NewsParlementaria DPR Aceh

Ini Sikap Plt Gubernur Aceh terkait Surat Pembatalan Qanun Bendera

BANDA ACEH (popularitas.com) – Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Aceh Nova Iriansyah menganggap surat keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait pembatalan Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh sama sekali tidak ada dan mendekati hoaks. Hal tersebut disampaikan Nova menyikapi tidak adanya surat dalam bentuk fisik yang diterima Pemerintah Aceh maupun DPR Aceh hingga saat ini.

“Yang jelas itu ada dua, satu SK satu surat. Keduanya tidak ada ditujukan kepada gubernur, karenanya saya tidak ingin mengomentari lebih jauh,” kata Nova Iriansyah usai mengikuti rapat bersama menyikapi beredarnya surat Kemendagri tersebut di ruang Badan Musyawarah DPR Aceh, Senin, 5 Agustus 2019.

Meskipun demikian, Plt Gubernur Aceh tidak menganggap remeh terkait beredarnya salinan surat pembatalan Qanun Bendera Aceh tersebut. Pihak Pemerintah Aceh menurut Nova tetap menyikapi serius adanya surat tersebut dengan cara mengklarifikasi ke pihak yang berwenang di Kemendagri.

Plt Gubernur Aceh menilai hingga saat ini Qanun Bendera Aceh Nomor 3 tahun 2013 masih sah di mata hukum, jika merujuk pada tidak adanya fisik surat pembatalan yang dimaksud. “Tidak ada unsur kebenaran dari surat ini, kalau tidak ada unsur kebenaran kan salah, maka apa yang sudah berjalan itu sah,” kata Plt Gubernur Aceh.

Seperti diketahui, pihak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menggelar rapat untuk membahas beredarnya surat Kemendagri terkait pembatalan Qanun Nomor 3 tahun 2013 bernomor 188.34/2772/SJ tertanggal 26 Juli 2016. Surat yang kemudian marak beredar di media sosial tersebut kembali menuai polemik di Aceh.

Lagipula, para pihak terkesan lempar bola terkait pencabutan Qanun Nomor 3 tentang Bendera Aceh yang telah menjadi produk hukum hasil kesepakatan bersama antara Pemerintah Aceh dengan DPRA pada 2013 lalu. Untuk menyamakan persepsi, DPR Aceh kemudian mengundang para pihak yang terlibat dalam penyusunan qanun termasuk mantan Ketua DPR Aceh, Muharuddin. Dalam pertemuan itu, DPR Aceh turut mengundang eksekutif yang dihadir Kepala Biro Hukum Amrizal J Prang dan Kepala Tata Pemerintahan Setda Prov Aceh, selain Plt Gubernur Aceh.

Dari hasil pertemuan tersebut diketahui kedua belah pihak telah mengkonfirmasi belum menerima secara fisik dan administrasi surat Kemendagri Nomor 188.34/2772/SJ tertanggal 26 Juli 2016 terkait pembatalan Qanun Bendera Aceh. Lebih lanjut, Pemerintah Aceh bersama DPR Aceh sepakat melakukan penyelesaian terhadap polemik surat Kemendagri tersebut dan menjadwalkan pertemuan secara langsung dengan Presiden serta Wakil Presiden.

Pertemuan antara para pihak di Aceh ini juga menghasilkan kesimpulan untuk memverifikasi keaslian surat yang dimaksud serta menganggap Qanun Nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh masih sah secara hukum.

Sementara itu, Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh Amrizal J Prang menilai adanya keanehan dalam bentuk surat pembatalan Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013 yang kemudian beredar di media sosial tersebut, baik surat ataupun surat keputusan. Keanehan pertama adalah surat yang ditujukan kepada Presiden juga diberikan tembusan kepada Presiden.

“Kalau kita lihat di sini sangat jelas surat ini ditujukan kepada Presiden. Tetapi anehnya kenapa surat tersebut juga tembusannya kepada Presiden, baik dalam surat maupun surat keputusan sama tembusannya, kepada Presiden. Artinya ini ada yang berbeda,” ungkap Amrizal J Prang.

“Kalau berbicara keabsahan surat itu sudah pasti secara administrasi agak aneh. ketika diktum yang dimasukkan ditujukan kepada gubernur, sementara surat yang diberikan kepada presiden,” tambah Amrizal.

Dia mengatakan secara normatif sebelum keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) diketahui menteri mendapat kewenangan dalam konteks pengawasan terhadap qanun atau peraturan daerah yang lahir. Pengawasan tersebut terdiri dari dua bentuk yaitu pengawasan bersifat klarifikasi dan pengawasan bersifat evaluasi.

Masih menurut Amrizal, pengawasan dalam bentuk evaluasi biasanya diberikan kepada Perda atau Qanun APBD dan Qanun RPJM. Namun untuk Qanun Bendera berlaku pengawasan klarifikasi yang saat itu masih berlaku UU nomor 32 tentang Pemerintah Daerah karena belum keluarnya keputusan MK.

Jika merujuk pada surat tersebut yang keluar pada 2016, maka dipastikan surat pembatalan ini masih merujuk pada UU Nomor 32. Namun demikian, menurut Amrizal, tidak membuat Qanun Lambang dan Bendera Aceh serta merta gugur karena masih ada aturan hukum yang dipenuhi, seperti klarifikasi 60 hari yang apabila tidak ditindaklanjuti oleh Pemerintah Aceh maka dapat dibatalkan melalui Keputusan Presiden. “Persoalannya selama 60 hari kan tidak dibatalkan. Sebenarnya sudah sah dilaksanakan. Permasalahan di Aceh itu ada anomali di Aceh. Sehingga ada yang mengatakan di Aceh itu rumit, kalau (Qanun Lambang dan Bendera Aceh) tidak dilaksanakan, kenapa tidak dibatalkan, sehingga kemudian dikenal cooling down. Padahal dalam perundang-undangan tidak dikenal cooling down,” pungkas Amrizal J Prang.*(BNA)

Shares: