FeatureNews

Disperindag Aceh kembangkan kawasan terintegrasi komoditas unggulan

Badan Perencana dan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Kementerian Koperasi dan UKM, menetapkan Aceh sebagai daerah sentra utama pengembangan tanaman nilam untuk koperasi dan UKM di Indonesia. Hal ini menyusul dimasukkannya Aceh dalam daftar lima provinsi yang ditetapkan sebagai pelaksana Program Major Project Pengelolaan Terpadu UMKM di Indonesia.
Aceh mampu jadi rakasasa industri nilam di Indonesia
Kepada Bidang Pengembangan Industri Agro dan Manufacture Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh, Ridhwan

POPULARITAS.COM – Badan Perencana dan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Kementerian Koperasi dan UKM, menetapkan Aceh sebagai daerah sentra utama pengembangan tanaman nilam untuk koperasi dan UKM di Indonesia. Hal ini menyusul dimasukkannya Aceh dalam daftar lima provinsi yang ditetapkan sebagai pelaksana Program Major Project Pengelolaan Terpadu UMKM di Indonesia.

Kepada Bidang Pengembangan Industri Agro dan Manufacture Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh, Ridhwan, mengatakan, pihaknya telah membuat skema perencanaan penguatan pengembangan kawasan terintegrasi dalam pengembangan komoditas unggulan.

Pengembangan nilam merupakan langkah strategis dalam menumbuh kembangkan sektor agroindustri di Aceh. Diperkirakan 90 persen tanaman aromatik selama ini diusahakan oleh petani atau pengrajin di pedesaan dalam bentuk industri kecil..

“Nilam saat ini menjadi mayor project secara nasional. Tahun 2022 ini potensi nilam mulai dikembangkan dan memperkuat infratruktur, terutama dengan dikembangkan kembali Kawasan Industri Ladong,” kata Ridhwan, beberapa waktu lalu.

Kata Ridwan, sekarang 17 kabupaten di Aceh mulai menanam nilam. Saat ini sentra Industri Kecil dan Menengah (SIKM) produksi nilam berada di Aceh Selatan, Aceh Jaya, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Nagan Raya dan Aceh Utara. Pengelolaan Sentra IKM mulai dari penguatan akses bahan baku, penguatan kompetensi tenaga kerja, penguatan permodalan, penguatan teknologi, inovasi dan kreatifitas, serta penguatan jaringan.

“Prospek ekspor komoditi nilam pada masa yang akan datang masih cukup besar, mengingat tingginya permintaan dunia untuk minyak nilam,” katanya.

Menurut Ridwan, program bersama ini akan mendapat dukungan pengembangan lintas instansi pemerintah pusat dan daerah. Seperti dukungan ketersediaan bahan baku, sertifikasi, pangsa pasar, keterampilan SDM, akses permodalan, sarana produksi yang modern, serta sistem informasi dan tata kelola yang baik.

“Diharapkan kita dapat menyatukan langkah dan gerak dalam meningkatkan kesejahteraan petani bagi penanggulangan kemiskinan,” katanya.

Dalam rencana pembangunan berbasis kawasan, lanjut Ridwan, diperlukan kerjasama pentahelix (multipihak), antara pemerintah baik dengan perguruan tinggi, dunia usaha, masyarakat dan media massa. Masing-masing stakeholders ini menjalankan peran dan fungsinya secara mandiri namun harus saling berkoordinasi satu sama lain agar terjadi sinergi positif yang menguntungkan semua pihak.

Petani Nilam Aceh dan pendampingan ARC USK

Atsiri Research Center Universitas Syiah Kuala (ARC USK) sejak dua tahun lalu telah mengibahkan ketel penyulingan atau esktraktor nilam. Penerima manfaatnya kelompok petani nilam di Desa Geunteut Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar. 

Ketua Kelompok Geunteut Nilam Aceh Raya (Geunara), Subhan Muchtar, mengatakan, Geunteut juga disebut sebagai desa wisata inovasi Geunteut Nilam Aceh Raya (Geunara) yang dibina oleh ARC-USK sejak tahun 2020. 

ARC mendampingi petani agar kualitas tanam dan pengolahan industri ini bisa membaik. Ini merupakan jalan baru Nilam Aceh memberi nilai tambah bagi ekonomi lokal serta berkontribusi untuk pembentukan ekosistem bisnis baru (blue ocean) yang menguntungkan dan benar-benar menjadi semangat baru bagi masyarakat di sana, khususnya petani nilam.

Subhan menjelaskan, minyak nilam bisa dihasilkan dengan proses penyulingan. Suling ini dilakukan dengan proses penguapan daun nilam yang sudah dikeringkan. Daun nilam kering itu dimasukan dalam tungku. Bagian dalam ketel disekat dengan lempeng berlubang, seperti saringan pada alat kukus.

“Sehingga bagian ketel terbagi menjadi dua. Bagian bawah berisi air sedangkan bagian atas untuk bahan baku,” jelasnya.

Proses penyulingan minyak nilam dilakukan dengan memanfaatkan energi panas yang diperoleh dari hasil pembakaran kayu. Sementara itu bak pendingin digunakan sebagai tempat untuk mendinginkan uap air dan minyak yang dihasilkan.

Pada tahap pengembunan, pipa penyalur uap minyak akan didinginkan oleh air dalam bak pendingin. Dengan begitu, uap air maupun uap minyak hasil penyulingan akan diubah menjadi cair. Karena suhu air berperan penting dalam tahap pengembunan, maka air dingin harus selalu tersedia setiap saat. Proses penyulingan ini membutuhkan waktu sekitar lima jam menghasilkan minyak nilam yang dialirkan melalui pipa pendingin.

“Sekali kukus, muatannya 50 kg daun kering, dan rendemennya tiga persen dari bahan kering. Menghasilkan sekitar satu setengah kilogram minyak nilam,” jelasnya.

Riwayat Nilam Aceh

Aceh memiliki riwayat panjang sebagai salah satu sentra penghasil minyak nilam terbaik (pogostemon cablin benth) di tingkat internasional. Kata Nilam diambil dari akronim sebuah perusahaan Belanda bernama ‘Netherlands Indische Land Acheh Maatchappij” yang mengatur tata niaga dan pemasaran nilam untuk ekspor. Tanaman itu umum dimanfaatkan bagian daunnya untuk diekstraksi minyaknya, dan diolah menjadi parfum, cairan anti serangga, dan bahan untuk industri kosmetik.

Proses penyulingan nilam oleh petani

Nilam Aceh pernah jaya dan memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan di masa lalu. Namun kemudian akibat fluktuasi harga yang tidak stabil dan permintaan pasar naik turun, berpengaruh terhadap perkembangan produksi dan produktivitasnya. Akibatnya, potensi besar nilam Aceh belakangan ini belum mampu mendongkrak perekonomian para petani Aceh, khususnya bagi masyarakat di Desa Geunteut. Para petani terpukul, dan mulai meninggalkan nilam. Mereka kemudian beralih ke jenis tanaman lainnya, seperti menanam durian, bertani padi di sawah atau menangkap ikan di laut. Mayoritas warga di desa ini sekarang berprofesi sebagai petani dan nelayan.

Subhan menjelaskan, dalam 1 hektare tanaman nilam, diperkirakan bisa menghasilkan 2 ton sampai 3 ton daun nilam. Pemanenan nilam dilakukan setelah tanaman berumur 6 bulan, selanjutnya dapat dilakukan pemanenan setiap 2-3 bulan. Namun saat ini jadwal panen dari masing-masing lahan milik petani masih belum teratur.

“Sesudah dipanen, setelah dikeringkan dan dicincang tanamannya, maka kita bawa ketempat penyulingan. Petani akan mengeluarkan biaya Rp100.000 per sekali suling, ini untuk biaya karyawan, serta biaya perawatan alat,” sebutnya.

Petani Kembali Bangkit

Kini nilam kembali menjadi idola bagi masyarakat Aceh, dan termasuk sebagai salah satu dari sepuluh komoditi unggulan untuk investasi dan ekspor utama Aceh. Para petani pun ramai menanam nilam di lahan mereka. Di pasaran, harga minyak nilam ini bervariasi dan terus mengalami kenaikan,. Sedangkan harga minyak nilam saat ini mencapai Rp600.000 /kg.

Selain penyulingan minyak nilam, jenis produk turunannya juga dinilai memiliki prospek untuk masa depan. Ada beberapa produk turunan nilam yang diproduksi oleh kelompok tani dan IKM (industri kecil menengah) di desa tersebut berupa parfume, sabun dan aroma terapi dengan nama produk Geunara.

Subhan mengatakan di Desa Geunteut ada sekitar 30 hektare lahan nilam milik 40 petani nilam di desa tersebut. Namun dari 40 petani hanya 16 petani yang masih bertahan untuk mengelola kebun nilamnya. Sisanya memiliki kendala modal. Sebab dalam 1 hektare lahan membutuhkan modal sekitar Rp18 juta.

“Sebenarnya dari segi budidaya nilam, tidak ada kendala berarti. kalau bibit sudah banyak. Hanya saja kerap menjadi tantangan dalam perawatannya dan pemagaran dan proses pengolahan yang masih tradisional,” sebutnya.

Dia berharap pemerintah dapat membantu permodalan dan pengembangan terhadap petani yang ada di desa tersebut. Terutama dalam hal perawatan lahan, dan penyediaan teknologi yang lebih modern.

Inovasi dan Pengembangan produk nilam Aceh

Ketua ARC Muhammad Syaifullah menuturkan, proses pematangan kualitas sumberdaya manusia menjadi faktor penting dalam setiap tahapan kegiatan, mulai dari hulu sampai hilirisasi produk. Saat ini ARC bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Republik Indonesia, melaksanakan Program Implementasi Inovasi Nilam. Untuk itu pihaknya telah membuat Roadmap dan Masterplan Atsiri Aceh.

Kehadiran Atsiri Research Center Universitas Syiah Kuala (ARC-USK), sebutnya, sangat menguntungkan petani, sebab harga minyak nilam di tingkat petani menjadi lebih stabil dalam tiga tahun terakhir.

Pembelian minyak nilam dari petani dilakukan melalui Koperasi Produsen Inovasi Nilam Aceh (Koperasi Inovac). Harga terendah Rp500.000 per kg, sedangkan harga tertinggi mengikuti harga pasar. Kepastian harga membuat para petani lebih bersemangat. Produksi minyak nilam Aceh pada 2020 diperkirakan 380 ton, naik dari 150 ton pada lima tahun sebelumnya. Prospek nilam sangat menjanjikan. Jika dikalkulasikan, 1 hektare lahan dapat menghasilkan 10.000 batang tanaman nilam dengan jarak sekitar 90 cm.

“Kalau bagus pola tanamnya, 1 hektare bisa menghasilkan 10 ribu batang tanaman nilam. Berat satu batang bisa mencapai 2 kg. Sehingga dalam satu hektare bisa menghasilkan 9.000 kg nilam, kemudian setelah penyulingan akan menghasilkan sekitar 200 kg minyak atsiri,” tuturnya, beberapa waktu lalu.

Dalam 1 hektare, kata dia, petani nilam bisa menghasilkan Rp100 juta, sebelum dipotong dengan biaya operasional. Syaifullah juga mengatakan, upaya peningkatan produksi dan kualitas nilam Indonesia perlu dilakukan, mengingat masih kurangnya penerapan teknologi budidaya komoditas nilam oleh petani yang menyebabkan rendahnya produksi dan kualitas daun nilam. Selain itu juga perlu perbaikan cara penanganan bahan baku dan proses penyulingan hingga menjadi minyak nilam.

Dengan skala usaha tani yang kecil dan kemampuan teknologi yang terbatas sehingga kadang tidak memenuhi persyaratan teknis baik dari penggunaan bahan tanaman (varietas unggul), peralatan maupun cara pengolahan. Sering kali produksi dan mutu minyak atsiri yang dihasilkan sangat rendah dan beragam, sehingga penyediaan produk kurang mantap, demikian Syaifullah Muhammad. (**)

Shares: