FeatureNews

“Hukuman tak Sepadan untuk Pelaku Penembak Orangutan”

Tim medis melakukan operasi bahu patah terhadap Hope, Minggu 17 Maret 2019 | BKSDA

AWAL Maret lalu, masyarakat Aceh dan luar dibuat geram tatkala seekor Orangutan dan bayinya ditemukan dalam keadaan terluka parah di Desa Bunga Tanjung, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh.

Di tubuh sang induk–yang kemudian diberi nama Hope– bersarang 74 peluru senapan angin. Sementara anaknya, mati usai divonis kekurangan nutrisi dalam perjalanan dievakuasi ke Pusat Karantina Orangutan di Sibolangit, Sumatra Utara. Pusat karantina ini dikelola Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) melalui Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP).

Lalu siapa pelaku penyiksa terhadap Orangutan itu? Pelakunya adalah dua orang pemuda yang masih berusia di bawah umur. Mereka adalah IS (17 tahun) dan SS (16 tahun), warga Desa Bunga Tanjung, Subulussalam.

Lantas, penyelesaian kasus hukum penembak orangutan itu diselesaikan melalui cara diversi, atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

IS dan SS dihukum dengan cara wajib azan Magrib dan Isya di Masjid Desa Bunga Tanjung selama satu bulan.

Hasil penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik Polda Aceh berlangsung pada April. Mereka melakukan gelar perkara dan pada saat itu, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sapto Aji Prabowo ikut menghadiri. Dari gelar perkara tersebut, bahwa alat bukti yang didapatkan oleh penyidik itu cukup kuat untuk menaikkan ke tahap penyidikan.

Namun demikian dikarenakan pelaku masih di bawah umur, maka harus menunggu rekomendasi dari Balai Pemasyarakatan) Aceh Singkil dan Dinas Sosial (PEKSOS) yang mendampingi peradilan upaya-upaya hukum untuk anak di bawah umur. Ternyata dari assessment yang dilakukan, Bapas merekomendasikan untuk mengembalikan ke orang tua agar dibina dan diberikan sanksi sosial.

Namun menanggapi hasil hukuman terhadap pelaku apakah puas atau tidak, Kepala BKSD Aceh, Sapto Aji Prabowo mengaku tidak puas karena menurutnya hukuman azan tidak memberikan efek jera.

“Sanksi sosial itu memang diatur dalam UU Perlindungan Anak. Karena itu sesuai aturan, kami hormati. Tetapi kami berharap ini tidak berhenti, dari alat bukti yang ada bisa dikembangkan barangkali kemungkinan ada pelaku lain,” ujar Sapto, saat dikonfirmasi Kamis 1 Agustus 2019.

Pihaknya akan terus memonitor sanksi yang dijalani pelaku, dan mendesak pihak kepolisian untuk mengembangkan kasus ini, karena menurut “penciuman” yang diperoleh BKSD Aceh; senapan angin yang digunakan kedua pelaku saat menembaki Hope merupakan senjata pinjaman.

“Kami berharap penyidik punya keinginan; apakah ini hanya memang berhenti, atau kemudian sebenarnya ada kaitan dengan pelaku lain, ini perlu ditelusuri. Saya masih berharap kasus ini tidak berhenti sampai pemberian sanksi sosial,” ungkapnya.

Kini, sang induk Orangutan Hope, pasrah mengalami buta permanen akibat penyiksaan yang dialaminya. Kemungkinan dia untuk bisa kembali ke habitatnya pun, pupus. Hope akan selamanya berada di dalam kawasan konservasi.

Sampai saat ini Hope masih berada di Pusat Karantina Orang Utan di Sibolangit, Sumatera Utara. Saban hari, melalui petugas di sana, dia terus mendapatkan perawatan untuk memulihkan kondisi psikologinya.

Senada dengan Sapto, Forum Orangutan Sumatera (FORA) menilai hukuman terhadap pelaku penembak Hope tak sepadan.

Ketua FORA, Akmal Qurazi mengatakan, sanksi sosial yang ditetapkan kepada pelaku tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Penyebabnya, pelaku sudah memenuhi unsur kejahatan dan pelanggaran.

“Sanksi ini sangat menguntungkan pelaku tapi mengancam keberadaan satwa langka yang di lindungi di Aceh ke depannya. Diversi harus ditinjau ulang kerena kerugian yang ditimbulkan sangat merugikan negara,” katanya, Kamis 1 Agustus 2019.

Namun apa hendak dikata, pelaku sudah ditetapkan menerima hukum demikian. Harapan FORA bahwa semua pihak berkomitmen dan serius dalam pelestarian satwa dilindungi, dan tidak memberikan peluang kepada pelaku kejahatan satwa liar, barangkali dengan wajib harus ditaati semua pihak sejak detik ini! (ASM)

Shares: