada massa. “Dia (Firanda) dibawa melalui belakang oleh security bandara. Di situlah masyarakat yang datang mulai panas,” ungkap Lem Faisal.

Kapolresta Banda Aceh yang menyadari situasi mulai memanas kemudian memfasilitasi pertemuan di Hotel Kriyad Muraya. Hadir dalam pertemuan yang berlangsung satu jam itu sejumlah panitia acara dan pejabat terkait. Ikut hadir pula sejumlah massa penolak kehadiran Ustadz Firanda yang akhirnya terjadi adu mulut di lobby hotel.

Rapat tersebut kemudian berakhir dengan permintaan pembatalan kegiatan dari Pemko Banda Aceh dan Kapolresta. Permintaan ini bukan tanpa sebab. Lagipula situasi dirasa semakin tak kondusif karena massa penentang terus berdatangan.

Kendati pemerintah telah meminta kegiatan dibatalkan, tetapi panitia memiliki pendapat lain. Mereka justru meminta keadilan dan perlindungan keamanan. Sebab sebagai aparatur negara, panitia menilai sebaiknya pemerintah dan kepolisian berlaku adil. “Jangan hanya mendengar aspirasi sebagian yang lain, namun mengabaikan aspirasi sebagian lainnya,” kata panitia yang tidak mau ditulis namanya.

Sebelum azan Maghrib, pertemuan tersebut akhirnya bubar. Sementara itu, BKM Masjid Al Fitrah Keutapang II yang kadung menyiapkan acara, tetap melanjutkan kajian ustadz Firanda.

***

KAMIS sekitar pukul 20.58 WIB, massa yang menolak kedatangan Ustadz Firanda berhasil menguasai Masjid Al Fitrah. Pihak keamanan yang ikut ke lokasi kemudian membuka pintu masjid, sehingga massa penolak pengajian Assunnah yang sebelumnya tertahan di luar masuk ke dalam.

Adu pukul tidak terhindarkan karena kedua belah pihak kadung emosi. Beruntung personil polisi kemudian berhasil melerai. Sementara beberapa jamaah pengajian Assunnah terlihat keluar dari dalam masjid dengan raut muka ketakutan. Ada pula yang menangis. Massa yang menolak pengajian itu lantas menggelar salawat dari atas mimbar dipandu seorang pria bergamis hitam. Pekik takbir juga terdengar dari dalam masjid. Sontak insiden ini menjadi perhatian warga. Kemacetan pun terjadi di sekitar lokasi rumah peribadatan tersebut.

Abu Syuja salah seorang koordinator massa menyebutkan aksi pembubaran tersebut dilakukan karena mereka tidak sepakat dengan kehadiran Ustadz Firanda. Dia menuding isi kajian yang dibawakan berpaham Salafi Wahabi.

Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Trisno Riyanto bersama Dandim 0101/BS Lekol Inf Hasandi Lubis mencoba menenangkan massa. Mereka berulangkali mengajak massa untuk membubarkan diri. “Ini sudah selesai saudara-saudara, tolonglah bubar. Bagaimana mau kita selesaikan ini kalau tidak bubar,” ucap Kapolresta Banda Aceh yang diamini Dandim.

Namun, massa yang menolak kehadiran Ustadz Firanda masih bertahan di lokasi hingga pukul 23.00 WIB.

Wakil Ketua MPU Aceh Tgk Faisal Ali

Wakil Ketua MPU Faisal Ali yang belakangan dihubungi popularitas.com menilai penolakan terhadap kajian Ustadz Firanda disebabkan beberapa hal. Menurutnya selama ini masyarakat yang tidak sepakat dengan Ma’had Assunnah telah menelusuri ceramah-ceramah yang disampaikan Firanda, di berbagai tempat. “Sangat menyinggung masyarakat Aceh dalam konteks akidah, maka itulah terjadi penolakan,” kata Lem Faisal.

Dia menyebutkan mayoritas masyarakat Aceh yang berpaham Ahlussunnah wal Jamaah menentang kajian Ustadz Firanda. Menurutnya sebagai seorang da’i, Firanda dinilai tidak mempertimbangkan kearifan lokal yang ada di Aceh. “Mungkin kalau yang dia sampaikan itu di Jakarta, ya tidak masalah. Namun kalau di Aceh itu kan jadi sesuatu yang jadi masalah,” ungkap Faisal Ali.

Pimpinan salah satu dayah di Aceh Besar tersebut juga menyebutkan penolakan yang dilakukan masyarakat Aceh adalah terhadap da’i-da’i yang dianggap radikal. MPU pun, menurutnya, sudah berulangkali menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah Aceh agar membuat petunjuk teknis (juknis), terhadap da’i-da’i maupun imam yang datang ke daerah Aceh. “Supaya bisa beradaptasi dengan prilaku dan tata cara ibadah masyarakat Aceh, tapi ini tidak diindahkan rekomendasi itu,” pungkas Faisal Ali.*(ASM)

Shares: