EditorialHeadline

Inovasi Berujung Jeruji Besi

Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah bersama Munirwan saat meraih juara I Gampong Terbaik | Foto: Okezone

BENIH IF8 adalah varietas benih unggul yang pertama kali dikenalkan oleh Prof Dwi Andreas, Dosen di Institute Pertanian Bogor (IPB). Prof Dwi sendiri merupakan Ketua Asosiasi Bank dan Benih Tani Indonesia (AB2TI) pusat.

Varietas ini, awalnya merupakan benih padi yang diperuntukan bantuan bagi komunitas petani di Nisam, Aceh Utara. Dan selanjutnya, Munirwan, Sekretaris AB2TI provinsi Aceh, dan juga geuchik di kecamatan tersebut berhasil mengembangkan benih ini. Alhasil banyak masyarakat yang mempergunakan benih padi varian baru tersebut..

Menurut Munirwan, kala itu, sebagaimana pernah diberitakan oleh Kompas.com, Kelebihan benih ini adalah tahan di tanah kering. Hasil panennya juga melimpah, 11,6 ton per hektar. Sebelumnya padi di Aceh Utara hanya mencapai 6 sampai 7 ton. “Itu yang menyatakan 11,6 ton juga dinas,” kata Munirwan.

Sebagai geuchik, Munirwan kemudian mengembangkan varietas ini dan mendirikan Badan Usaha Milik Gampong/Desa (BUMG) untuk pemasaran kepada para petani di Desa Meunasah Rayeuk. Bahkan karena keunggulan benih jenis ini, tidak hanya warga gampong itu yang menggunakannya, namun meluas hingga keseluruh kecamatan, Nisam, di Aceh Utara.

Persoalannya muncul kemudian, saat Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distabun) Aceh, A Hanan melaporkan Munirwan ke Polda Aceh dengan pasal penjualan benih tidak bersertifikasi.

Dan atas dasar laporan tersebut, Polda Aceh, pada Selasa, 23 Juli 2019, menahan Munirwan.

Secara aturan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan pengujian Undang-undang nomor 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman. Dalam putusan tersebut, disebutkan tidak perlu ada sertifikat dan pelepasan dari Kementerian Pertanian RI terhadap benih skala kecil dan diproduksi oleh komunitas pertanian. Dan benih yang beredar wajib berada di lingkungan pertanian komunitas petani dan tidak bisa diperjual belikan secara komersil.

Nah, dari putusan MK tersebut, semestinya, Distanbun Aceh tidak serta merta mengkriminalisasi Munirwan. Sebab, yang dilakukan geuchik tersebut masih hanya sebatas mengedarkan benih dalam komunitas petani saja, dan tidak dikomersialisasikan secara masif.

Laporan Kepala Distanbun Aceh memperlihatkan keangkuhan dan kepongahan sang kadis atas upaya warga dalam mengembangkan varietas benih, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan.

Kita percaya bahwa, apa yang dilakukan Munirwan, bersama dengan kelompok petani lainnya, berupa batas ingin meningkatkan taraf hidup, dan menaikkan produktivitas hasil produksi padi. Sebab, mereka melihat secara langsung dengan menanam padi menggunakan benih IF8, hasilnya lebih maksimal.

Sebagai aparatur negara, tugas Kepala Distabun Aceh semestinya melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap beragam benih yang beredar di masyarakat. Bukan justru melakukan kriminalisasi terhadap upaya petani yang ingin sejahtera.

Tindakan Kadistanbun Aceh yang mengatasnamakan Plt Gubernur Aceh dalam melaporkan Munirwan ke polisi adalah sikap berkelit dari seorang yang bertanggungjawab secara teknis dalam perbenihan padi, dan sudah sepantasnya, hal tersebut dipertanggungjawabkan.

Dua kesalahan besar Kadistabun Aceh, yakni, menyeret nama Plt Gubernur Aceh dalam pusaran kasus ini, dan yang kedua adalah tindakan kriminalisasi terhadap inovasi. Dan ini sudah barang tentu tidak dapat ditolerir. Atas kedua tindakan kesalahan tersebut, sudah sepantasnya, Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, memberhentikan kadis tersebut. (RED)

Shares: