HeadlineIn-Depth

Hoax dan Misinformasi Seputar Covid-19

Hoax dan Misinformasi Seputar Covid-19
Ilustrasi

BANDA ACEH (popularitas.com) – Penyebaran berita hoax selama pendami Covid-19 telah menjadi benalu dalam kehidupan masyarakat. Pasalnya angka kejahatan mengalami peningkatan dibandingkan sebelumnya.

Kementerian Komunikasi dan Informastika (Kominfo) mencatat seperti dilansir detik.com, menemukan 474 isu hoax dari berbagai platform media sosial. Data tersebut merupakan data kumulatif terkumpul pada 8 April 2020.

Kondisi ini tentu telah meresahkan warga, ketika berita hoax tersebar. Tentunya psikologi seseorang akan terganggu dan dapat berpengaruh semakin stres hingga dapat berdampak buruk pada kesehatan. Dampak buruk yang paling rentan adalah rendahnya imunitas tubuh, berakibat semakin mudah terjangkit virus corona tersebut.

Penyebaran hoax yang kian mewabah di tengah masyarakat menyangkut dengan pandemi Covid-19. Badan Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya angkat bicara. WHO mengistilahkan dengan Infodemi yang didefinisikan adalah kondisi berlebihnya informasi yang membuat masyarakat sulit untuk membedakan mana informasi yang benar dan mana yang tidak.

Salah satu inisiatif WHO untuk menanggulanginya adalah membuat mythbusters (kanal anti hoax) yang berfungsi sebagai kanal untuk meluruskan misinformasi. Selain di situs web WHO, informasi dari mythbusters tersebut juga rutin disampaikan lewat Facebook, Instagram, Twitter, Linkedin, Pinterest, dan Weibo.

Sepanjang bulan Maret, situs Turn Back Hoax telah mengidentifikasi 158 hoax seputar Covid-19. Angka tersebut meningkat tajam dibanding bulan-bulan sebelumnya, 18 dan 41 hoax dilaporkan masing-masing di bulan Januari dan Februari.

Di bulan April, hoax yang dilaporkan hingga tanggal 10 sudah mencapai 51 laporan, laju yang serupa dengan bulan Maret. Di antara hoax yang berhasil teridentifikasi di Turn Back Hoax dan masuk ke situs KawalCOVID19 adalah hoax bawang merah dapat menyembuhkan Covid-19. Contoh hoax lain yang berhasil diidentifikasi adalah kokain dapat membunuh virus korona, serta minuman beralkohol dan rokok sebagai pencegah resiko Covid-19.

Contoh lainnya yang ditulis oleh KawalCOVID19 terjadi pada 14 Maret 2020, Kementerian Kesehatan Perancis membuat peringatan untuk tidak mengkonsumsi ibuprofen, begitu pula dengan Menteri Kesehatan Perancis dengan rekomendasinya di Twitter.

Peringatan ini berdasar dari studi yang melaporkan hubungan koronavirus dengan enzim ACE-2 yang ditemukan lebih banyak di pasien-pasien dengan komorbiditas darah tinggi dan diabetes. Peringatan dari Prancis itu didasari pada hipotesis mereka bahwa obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) seperti aspirin dan ibuprofen yang meningkatkan kadar enzim ACE-2 dalam tubuh diduga dapat meningkatkan keparahan bila yang bersangkutan tertular Covid-19.

Rekomendasi tersebut tersebar lewat kanal media dari berbagai belahan dunia. Namun, WHO dan Badan Pengawas Obat Eropa mengatakan bahwa penggunaan ibuprofen tidak dilarang dan pengaruhnya terhadap Covid-19 masih dipelajari. Mereka juga mengingatkan bagi orang-orang yang sudah menggunakan OAINS (obat anti inflamasi non-steroid) untuk menangani kondisi mereka saat ini untuk tidak perlu menghentikan pengobatan mereka.

Ini hanyalah satu contoh dari misinformasi yang beredar dalam kecepatan perubahan informasi di saat pandemi Covid-19 ini. Contoh lain seperti penggunaan klorokuin atau lazim dikenal sebagai pil kina sebelum ada hasil uji klinis, artikel potensi penularan pada orang-orang yang jogging atau bersepeda yang ternyata belum melewati proses tinjauan oleh sejawat (peer-review).

Seorang Trainer Google Initiative, Internews, Hotli Simanjuntak dalam diskusi daring dengan tema “Antisipasi Hoax Saat Pandemi” mengatakan, hoax dan berita palsu punya dua ciri. Keduanya adalah disinformasi dan misinformasi.

“Keduanya mengandung berita palsu, tetapi yang beda motifnya di balik itu semua berbeda,” kata Hotli Simanjuntak, Sabtu (25/4/2020) pada diskusi melalui daring aplikasi Zoom.

Kata Hotli, Misinformasi adalah informasi yang salah, namun orang yang membagikannya percaya itu benar. Sedangkan Disinformasi yaitu informasi yang salah dan orang yang membagikannya tahu itu salah. Ini disengaja.

Ada beberapa macam mis-disiformasi yang terjadi selama ini. Yang paling banyak ditemukan itu adalah Satire/parodi. Biasa jenis ini untuk lucu-lucuan, tidak ada niat untuk menyakiti, tetapi berpotensi membodohi dan masuk katagori informasi hoax.

Yang paling berbahaya penyebaran hoax melalui konten menyesatkan (missleading). Kata Hotli, konten sengaha dibuat menyesatkan untuk membingkai sebuah isu atau menyerang individu maupun kelompok. Biasanya berita seperti itu akan diplintir oleh pembuat konten menyesatkan itu.

“Ada banyak konten-konten lain kita temukan yang menyesatkan, seperti kontes asli tapi palsu, konten pabrikasi, gak nyambung, konteksnya salah dan konten manipulatif,” sebutnya.

Lalu mengapa banyak orang muda termakan hoaz dan berita sesat? Kata Hotli, menurut dosen Pskologi Media Universitas Indonesia, Laras Sekarasug, PhD menjelaskan, orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki.

Misal seseorang memang sudah setuju terhadap kelompok tertentu, produk, atau kebijakan tertentu. Ketika ada informasi yang dapat mengafirmasi opini dan sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya.

“Demikian pula sebaliknya,” kata Hotli mengutip ucapan Laras.

Infodemi yang sedang mewabah di nusantara ini tidak hanya dipandang dari sisi pskilogi. Peneterasi pengguna internet yang kiab membluda, juga ikut mempengaruhi wabah informasi hoax juga ikut subut, di tengah banyak pengguna media sosial minim literasi. Lebih banyak hanya membaca judul, karena sesuai dengan opininya maka langsung dibagikan dan bahkan ditambah bumbu-bumbunya lagi berdasarkan opini dia sendiri.

Berdasarkan hasil survei APJII 2017 lalu, lebih separuh populasi Indonesia terhubung dengan internet. Penduduk Indonesia terdapat 143.26 juta jiwa, 54,68 persen dari total populasi adalah pengguna internet atau setara 262 juta orang.

Adapun alasan utama masyarakat mengakses internet, 25,3 persen itu untuk update informasi, atau setara dengan 31,3 juta jiwa. Selebihnya 20,8 persen, 13,5 persen mengisi waktu kosong, 10,3 persen sosialiasi, 9,2 persen terkait pendidikan, 8,8 persen hiburan dan 8,5 persen bisnis, berdagang dan cari barang.

Persoalan kemudian, perkembangan internet dan informasi mengalir seperti air bah yang tak terbendung. Indonesia tidak diimbangi dengan kampuan bersikap kritis terhadap informasi yang beredar di internet. Termasuk tingkat literasi rendah, termasuk kemampuan memproduksi informasi yang masih minim.

Hasil penelitian Unesco 2017, peringkat literasi Indonesia berada pada peringkat ke-60 dari 61 negara disurvei. Indonesia satu peringkat di atas negara Botswana dalam hal literasi.

Ada banyak orang berkerumun di internet dan terpapar beragam informasi. Baik informasi yang benar maupun salah. Dengan tanpa literasi yang memadai, sehingga masyarakat Indonesia cukup mudah mempercayai suatu kontek, padahal informasi tersebut belum tentu kebenarannya dan tidak melakukan verifikasi atas konten yang diterima itu.

Kata Hotli, belum lagi masih terdapat media arus utama tidak dispilik verfikasi. Sehingga semakin menyuburkan informasi yang beredar di tengah masyarakat dan menjadi preseden buruk untuk media profesional – yang semestinya harus memiliki sikap kritis untuk menguji kebenaran suatu informasi tersebut.

Ia mengajak semua pihak agar menggunakan akal sehat agar dapat mencegah penyebaran informasi hoax. Bila terdapat sebuah informasi, rajinlah untuk melakukan verifikasi terlebih dahulu, agar berita yang dibagikan itu tidak menyesatkan dan bukan berita bohong.

“Banyak orang sekarang itu tidak mau membaca detail, baca sekilas langsung bagikan, seharusnya bacakan detail dulu, kalau masih ragu lakukan verifikasi,” ungkapnya.

Agar dapat terhindari dari berita bohong, sebutnya, cermati dulu kontennya, selediki penggugah atau penyebaranya. Biasanya situs abal-abal pemburu traffic itu selaly mendramatisir informasi secara berlebihan. Lokasi peristiwa tiap konten berbeda-beda dan audiens biasanya diminta subscribe, like dan share.

“Bahasa dramatis itu seperti ‘Cekidot, Masya Allah, mengejutkan’ dan lain-lain,” sebutnya.

Ada banyak tools yang dapat dipergunakan untuk mencari jejak suatu informasi di dunia maya. Biasanya sering ditemukan berita hoax melalui foto yang disebarkan sengaja oleh seseorang, lalu menarasikan sesuatu yang negatif untuk melakukan propaganda sesuatu.

Bila menemukan hal seperti ini, google reverse image search dapat menemukan unggahan foto pertama kali pada website. Tools ii berguna untuk menelusuri foto=foto dari internet. Dapat juga menggunakan tools lain, seperti www.tineye.com. Melalui website itu dapat dicari sumber utama foto tersebut, sehingga dapat mengungkapkan fakta yang sebenarnya.

Kata Hotli, semua itu kembali pada diri sendiri. Harus selalu berpikir kritis dan skeptis, bahwa informasi yang diterima tersebut bila meragukan, berhenti dulu di kita sendiri, sebelum mendapatkan verifikasi kebenaran informasi tersebut.

Sementara kawalcovid-19.id juga membagikan cara melawan misinformasi selama pandemi corona. Pertimbangkan sumber. Jangan langsung menyebarkan informasi dari internet, kembangkan rasa skeptis yang sehat, berpikir motif atau framing dari pembuat artikel.

Selalu waspada terhadap temuan/laporan ilmiah. Wabah Covid-19 disebabkan oleh virus yang baru dan masih dipelajari secara ilmiah dari berbagai disiplin ilmu. Hasil riset yang berupa simulasi sangat tergantung asumsi dan informasi yang diketahui saat itu. Penemuan terkait Covid-19 bisa dikomunikasikan tanpa melewati proses tinjauan sejawat. Waspadai klaim yang terdengar berlebihan atau terdengar sangat mudah, seperti bawang putih dapat mencegah Covid-19. Cek juga latar belakang peneliti, keahlian, jurnal yang diterbitkan, dan berpikir terbuka untuk menerima perubahan seputar virus ini.

Terlebih di tengah pandemi covid-19 saat ini cukup banyak terdapat informasi hoax. Tentunya ini patut menjadi perhatian semua pihak, agar pandemi corona jangan sampai diperparah oleh infodemi yang membikin masyarakat semakin resah.

Penulis: A.Acal

Shares: