FeatureNews

IKM Aceh bertahan dan bangkit dalam badai Pandemi

Pandemi Covid-19 tak hanya sebabkan jutaan kematian. Kebijakan pembatasan sosial, dan upaya global melokasir penyebaran virus dengan lock down dan pembatasan sosial, telah menyebabkan kehancuran sendi perekonomian dunia.
IKM Aceh bertahan dan bangkit dalam badai Pandemi
FOTO: Pengerajin perak, Taufik mengerjakan perhiasan perak di tokonya di Jalan Elang, Ateuk Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Senin (23/8/2021). (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

POPULARITAS.COM – Pandemi Covid-19 tak hanya sebabkan jutaan kematian. Kebijakan pembatasan sosial, dan upaya global melokasir penyebaran virus dengan lock down dan pembatasan sosial, telah menyebabkan kehancuran sendi perekonomian dunia.

Seluruh negara didunia alami perlambatan ekonomi, dan tidak sedikit diantaranya lumpuh. Kebijakan menutup akses internasional masuk ke Indonesia, turut menghancurkan pasar industri kecil dan menengah (IKM) yang selama ini bertumpu pada sektor kepariwisataan.

Pembatasan tersebut juga berdampak signifikan terhadap sektor IKM di Aceh. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, kurang dari dua tahun kebijakan itu diterapkan, nyaris provinsi ujung barat Sumatra tidak dapat dikunjungi wisatawan asing.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh, Mohd Tanwier, dalam keterangannya kepada popularitas.com medio April 2021 menyebutkan, terdapat 41 ribu IKM di Aceh yang terimbas Covid-19. Akibatnya ratusan ribu tenaga kerja di sektor itu terdampak pandemi.

Sejumlah IKM Aceh, yang didatangi popularitas.com, mengaku Pandemi Covid-19 telah mengubah cara bisnis. Hal tersebut disampaikan Bethseba, salah satu pelaku usaha kecil di Banda Aceh.

Ditemui popularitas.com di tempat usahanya, perempuan asal Salatiga itu tengah sibuk memasarkan produk miliknya lewat laman media sosial.

Hampir genap sembilan bulan, Bethseba dipercaya sebagai pengelola ASA Kopi di Banda Aceh yang merupakan milik Armiyadi, pengusaha kopi asal dataran tinggi Gayo, tepatnya di Kabupaten Aceh Tengah.

Beth sendiri merupakan pekerja yang diberikan tanggung jawab untuk mengelola industri kecil menengah (IKM) itu di pusat ibu kota Provinsi Aceh. Perempuan asal Salatiga, Jawa Tengah ini juga ditugaskan memasarkan kopi ini untuk lokal dan nasional.

Adapun jenis kopi yang dipasarkan Beth yakni robusta dan arabica. Kedua jenis kopi ini sama-sama diminati oleh pasar lokal dan nasional. Para pendatang umumnya membeli kopi untuk dibawa pulang saat akan kembali ke daerah masing-masing.

“Toko ini berdiri sejak kurang lebih tiga tahun lalu. Kalau saya fungsinya di sini sebagai pengelola untuk memajukan penetrasi orginal Gayo Coffee untuk daerah lokal,” kata Beth saat ditemui di tokonya, belum lama ini.

Kepercayaan yang diberikan Armiyadi untuk mengelola usaha tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Beth, terlebih saat pandemi Covid-19. Beth tahu, pandemi telah merusak berbagai sektor, salah satunya ekonomi.

Dalam mengatasi hal tersebut, ASA Kopi terus melakukan inovasi agar tetap hidup meski di tengah pandemi. Proses pemasaran kopi pun dialihkan menjadi online. Beth menyebut kini penjualan kopi sekitar 70 persen melalui online.

“Saya dari awal sudah tahu, kalau kita tidak melakukan explore di online, parah, nah kami di online aja. Karena di online itu menguasai sekitar 70 persen pasar,” ucap Beth.

Beth mempunyai trik-trik khusus dalam menerapkan sistem penjualan online. Agar pelanggan melekat pada produk yang sedang dipasarkan, Beth membangun hubungan komunikasi yang intens dengan para konsumen.

“Tentunya kualitas produk yang kita pasarkan harus terjaga,” terang Beth.

Hal yang sama juga dilakukan Teuku Bawadi. Pemilik Bawadi Coffee ini juga merasakan dampak dari pandemi Covid-19, bisnisnya di bidang kopi menurun drastis mencapai 70 persen.

“Wisatawan, tamu-tamu banyak yang tidak masuk ke sini, jalur internasional juga ditutup, sehingga untuk penjualan menurun drastis,” tutur Bawadi.

Pembatasan pergerakan orang membuat Bawadi harus putar otak. Beberapa bulan pandemi melanda, Bawadi mencoba bangkit secara perlahan. Dia meluncurkan sejumlah program inovasi agar bisnisnya tetap berjalan di tengah pandemi.

Program-program yang diluncurkan Bawadi Coffee salah satunya mengratiskan ongkos pengiriman ke seluruh Indonesia. Bawadi melihat cara-cara seperti ini berjalan cukup efektif di tengah pandemi.

“Dari Bawadi Coffee sendiri kita membuat program-program, contohnya kita membuat program delay lima pcs Bawadi Coffee Premium kita berikan free ongkir ke seluruh Indonesia. Dengan ada program-program seperti itu, saya lihat efektif sedikit,” ucapnya.

Bangkit perlahan

Hampir 20 tahun, Taufik menggantungkan hidupnya dari kerajinan perak ini. Ia mendirikan sebuah toko di Jalan Elang, Ateuk Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Di sana, ia mempoles perhiasan perak dan selanjutnya dijual kepada pembeli.

Kerajinan perak yang ditawarkan Taufik kepada pembeli ada beragam macam, seperti pintu Aceh, cincin, bros, dan segala jenis ukiran khas Aceh. Produk-produk tersebut telah berhasil masuk ke pasar tingkat lokal, nasional dan beberapa negara, salah satunya Malaysia.

Khusus untuk lokal, selain bisa didapatkan di tokonya, produk Taufik juga bisa ditemui di tempat-tempat wisata, salah satunya Sabang.

Pandemi Covid-19 menyebabkan usaha Taufik meredup. Kondisi ini pula memaksakan Taufik pindah lapak penjualan dari kawasan Lampineung yang merupakan lintasan jalan protokol ke Ateuk Pahlawan, di tengah-tengah pemukiman warga.

“Karena kalau di Lampineung nggak cukup untuk ongkos sewa toko pun,” sebut Taufik.

Sebelum pandemi, produk kerajinan perak mendapat sambutan bagus di kalangan masyarakat, terutama wisatawan dan ibu-ibu rumah tangga. Namun, pembatasan-pembatasan akibat Corona menyebabkan tingkat penjualan turun drastis.

“Sebelum Corona sangat Alhamdulillah. Satu bulan termasuk bahan baku, omzet sekitar Rp15 hingga 20 juta. Kalau sekarang jalan di tempat, karena tidak ada wisatawan, juga karena tidak banyak pesta perkawinan,” kata Taufik.

Tingkat penjualan menurun drastis membuat Taufik mencari cara lain, ia kini beralih ke sistem penjualan online. Memanfaatkan facebook dan instagram, Taufik mempromosikan produknya melalui dunia maya.

Meskipun tidak begitu maksimal, Taufik bersyukur produknya tetap laku, meski hanya beberapa.  Apabila ada pembeli yang memesan via online, Taufik siap mengirim ke mana pun. Ini bagian dari ikhtiar Taufik dalam berusaha di tengah pandemi.

Taufik berharap pandemi Covid-19 cepat berlalu dan usahanya normal kembali. Dia ingin, saat pandemi sudah berlalu nanti, produk peraknya bisa dikenal lebih luas oleh masyarakat di penjuru Nusantara.

“Semoga Corona cepat selesai dan kondisi kembali pulih, sehingga ekonomi masyarakat hidup kembali, salah satunya saya,” harap Taufik.

Adaptasi yang cepat

Bukan hanya pada industri kopi dan perhiasan, pandemi Covid-19 juga merusak sektor usaha desainer dan produk fashion. Salah satunya milik Ata Amarullah dan Syukriah Rusdy, pasangan suami istri itu, membuka gerai tokonya di Lamlagang, Banda Aceh. 

Di dalam toko itu, ragam busana bermacam model terpajang rapi. Aneka jenis pakaian tersusun, dan sebagian ditampilkan menggunakan maniken. Pencahayaan yang selaras, membuat kesan mewah galeri tersebut.

Syukriah Rusydi, pemilik usaha atau owner Reborn 29 terlihat mengamati buku catatan, dan suaminya, Ata Amarullah, merapikan sejumlah pakaian yang dipajang, ketika popularitas.com, mendatangi toko tersebut, belum lama ini.

Dirinya memulai Reborn 29 dengan konsep menciptakan pakai ready to wear atau siap pakai. Dan model seperti itu belum ada di Aceh. Karenanya dapat dikatakan, pihaknya adalah pionir dalam hal tersebut.

Reborn 29 produk busana dari Aceh ke pasar Australia dan Eropa
Syukriah Rusydi dan Ata Amarullah, pemilik Reborn 29. FOTO : popularitas.com/muhammad Fadhil

 

“Di Aceh itu belum pernah ada konsep ready to wear, dan Reborn 29 pionir dalam menjalankan bisnis dengan model seperti itu,” terangnya.

Pandemi Covid-19 sangat berimbas besar pada produk Reborn 29. Seluruh produksi yang sudah di pasarkan di sejumlah mall dan pusat perbelanjaan di Kota Jakarta dan Surabaya, terpaksa ditarik.

Karena itu, dalam kurun dua tahun terakhir atau semasa pandemi Covid-19, pihaknya fokus pada penjualan online, dan menghentikan sementara pemasaran offline.

Perencanaan yang baik, adaptasi yang cepat, dan kemampuan membaca pasar menjadi kunci Reborn 29 bertahan di tengah pandemi. Selama pandemi, Syukriah melihat masyarakat cenderung melakukan olahraga, seperti bersepeda, dan lainnya.

“Nah, peluang itu kita tangkap dengan memprduksi Reborn Sport. Dan Alhamdulillah produksi diterima baik di pasaran,” ungkap Syukriah.

Tidak hanya melahirkan Reborn 29 model sport, pihaknya juga memproduksi masker, dan juga sajadah serta souvenir. Produk-produk tersebut mendapat sambutan baik dari pasar.

“Itu beberapa strategi dan inovasi yang kami lakukan semasa pandemi, tetap kreatif dan inovatif, semoga pandemi segera berakhir,” demikian Syukriah.

Shares: