EditorialHeadline

Implementasi syariat Islam di Aceh gagal, salah siapa?

DUA tokoh di Aceh soroti implementasi syariat Islam di bumi berjuluk serambi mekkah. Keduanya menyebutkan, ada sisi kegagalan dalam pelaksanaannya. Lantas siapa yang mesti disalahkan?
Implementasi syariat Islam di Aceh gagal, salah siapa?
Ilustrasi, algojo melakukan eksekusi cambuk terhadap terpidana liwath atau gay di Taman Bustanussalatin, Kota Banda Aceh, Kamis (28/1/2021). (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

DUA tokoh di Aceh soroti implementasi syariat Islam di bumi berjuluk serambi mekkah. Keduanya menyebutkan, ada sisi kegagalan dalam pelaksanaannya. Lantas siapa yang mesti disalahkan?

Saat menjadi pemateri dalam pengajian yang digelar oleh DPA Partai Aceh, 1 Agustus 2022, Pimpinan Dayah Babussalam Al-Aziziyah Jeunieb, Kabupaten Bireuen, Tgk Muhammad Yusuf A Wahab alias Tu Sop, menyebutkan bahwa, implementasi syariat Islam di provinsi ujung barat Sumatra itu, masih sebatas tindakan dan hukuman semata. 

Ulama Aceh itu, mengaku prihatin dengan kondisi pelaksanaan syariat Islam yang belum dijalankan optimal. Fungsi pembinaan selama ini sama sekali belum efektif dan berjalan sesuai dengan harapan semua pihak.

Dia meminta semua elemen di Aceh, terutama pemerintah daerah dan kabupaten dan kota, serta instansi terkait untuk menyelenggarakan syariat Islam secara menyeluruh di semua aspek kehidupan masyarakat dengan mengacu pada konsep yang telah di rumuskan.

Ia mencontohkan, buruknya promosi syariat Islam di Aceh, justrunya telah menjadi bumerang, dan bahkan, kesan penerapan hukumnya telah membawa ekonomi Aceh terpuruk, dan kondisi sosial kemasyarakatan juga alami penurunan. “Ini karena fungsi syariat tidak dijalankan dengan benar,” tandas Tu Sop.

Tokoh lainnya, Prof Prof Mujiburrahman, yang merupakan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry, juga menyebutkan hal serupa. Dalam keterangan persnya, Sabtu, 6 Agustus 2022, pimpinan kampus perguruan tinggi Islam terbesar di Aceh itu bahkan secara tegas mengatakan implementasi syariat Islam gagal.

Menurutnya, kegagalan itu dikarenakan pemerintah belum secara benar menjalankan konsep-konsep yang telah diatur dalam syariat Islam itu sendiri. “Dalam bahasa pribai saya, Syariat Islam di Aceh gagal,” katanya.

Contoh sederhana, sebut Prof Mujiburrahman, soal pemotongan ayam. Dia bahkan pernah melihat ayam di potong di sebuah pasar Tanpa mengikuti ketentuan hukum syariat, dan hal itu sama saja, tanpa sadar kita semua sudah makan bangkai.

Yang lainnya, sebut dia, soal kemudahan mencari nafkah, hudud atau hukuman, dan juga mahar bagi para pemuda yang ingin menikah. Semua hal itu harus diatur dengan benar, agar konsep syariat islam itu memberikan kemanfaatan bagi masyarakat dapat di rasakan dengan benar.

Apa yang disampaikan kedua tokoh itu seolah menjadi cambuk bagi kita semua, tidak hanya pemerintah selaku pihak eksekusi yang menjadi penyelenggara pelaksanaan syariat islam, namun legislatif, dan elemen kunci lainnya harus menjadikan amaran keduanya sebagai masukan penting.

Lantas, siapa yang harus kita salahkan, syariat islamnya, atau para penyelenggarannya yang belum secara benar menjalankan konsep yang sudah ada. Sejak pemberlakuan pelaksanaan syariat Islam tahun 1999, artinya saat ini usia implementasinya Sudah 23 tahun. 

Tentu wajar ketika kedua tokoh itu soroti pelaksanaan syariat Islam yang telah berumur 23 tahun itu, terutama dari sisi penyelenggarannya oleh eksekutif yang dinilai belum secara benar menjalankannya.

Masyarakat sendiri, Jika kita tanyakan apakah merasakan kemanfaatannya dari pelaksanaan syariat islam, sebagian besar jawabannya belum. Bahkan, warga menilai hukum syariat yang dijalankan belum adil, tidak berpihak, dan tidak dilaksanakan secara menyeluruh.

Penilaian masyarakat dalam implementasinya kerap melihat pelaksanaan huakaum syariat hanya menyasar orang-orang kecil, namun gagal ketika pelanggaran dilakukan oleh penyelenggara negara. Itu fakta yang tidak dapat dipungkiri.

Dua puluh tiga tahun perjalanan syariat islam di bumi serambi mekkah itu, hanya memperlihatkan hal-hal yang belum subtansial. Masih sebatas wujud dalam bentuk simbol-simbol islam, tapi belum menyeluruh di semua aspek kehidupan masyarakat.

Peringatan yang diberikan dua tokoh penting di Aceh itu, seharusnya menjadi cambuk bagi siapa saja, terutama pemerintah Aceh, kabupaten dan kota, untuk mengevaluasi kembali tata cara, dan metode yang benar dalam penyelenggaraan syariat islam. 

Rentang waktu 23 tahun adalah masa yang cukup untuk evaluasi, apa yang gagal, dimana gagalnya, penyebab kegagalan itu, dan tentu saja, masyarakat sebagai objek dari pelaksanaanya harus dilibatkan secara aktif untuk memperbaikinya. 

Semoga, evaluasi atas kegagalam implementasi syariat islam, tidak lantas membuat kita berpikir untuk mencabut Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Jangan buruk muka cermin di belah. (**EDITORIAL)

Shares: