NewsOpini

Fenomena swafoto dengan filter ancam percaya diri generasi muda

Dibandingkan pria, wanita memiliki kencenderungan lebih sering mengunggah foto selfie atau swafoto diri ke media sosial. Stefanone et al.,2011 mengatakan, perempuan lebih menghabiskan waktu untuk memperbaharui, mengelola, dan memelihara profil pribadi mereka.
Fenomena swafoto dengan filter ancam percaya diri generasi muda

Perkembangan teknologi digital dan tumbuhnya layanan media sosial berbasis multi-platform, telah menjadi interaksi sosial tersendiri bagi masyarakat saat ini, dan termasuk kalangan anak muda. Facebook, Instagram, tiktok, snapchat dan banyak ragam jenis media sosial lainnya, telah menjadi gaya hidup baru warga saat ini. Dan hal itu kemudian juga diikuti dengan maraknya teknologi filtering dan editing, yang memungkinkan seseorang melakukan perubahan wajah, ataupun tampilan diri pada aku media sosial yang dimiliki.

Perlof, 2014 menerangkan, dalam dekade terakhir, jejaring sosial telah membentuk komunikasi online yang sangat popular dikalangan anak muda. Dibandingkan dengan media massa konvensional, media sosial bersifat interaktif, memungkinkan individu membuat profil pribadi mereka sendiri dan berbagi informasi dan foto dengan pengguna di jejaring sosial mereka (Stefanone, Lackaff, & Rosen, 2011).

Dibandingkan pria, wanita memiliki kencenderungan lebih sering mengunggah foto selfie atau swafoto diri ke media sosial. Stefanone et al.,2011 mengatakan, perempuan lebih menghabiskan waktu untuk memperbaharui, mengelola, dan memelihara profil pribadi mereka.  Penggunaan media sosial dapat menyebabkan keasyikan dan fokus pada penampilan fisik, seperti keterlibatan dalam aktivitas photo terkait penampilan (Cohen, Newton-John, & Slater, 2017), yang dapat menyebabkan masalah penampilan dan menurunkan citra tubuh dan harga diri (de Vries, Peter, Nikken, & de Graaf, 2014). Karena pengguna sering dihadapkan pada berbagai profil lain, mereka dapat membandingkan penampilan mereka sendiri dengan teman, kerabat, dan orang asing (Haferkamp & Kramer, 2011).

Hancock dan Toma (2009) menemukan bahwa orang memilih photo profil kencan online mereka sendiri dalam upaya untuk terlihat semenarik mungkin tanpa dianggap menipu. Data cross-sectional telah mengungkapkan bahwa untuk wanita dan pria, penggunaan Facebook dikaitkan dengan perbandingan sosial dan objektivasi diri yang lebih besar (ke atas), yang keduanya terkait dengan harga diri yang lebih rendah, kesehatan mental yang lebih buruk, dan masalah citra tubuh (Hanna et. al., 2017).

Bahaya dari selfie dapat memperburuk rasa tidak aman, kecemasan dan depresi. Penyebabnya pertama,  karena terlalu sering melakukan banding- membandingkan photo orang lain dengan diri sendiri, yang tampaknya merupakan tujuan dari media sosial. Satu studi menemukan bahwa sering melihat selfie menyebabkan penurunan harga diri dan penurunan kepuasan hidup (Hanna et. al., 2017).

Studi lain melaporkan bahwa wanita lebih banyak menggunakan waktunya untuk gambar di Facebook mengalami rasa tidak puas terhadap berat badannya sendiri dan mengalami penuruanan objektifikasi diri yang tinggi (Stefanone et al., 2011). Meskipun gambar yang diposting seorang gadis di media sosial mendapatkan banyak suka, dia mungkin masih merasa tidak aman terutama jika dia adalah seorang remaja yang sudah merasa tidak aman dan berusaha membuat dirinya sendiri merasa lebih baik.

Kondisi rasa tidak aman itulah, kerap kali menimbulkan negative thinking atau perasaan negatif dalam kemampuan seseorang untuk melakukan penyesuaian diri, serta keinginan mendapatkan dukungan dan penerimaan dari teman-temannya dalam mewujudkan tujuannya.

Rasa cemas, khawatir dan ragu-ragu, merupakan bentuk dari insecure. Kecemasan juga memungkinkan seseorang dengan mudah merasa tidak berdaya untuk menghadapi tantangan kehidupan. Jadi, lebih mudah menolak menghadapi situasi yang membuat stres, merasa tidak cukup siap untuk menanganinya.

Insecure secara sederhana dapat dimaknai untuk menggambarkan kondisi perasaan seseorang tidak aman yang kerap membuat rasa gelisah, takut, malu dan kurang percaya diri. Dalam situasi tersebut, akan sulit bagi orang tersebut membentuk hubungan yang langgeng, atau fokus dalam mengerjakan tugas sehari-hari. Hal itu terjadi dikarenakan persepi diri memiliki ketidakberdayaan, dan ketidakmampuan.

Ada beberapa hal penyebab ketidakamanan, beberapa faktor dapat menyebabkan kondisi tersebut, seperti kejadian traumatis yang pernah dialami, peristiwa kebangkrutan, kerugian, dan atau perceraian. Namun begitu, perasaan harga diri yang rendah, dapat menimbulkan ketidakamanan pada seseorang. Nah ketika hal tersebut terjadi berulang kali, akan dapat merusak rasa percaya diri dan cela pada generasi muda, dan hal tersebut salah satunya dapat dipengaruhi fenomena swafoto dengan filter atau selfie with filter

Kekhawatiran besar dengan kecanduan filter dan pengeditan foto ini adalah efek negatifnya terhadap kesehatan mental, terutama bagi generasi muda. Filter Snapchat paling populer benar-benar mengubah wajah Anda. Mereka membuatnya lebih ramping, memberi Anda tulang pipi yang lebih tinggi, meratakan warna kulit Anda dan bahkan mengubah warna kulit Anda. Hasil yang tidak dapat dicapai dengan makan sehat atau berolahraga sebanyak apa pun.

Satu penelitian yang sedang dilakukan untuk menyaring depresi dan penyakit mental dengan menganalisis penggunaan filter Instagram, menunjukkan bahwa cara kita memanipulasi foto menunjukkan banyak hal tentang kondisi kesehatan mental kita. Sebab itu, swafoto atau selfie bisa menyebabkan addicted atau kecanduan, yakni kondisi seseorang yang terus mencoba mendapatkan foto sempurnah untuk akun sosial medianya. Dan hal tersebut dapat menjadi satu obsesi.

Kasus menarik adalah kisah Danny Bowman yang akhirnya mencoba bunuh diri. Alasan keputusasaannya karena tidak bisa mendapatkan selfie yang sempurna setelah mencoba selama 10 jam sehari. Rata-rata sekitar 200 selfie sehari. Ibunya menyelamatkan hidupnya dan dia sekarang melakukan rehabilitasi. Dia secara bertahap belajar untuk hidup tanpa iPhone-nya.

Untuk membangkitkan rasa percaya diri harus bisa mencintai diri sendiri. Orang yang mencintai diri sendiri cenderung tidak menderita kecemasan atau depresi; cinta diri juga membuka jalan menuju pola pikir positif yang merupakan unsur penting untuk sukses dalam hidup dan kesejahteraan mental. Belajar mencintai diri sendiri juga mengurangi stres, mengurangi penundaan, dan membuat lebih fokus pada pekerjaan. Mencintai dan mensyukuri diri sendiri apa adanya adalah sangat penting karena memanglah benar bahwa kita sendirilah dahulu yang menjaga diri kita sendiri, bukanlah orang lain. Ketika kita sepenuhnya mencintai dan mensyukuri apa adanya diri sendiri maka kita dapat bergerak dan bergaul dengan orang lain dengan rasa peduli dan kasih yang dalam terhadap orang lain.

Selain itu, ketahanan dan percaya diri yang lebih tinggi akan kita miliki sehingga tantangan kesulitan dalam kehidupan dapat kita hadapi dengan baik dan tegar. Depresi, obsesi untuk tampil sempurna, stress dan  kecemasan akan lenyap dengan sendirinya karena  rasa optimisme tampil apa adanya dan alami karena cinta dengan diri sendiri. Masing-masing harus berani menaklukkan ketakutan, dan menampilkan diri yang sebenarnya secara online. Ada begitu banyak cara untuk merasa nyaman dengan diri sendiri yang tidak menyertakan suka, komentar, dan berbagi secara online.

Misalnya, fokus pada kesehatan Anda, kesejahteraan dan menjaga detak jantung Anda. Ini bisa termasuk bermeditasi, melakukan kelas spin dengan teman-teman, atau berjalan-jalan di luar ruangan! Luangkan waktu sejenak dari ponsel Anda dan fokuslah untuk menjalin hubungan nyata dengan orang-orang dan melakukan aktivitas yang paling Anda sukai, baik itu memasak, melukis, atau bepergian. Merasa nyaman dengan diri sendiri dengan merangkul kekurangan dan kualitas yang ada.

Penulis: Nabila Ariiqah,

Mahasiswa Prodi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala

 

Shares: