HeadlineNews

Indonesia Menjadi Titik Lemah Setelah Ratusan Rohingya di Aceh Kabur

Rohingya di Aceh, perdagangan manusia atau soal kemanusiaan
ilustrasi, Pengungsi etnis Rohingya berada di atas kapal KM Nelayan 2017.811 milik nelayan Indonesia di pesisir Pantai Seunuddon. Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, Aceh, Rabu (24/6/2020). Sebanyak 94 orang pengungsi etnis Rohingya, terdiri dari 15 orang laki-laki, 49 orang perempuan dan 30 orang anak-anak ditemukan terdampar sekitar 4 mil dari pesisir Pantai Seunuddon. (Antara)

POPULARITAS.COM – Berulangnya kedatangan ratusan pengungsi di Aceh, ditampung, kemudian kabur menunjukkan bahwa Indonesia merupakan titik lemah dalam rute perjalanan para pengungsi menuju tujuan akhir, kata seorang pengamat menanggapi laporan ratusan warga Rohingya yang melarikan diri dari kamp di Lhokseumawe.

Setelah hampir 400 warga Rohingya tiba di Indonesia dalam dua gelombang tahun lalu, UNHCR selaku badan PBB yang menangani pengungsi, melaporkan jumlah mereka saat ini hanya 112 orang.

Pejabat setempat mengatakan para pengungsi melarikan diri tanpa sepengetahuan penjaga.

Indonesia bukanlah negara tujuan

Para pengungsi Rohingya kabur dari kamp di Aceh disebabkan oleh keinginan mereka yang tidak ingin menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan akhir.

Menurut Chris Lewa, direktur organisasi non-pemerintah Arakan Project, para pengungsi Rohingya ini ingin ke Malaysia.

Hal ini ia sampaikan, setelah ratusan pengungsi Rohingya diketahui telah meninggalkan kamp mereka di Lhokseumawe, Aceh.

“Indonesia bukanlah negara tujuan. Namun Indonesia menjadi tempat transit karena tidak bisa mendarat di Malaysia atau tidak bisa sampai ke Malaysia,” kata Lewa melalui sambungan telepon, Senin (25/1/2021).

“Dan kali ini terlihat pola-pola yang persis sama, meski sedikit berbeda, karena sekarang para penyelundup, atau orang-orang yang terlibat dalam memfasilitasi ini, tahu bahwa mereka sekarang tidak akan masuk ke Thailand karena sudah ada beberapa kapal kecil yang masuk ke Thailand dalam beberapa tahun terakhir. Tapi biasanya semua orang pasti ditahan di sana,” tambahnya.

Lewa menengarai peranan jaringan penyelundup untuk membawa para pengungsi Rohingya ke Malaysia.

Ada lebih banyak perempuan di dalam rombongan pengungsi yang tiba di Aceh tahun lalu, tambah Lewa, dibandingkan kasus-kasus sebelumnya.

Sehingga, menurutnya, banyak di antara pengungsi itu sudah dijodohkan untuk menikah dengan warga Rohingya di Malaysia.

“Jelas sekali tujuan mereka adalah Malaysia. Biasanya uang untuk seluruh perjalanan dibayar oleh kerabat di Malaysia, atau suami atau tunangan, atau apa pun yang telah diatur.”

“Jadi ya, mereka mencoba memindahkannya perlahan melalui penyelundup dari Aceh, mungkin melalui Medan, ke Malaysia,” jelas Lewa.

Kapal-kapal yang membawa pengungsi Rohingya sering kali ditolak di negara-negara lain, menurutnya.

“Pushbacks (penolakan) kapal yang mengalami kesulitan di laut serta penolakan penurunan dari kapal adalah ilegal, termasuk menurut Hukum Laut Internasional. Sebagai aktivis hak asasi manusia dan hak pengungsi, kami menyerukan kepada negara-negara di kawasan untuk terlibat dalam pencarian dan penyelamatan, dan mengizinkan pendaratan,” kata Lewa.

“Juga untuk mengambil pendekatan regional seperti sesuai Bali Process. Namun anggota-anggota Bali Process tidak mengambil tindakan apapun terkait hal ini pada tahun 2020.”

Berulangnya kejadian kapal-kapal yang membawa pengungsi tiba Indonesia, menunjukkan negara ini menjadi sebuah titik lemah dalam rute perjalanan menuju tujuan akhir, tambah Lewa.

“Memang, hal itu menjadikan Indonesia sebagai tujuan yang tidak disengaja atau ‘titik lemah’,” katanya.

Indonesia bukan termasuk anggota negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi (1951). Meski demikian, kasus kapal-kapal yang tiba di Aceh membawa pengungsi Rohingya terjadi berulang kali, terutama saat puncak ketegangan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada 2015.

Tahun lalu, gelombang pertama rombongan kapal-kapal yang membawa pengungsi Rohingya terdiri dari 94 orang pada Juni, kemudian rombongan lain tiba di Aceh pada September dan membawa 297 orang.

Mereka lantas ditempatkan di kamp pengungsian di Lhokseumawe. Namun, menurut data yang dirilis oleh UNHCR pekan lalu, kini hanya ada 112 orang yang masih berada di kamp-kamp itu.

Yang jelas mereka kabur

Sementara itu, Ridwan Djalil, Kepala Dinas Sosial Kota Lhokseumawe dan Ketua Satgas Rohingnya, mengakui ratusan warga Rohingya itu melarikan diri.

Ia mengatakan pihaknya telah bekerja sama dengan UNHCR dalam memberikan perlindungan bagi kamp pengungsian.

Meski demikian, ratusan orang telah lolos secara berangsung-angsur tanpa sepengetahuan penjaga.

“Walaupun kita jaga sebaik mungkin, mereka tetap kabur. Kita sudah mencoba secara kemanusiaan agar tidak kabur.”

“Yang jelas mereka kabur, tidak bisa mengambil indikasi bahwa ada yang membawa mereka kabur, yang jelas itu mereka meninggalkan kamp pengungsian. Kaburnya secara berangsur, tidak mungkin pergi secara sekalian,” kata Ridwan Djalil kepada Hidayatullah, wartawan di Aceh yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, (25/1/2021).

Public Relations Officer Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Indonesia, Mitra Suryono, mengatakan pada praktiknya, implementasi dari penanganan pengungsi adalah suatu hal yang kompleks dan membutuhkan koordinasi antara pihak Pemerintah, UNHCR, dan mitra kerja lainnya.

“Pengurangan jumlah pengungsi dalam tempat penampungan [karena kepergian pengungsi] terjadi meskipun kami telah dan secara terus menerus meningkatkan kesadaran para pengungsi akan bahaya dan risiko dari aktivitas penyelundupan dan perdagangan manusia,” kata Mitra kepada BBC melalui pesan tertulis, (25/1/2021).

“Hal ini kami lakukan secara rutin melalui berbagai sesi Focus Group Discussion (FGD) dan konseling yang kami berikan bagi para pengungsi. Selain itu, kami juga memiliki team penjaga yang menangani keamanan di lokasi tinggal para pengungsi.

“Adalah penting untuk diingat, bahwa pengungsi adalah orang – orang yang meninggalkan negara asalnya untuk menghindari penganiayaan. Bahwa orang-orang rentan seperti mereka yang terdiri dari anak-anak, wanita dan pria, tetap berani menempuh perjalanan yang berkelanjutan, menunjukkan betapa putus asa-nya pengungsi Rohingya.

“Pengungsi Rohingya adalah etnis minoritas yang paling teraniaya di seluruh dunia, dan karenanya banyak di antara mereka yang akan selalu berupaya untuk mencari masa depan yang lebih baik bagi dirinya dan keluarga mereka,” tutupnya.

Korban kekerasan di perjalanan

Sementara itu, Iskandar, dari Geutanyo Foundation, kelompok advokasi pengungsi yang berbasis di Indonesia, mengatakan para pengungsi tersebut merupakan korban. Di antara mereka, ada yang mengalami kekerasan dalam perjalanan di kapal, yang bisa mencapai berbulan-bulan.

“Kenapa mereka kita katakan korban? Karena mereka harus mengeluarkan sejumlah uang yang kalau mereka tidak membayar, mereka tidak bisa sampai. Nah, ketika mereka belum sampai, mereka jadi bagian daripada orang yang dikorbankan,” kata Iskandar via telpon, (25/1/2021).

Namun, ia mengakui bahwa Indonesia hanya merupakan tempat transit bagi banyak dari mereka.

“Yang harus kita lindungi sebetulnya adalah mereka bagaimana memahami bahwa mereka tidak menjadi bagian daripada smugglers itu sendiri. Ini yang kita coba beri pemahaman. Tetapi dalam memberi pemahaman ini kan butuh hal-hal yang lebih riil karena ada pandangan-pandangan lain bahwa yang membawa mereka bisa keluar dari kamp itu dianggap pahlawan,” tuturnya.

Ia mengatakan pihaknya terus berupaya memberi pedampingan kepada para pengungsi Rohingya di Aceh, agar tidak jatuh korban lagi ke tangan penyelundup.[]

Sumber: BBCIndonesia

Shares: