FeatureHeadline

Ie Bu Peudah, Takjil Berbuka Puasa Khas Aceh Besar

Ie Bu Peudah, Takjil Berbuka Puasa Khas Aceh Besar
*Warga memasak ie bu peudah di Desa Bueng Sidom, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, Kamis, 30 April 2020 petang. (Fadhil/popularitas.com)

BANDA ACEH (popularitas.com) – Sebuah bangunan tanpa dinding berukuran 4 x 4 meter berdiri kokoh di depan Masjid Tua Bueng Sidom, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar.

Sore itu, Kamis (30/4/2020) di sudut kiri bangunan, kuali besar tampak ditindih di antara penyangga dapur. Di bawahnya, api dari beberapa kayu bakar tampak menyala rata. Dari jarak dekat, hawa panas menyegat sampai ke pori-pori.

Seorang pria tua tampak mengaduk isi dalam kuali agar merata. Dari jarak 2 meter, aroma rempah-rempah dalam kuali tersebut pun sangat terasa. Sebelah kanan kuali, berbagai jenis wadah atau timba ukuran kecil diletakkan berderetan.

Itulah sekilas gambaran suasana memasak Ie Bu Peudah di Desa Bueng Sidom, Kecamatan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar. Ie bu peudah merupakan salah satu kuliner khas di Kabupaten Aceh.

Erwandi (45) warga Bueng Sidom mengatakan, ie bu peudah merupakan salah satu kuliner khas yang ada hanya saat ramadan tiba. Tradisi memasak kuliner ini sudah ada sejak nenek moyang dan masih dipertahankan sampai sekarang.

“Ie bu peudah ini memang kita buat tiap bulan ramadan, dengan bahannya beras, beras ini berasal dari wakaf warga di desa,” kata Erwandi kepada popularitas.com.

Ia menjelaskan, tanah wakaf berupa tanaman padi untuk ie bu peudah juga sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu di desa tersebut. Kebiasaan ini masih dipertahankan hingga sekarang.

“Misalnya setiap warga mewakafkan tanaman padinya, ini saat panen untuk memasak ie bu peudah,” jelas Erwandi.

Dalam penyajiannya, ada beberapa bahan yang diolah untuk memasak ibu peudah seperti kunyit, lada hitam, lada putih, oen sitahe (daun tahe) dan lainnya. Rembah-rembah ini kemudian dicampur dengan beras secukupnya dan diaduk seperti memasak bubur.

“Daun tahe ada memang kita tanam khusus. Namun, selama ini kita pesan di gunung Blang Bintang, lalu ditembuk secara bergotong royong di kampung oleh ibuk-ibuk, numbuknya sehari, memang sudah dikeringkan dan disatukan semuanya,” sebutnya.

Setiap memasuki bulan ramadan, masyarakat Desa Bueng Sidom melakukan musyawarah atau membentuk panitia yang bertugas memasak ie bu peudah. Mereka akan bekerja selama satu bulan penuh dan diberikan honorer ala kadar.

“Tahun ini kita percaya kepada anak-muda yang memang dalam keadaan begini (pandemi virus corona), orang ini tidak ada sekolah dan bisa mendapatkan sedikit biaya untuk lebaran. Maka kesediaan mereka untuk membuat ie bu peudah ini,” kata Erwandi.

Proses memasak ie bu peudah dimulai sekitar pukul 14.00 WIB hingga menjelang 16.00 WIB. Setelah salat asar pukul 16.20 WIB, warga desa setempat mulai berbondong-bondong datang ke masjid untuk mengambil kuliner tersebut.

Kuliner ie bu peudah dibagikan secara gratis kepada warga. Mereka hanya diminta untuk membawa satu buah wadah per KK untuk mengambil kuliner tersebut.

“Ini kita bagikan gratis kepada masyarakat. Kalau dulu anak-anak kecil yang tidak puasa biasanya begitu siap dimasak, mereka minum di sini ramai-ramai. Selebihnya kita bagikan kepada masyarakat,” kata dia.

Namun, kata Erwandi, kebiasaan tersebut tak berlaku lagi di masa sekarang. Hal ini karena anak-anak di desa tersebut rata-rata sudah melaksanakan puasa penuh layaknya orang yang sudah dewasa.

“Sekarang rata-rata anak-anak sudah pada puasa. Jadi tidak lagi minum ie peudah ini, dulu waktu kami masih kecil-kecil itu, waktu SD, nggak puasa minum ini ramai-ramai,” ujarnya.

Asal Mula Ie Bu Peudah

Erwandi tak tahu pasti dari mana asal muasal kuliner ie bu peudah. Namun, dari beberapa sumber ia terima dan dari penuturan orang tua terdahulu, ie bu peudah sengaja dimasak di masjid atau meunasah agar anak-anak dapat berkumpul di sana.

“Katanya ini dimasak di masjid supaya anak-anak tidak mengganggu ibunya di rumah yang sedang memasak penganan berbuka puasa,” kata Erwandi.

Dulu, kata Erwandi, dengan adanya masakan ie bu peudah di masjid atau meunasah, anak-anak kecil di perdesaan di kawasan Blang Bintang dan Kuta Baro akan berkumpul di lokasi proses pemasakan tersebut.

Setelah ie bu peudah siap disajikan, mereka akan membawa pulang ke rumah masing-masing. Dan saat tiba di rumah, ibu dari sang anak pun sudah siap memasak penganan berbuka puasa.

“Yang intinya ie bu peudah ini memiliki makna dan sejarah panjang, sehingga masih bertahan sampai sekarang,” ujarnya.

Bukan hanya di Kecamatan Blang Bintang, tradisi memasak ie bu peudah juga dilakukan di Kecamatan Kuta Baro, Kabupaten Aceh Besar. Namun, di kecamatan ini ada beberapa desa sudah tidak melakukannya.

“Ada juga desa di Kuta Baro tidak melakukan lagi, kalau di Blang Bintang rata-rata tiap desa masih ada,” pungkas Erwandi.

Salah satu desa di Kecamatan Kuta Baro yang masih memasak ie bu peudah adalah Desa Bueng Bak Jok. Menurut Hafidh Maksum, keuchik desa tersebut, tradisi memasak ie bu peudah sudah ada sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam.

Tradisi tersebut, kata Hafidh, dilakukan secara turun temurun sehingga masih bertahan hingga sekarang. Selain itu, tradisi ini juga melambangkan kebersamaan warga dalam melakukan gotong royong saat proses pemasakan.

“Tradisi memasak ie bu peudah sudah pada masa kesultanan, sehingga masih dijaga dengan baik sampai sekarang,” ujar Hafidh.

Kata Hafidh, kuliner ie bu peudah bukan hanya sekadar takjil berbuka puasa, akan tetapi juga sangat bermanfaat untuk kesehatan. Beberapa bahan rempah-rempah dalam kuliner ini diyakini mampu memiliki sejumlah faedah.[acl]

Reporter: Muhammad Fadhil

Shares: