News

GeRAK: Tujuh perusahaan tambang di Aceh berada dalam kawasan hutan

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mencatat sebanyak tujuh izin usaha pertambangan (IUP) komoditi emas hingga biji besi di Aceh berada dalam kawasan hutan, baik di wilayah hutan lindung maupun konservasi.
Pj Gubernur Aceh diminta evaluasi Dinas ESDM dan DPMPTSP
Kordinator GeRAK Aceh, Askhalani. | Foto: AJNN

POPULARITAS.COM – Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mencatat sebanyak tujuh izin usaha pertambangan (IUP) komoditi emas hingga biji besi di Aceh berada dalam kawasan hutan, baik di wilayah hutan lindung maupun konservasi.

“Hasil catatan kita masih ada tujuh IUP perusahaan di Aceh dalam kawasan hutan lindung dan konservasi,” kata Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani didampingi Kepala Penerangan, Rahmat Fajri, Senin (14/3/2022).

Catatan itu disampaikan Askhalani pada reguler meeting pemantauan kolaboratif perizinan tambang dalam kawasan hutan Aceh bersama Balai Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Sumatera dan stakeholder lainnya, di Banda Aceh, Senin (14/3/2022).

Askhalani menyebutkan, adapun tujuh IUP yang berada dalam kawasan hutan di Aceh tersebut yakni PT Gayo Mineral Resource dengan luas 53.457 hektare berstatus IUP eksplorasi (emas). PT Tambang Indrapuri Jaya seluas 538 hektare dengan status operasi produksi (biji besi).

Selanjutnya, ada PT Estamo Mandiri dengan luas 600 hektare berstatus operasi produksi (biji besi), PT Tripa Semen Aceh seluas 707 hektare berstatus operasi produksi (batu gamping).

“Kemudian ada PT Linge Mineral Resource dengan status IUP eksplorasi (emas), PT Woyla Aceh Mineral status eksplorasi (emas) dan PT Organik Semesta Subur berstatus eksplorasi (biji besi),” ujarnya.

Dari beberapa perusahaan tersebut, kata Askhalani, terdapat salah satu IUP yang menjadi sorotan publik, seperti PT Linge mineral Resort di Aceh Tengah. Karenanya harus menjadi perhatian bersama.

“Kemudian, saat dilakukan uji akses juga tidak diperoleh data detailnya karena lebih banyak berurusan dengan nasional,” ucapnya.

Askhalani berharap semua pihak di Aceh terus memantau kondisi alam, sehingga bisa disampaikan rekomendasi kepada Pemerintah Aceh untuk dilakukan perbaikan tata kelola kedepannya.

Askhalani menyampaikan, pasca adanya UU Omnibus Law telah menimbulkan beberapa kebijakan turunan yang melonggarkan aturan yang sebelumnya sedikit ketat. Sehingga, sudah memunculkan perbedaan persepsi, karena itu perlu dikaji kembali oleh pemerintah dan publik Aceh.

“Ini yang perlu dikaji agar ada perbaikan kedepannya, apa yang harus dilakukan, khususnya terhadap izin yang masuk dalam kawasan hutan,” tutur Askhalani.

Shares: