News

Dua Pasal Kekerasan Seksual Anak dalam Qanun Jinayah Diminta Direvisi

Pria paruh baya di Aceh Tengah ditangkap polisi atas pelecehan seksual kepokanan
Ilustrasi

POPULARITAS.COM – Berbagai elemen organisasi masyarakat sipil di Aceh yang selama ini konsen terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak meminta dua pasal tentang kekerasan seksual terhadap anak di Aceh dalam Qanun Jinayah untuk dicabut.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, mengatakan dalam Qanun Jinayah tidak ada aspek yang mengupayakan hukuman yang jera untuk pelaku, tidak ada upaya pemulihan terhadap korban dan tidak melakukan pencegahan terhadap pelaku.

“Kita minta dicabut pasal 47 dan 50. Ini bukan untuk melemahkan Qanun tapi ini untuk memperkuat Qanun Jinayah, agar makin kuat, tidak dianggap sebagai kebijakan yang tidak memiliki perspektif anak,” kata Syahrul dalam keterangannya, Selasa (19/10/2021).

Syahrul mengungkapkan itu dalam Forum Group Discussion (FGD) multipihak yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Flower Aceh, KontraS Aceh, Solidaritas Perempuan Aceh dan Tim Revisi Qanun (Reqan), dengan tema “Urgensi Revisi Qanun Jinayah untuk Perlindungan Anak di Aceh” yang diadakan di Banda Aceh, Senin (18/10/2021).

Dalam forum itu, Syahrul menjelaskan di Aceh terdapat dua aturan hukum terkait dengan penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pertama diatur melalui pasal 47 dan 50 Qanun Jinayah. Kedua, melalui Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA).

“Di Aceh dominan menggunakan Qanun Jinayah. Ternyata berdasarkan pengalaman selama ini Qanun Jinayah lebih lemah ketimbang UUPA,” ungkap Syahrul.

Ia menyampaikan dalam Qanun Jinayah tidak ada aspek mengupayakan pemulihan terhadap korban dan melakukan pencegahan terhadap pelaku. Di qanun tidak ada ancaman pidana terhadap seseorang yang membujuk rayu anak untuk melakukan kekerasan seksual.

“Sedangkan UUPA, baru bujuk rayu saja sudah dianggap upaya melakukan kekerasan seksual terhadap anak dan bisa diancam pidana,” ujar Syahrul.

Syahrul menyebutkan ada tiga rujukan hukuman yang diajukan oleh Qanun Jinayah, hukum cambuk, hukum bayar denda dan kurungan. Ketiganya tidak bisa diakumulasi sehingga hakim wajib memilih salah satu diantara ketiga itu.

“Sedangkan di UUPA, hakim bisa menghukum pelaku, baik pidana kurungan, bayar denda dan restitusi terhadap korban,” tuturnya.

Masalahnya lagi, kata dia, adalah jika kemudian hakim memutuskan perkara itu dengan cara menghukum pelaku dengan hukuman cambuk. Kemudian setelah dicambuk, pelaku kembali ke lingkungan.

“Kalau korban berada di lingkungan yang sama, bagaiman nasib korban?yang tidak ada perintah pemulihan terhadap anak dalam Qanun. Artinya, ketika pelaku kembali ke lingkungan dan berhadapan lagi dengan korban dia beresiko menjadi korban ganda,” tambahnya.

Advokat LBH Banda Aceh, Arbiyani, mengatakan beberapa putusan hakim yang sangat tidak ada perspektif anak di Aceh diakibatkan hakim dan aparat penegak hukum tidak bersertifikasi anak. Dalam putusan disebutkan bahwa hakim tinggi tidak mungkin mempertimbangkan kesaksian anak yang usianya masih 5 tahun.

“Padahal secara konstitusi anak di mata hukum sama dengan orang yang lain. Anak ini diakui bahwa dia memang boleh menjadi saksi, mereka dilindungi UU, dilindungi oleh konstitusi tapi hakim tinggi memiliki perspektif sendiri,” ucapnya.

Editor: dani

Shares: