EkonomiNews

Harga Minyak Mentah Diramal Kinclong Tahun 2020

JAKARTA (popularitas.com) – Pasar minyak mentah diramal akan diwarnai dengan kenaikan harga di tahun 2020. Pemangkasan produksi minyak negara produsen minyak serta kian dekatnya Amerika Serikat (AS) dan China dengan kata damai ditengarai jadi pemicunya.

Sepanjang tahun 2019, rata-rata harga minyak mentah berjangka jenis Brent berada di US$ 64,5/barel. Harga minyak mentah berjangka acuan AS yaitu WTI berada di rata-rata US$ 57/barel. Jika dibandingkan dengan posisi awal tahun lalu (year on year/yoy), harga minyak Brent naik 23,2% dan minyak WTI naik lebih tinggi hingga 35,3%.

Pada awal tahun hingga Mei, harga minyak mentah bergerak naik dan menyentuh level tertingginya dalam setahun. Kenaikan ini dipicu oleh upaya pemangkasan produksi minyak oleh negara-negara pengekspor minyak dan koleganya (OPEC+).

Namun, eskalasi perang dagang yang terjadi membuat harga minyak anjlok pada Juni. Selanjutnya harga minyak bergerak fluktuatif. Pada Juni OPEC+ kembali bertemu dan memutuskan untuk memperpanjang waktu pemangkasan minyak sebanyak 1,2 juta barel per hari (bpd) hingga Maret 2020.

Pada periode Juni hingga tengah Oktober fluktuasi harga minyak tergolong tinggi. Pemicunya perang dagang dan ketegangan yang terjadi di Timur Tengah. Serangan drone pada fasilitas kilang minyak Arab di Abqaiq dan Khurais menyebabkan produksi minyak negara tersebut berkurang hingga lebih dari 5 juta bpd. Jumlah tersebut setara dengan lebih dari 5% kebutuhan minyak global. Akibatnya harga minyak meroket hingga 15%.

Lonjakan harga minyak tak terjadi dalam waktu lama, hanya satu hari saja. Setelah itu harga minyak anjlok. Harga minyak terus turun ketika pasokan minyak kembali pulih di akhir September, jauh lebih cepat dari janji Arab Saudi untuk menormalkan produksi minyaknya setelah serangan.

Tak berselang beberapa lama, giliran kapal tanker Iran yang mengangkut minyak di sekitar pelabuhan Arab mendapat serangan rudal yang menyebabkan kebocoran dan tumpahnya minyak. Peristiwa tersebut terjadi 11 Oktober 2019 yang menyebabkan harga minyak naik 2% lebih. Dampaknya memang tak sebesar ketika serangan dilancarkan ke fasilitas kilang minyak milik Saudi Aramco.

Sejak pertengahan Oktober, harga minyak mentah berjangka mencatatkan reli panjang hingga akhir tahun. Harga minyak berjangka Brent telah naik 14,8% (point to point), sementara harga minyak berjangka WTI naik lebih tinggi hingga 17,2% (point to point).

Reli harga minyak menjelang akhir tahun disokong oleh dua faktor utama. Pertama kabar AS dan China yang sepakati perjanjian dagang fase satu dan pemangkasan produksi minyak lebih dalam yang dilakukan oleh OPEC+.

Pertengahan Desember lalu secara tak terduga AS dan China yang terlibat dalam perseteruan perang dagang selama 18 bulan terakhir mengumumkan bahwa kedua belah pihak telah menyepakati perjanjian dagang fase pertama.

Kabar teranyar menyebutkan penandatanganan dan seremoni akan dilakukan pada 15 Januari 2020 di Gedung Putih yang akan dihadiri oleh kedua perwakilan dagang tertinggi antara kedua negara. Hal tersebut disampaikan langsung Presiden AS Donald Trump melalui cuitannya di twitter.

“Saya akan menandatangani perjanjian Fase I yang sangat besar dan komprehensif dengan China pada 15 Januari. Seremoni akan dilakukan di Gedung Putih. Delegasi tingkat tinggi dari China akan datang. Selepas itu, saya akan datang ke Beijing dan memulai pembicaraan Fase II,” cuit Trump di Twitter.

Menurut Peter Navarro selaku penasihat perdagangan Gedung Putih, kesepakatan perdagangan fase satu akan memuat dokumen setebal 86 halaman. Isinya antara lain membahas larangan pemaksaan transfer teknologi dan menyinggung soal manipulasi mata uang.

Perang dagang yang terjadi telah membuat ekonomi global mengalami turbulensi. Ekonomi AS dan China juga terkena dampaknya. Sektor manufaktur kedua negara dengan konsumsi minyak terbesar di dunia mengalami kontraksi. Hal tersebut tercermin dari angka indeks PMI manufaktur kedua negara yang berada di bawah angka 50.

Ketika kedua negara dengan perekonomian terbesar di dunia kembali rujuk, harapan ekonomi global akan kembali pulih. Perang dagang antara keduanya telah membuat volume perdagangan terkontraksi dan perekonomian global melambat.

Faktor kedua yang membuat harga emas naik jelang akhir tahun adalah keputusan OPEC untuk menambah volume pemangkasan produksi minyak pada pertemuan 5-6 Desember lalu di Vienna. OPEC memutuskan untuk menambah pemangkasan produksi minyak 500 ribu bpd. Artinya mulai 1 Januari 2020, produksi minyak OPEC harus terpangkas 1,7 juta bpd.

Tujuan utama pemangkasan produksi minyak adalah untuk menstabilkan pasar. Dua faktor di atas diperkirakan juga masih akan membuat harga minyak mentah bergerak ke utara pada 2020. Hal tersebut disampaikan oleh dua bank investasi global yaitu JP Morgan dan Goldman Sachs.

JP Morgan memperkirakan akan terjadi defisit minyak hingga 200 ribu bpd tahun 2020. Padahal di bulan September JP Morgan meramal tahun depan akan diwarnai oversuplly hingga 600 ribu bpd. JP Morgan meramal harga minyak mentah Brent berada di level US$ 64,5/barel sementara minyak WTI bertengger di US$ 59/barel.

Tak jauh berbeda dengan JP Morgan, Goldman Sachs juga meramalkan hal yang mirip. Akibat upaya OPEC untuk memangkas produksi minyak lebih dalam, Goldman Sachs memperkirakan harga minyak mentah Brent bisa mencapai US$ 63/barel dan minyak WTI mencapai US$ 58,5/barel.

Walaupun harga minyak diramal naik tahun depan, dua faktor tersebut harus tetap menjadi perhatian. Pertama, walau AS-China sepakati perjanjian dagang fase satu, poin detail kesepakatan yang tertuang dalam dokumen perjanjian masih belum diungkap lengkap isinya.

Dampak kesepakatan awal terhadap perekonomian global juga masih perlu dicermati. Apakah signifikan atau tidak. Tak sampai di situ saja, kesepakatan yang dibuat masih ‘awal’ masih ada kesepakatan-kesepakatan dan perundingan lanjutan, sebelum kata damai benar-benar terucap dari kedua belah pihak.

Walau pemangkasan produksi oleh OPEC capaian rata-ratanya dari Januari-November mencapai 109%. Namun, beberapa negara OPEC dan koleganya masih memiliki komitmen yang rendah terhadap kesepakatan yang dibuat tersebut. Buktinya Kongo, Ekuador, Gabon, Iraq, Nigeria, Malaysia, Oman, Rusia, Sudan Selatan dan Sudan memiliki capaian rata-rata bulanan di bawah 100%.

Hal tersebutlah yang sempat membuat Arab Saudi sempat geram karena harus mengompensasi tindakan melanggar kuota produksi minyak tersebut dengan pemangkasan minyak lebih dalam. Walau OPEC sepakat memangkas lebih dalam produksi minyak 1,7 juta bpd tahun depan, komitmen dari negara-negara yang terikat juga harus tetap jadi sorotan.*

Sumber: CNBC INDONESIA

Shares: