EditorialHeadline

Catatan Pemred: Mengenang Prof Habibie

[Foto: Bisnis.com]

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah berpulang, bapak bangsa, mantan Presiden RI, Prof DR Ing BJ Habibie. Ahli pembuat pesawat ini, menghebuskan nafas terakhir, pada pukul 18:05 WIB, di Jakarta.

Jasa beliau terhadap bangsa ini sangat besar, penegak awal demokrasi, dan pembuka gerbang kebebasan pers. Dan ditangan Habibi lah, banyak kemajuan yang diperoleh bangsa ini, walau umur pemerintahannya tidak panjang.

Ingatan penulis, terbang ke 20 tahun silam, saat itu, Jumat, 26 Maret 1999, Prof Baharuddin Jusuf Habibie, hadir ke Banda Aceh, ibukota provinsi ujung pulau Sumatera ini. Ia beserta sejumlah Menteri dan para stafnya, melaksanakan sholat di Masjid Raya Banda Aceh. Rumah ibadah yang menjadi kebanggaran rakyat daerah ini.

Diluar Masjid, Ribuan TNI dan Polri berjaga, membentuk ring dan lapisan pengamanan. Sejumlah ruas jalan dan akses ke Masjid Raya ditutup.

Baca: BJ Habibie Meninggal Dunia

Disejumlah jalan protokol, terutama di Jembatan Pantee Pirak, ribuan mahasiswa dari dua Universitas, Syiah Kuala dan IAIN, dan dari perguruan tinggi di Banda Aceh menggelar aksi, dengan satu tuntutan, adili pelanggar HAM di Aceh.

Penulis, yang saat itu, merupakan mahasiswa FT Unsyiah, masih duduk semester 2, ikut terlibat aktif dalam gerbong para demonstran.

Dari depang gedung DPRD, saat ini DPR Aceh, ruas jalan protokol T Nyak Arief, penuh dengan ribuah mahasiswa. Sebagian diantaranya, terlibat aksi dorong-mendorong dengan TNI dan Polri yang menjaga diujung jembatan.

Saat ini, konsentrasi mahasiswa terpusat di Pantee Pirak, dan lahan kosong disebelah toko ritel tersebut. Dan kini lahan itu telah tumbuh puluhan jejeran toko.

Suara Habibi, yang menggunakan pengeras suara, terdengar jelas ditelinga. Namun, kehendak para demontran yang ingin bertemu langsung Presiden RI itu, terhalang dengan blokade aparat TNI dan Polri yang berjaga.

Kautsar, Arie Maulana, Tarmizi alias Wak Tar, adalah tokoh-tokoh mahasiswa kala itu, yang terus memompa semangat mahasiswa agar terus meringsek maju menembus blokade.

Dorong mendorong, saling lempar, saling pukul terus terjadi. Dan itu berlangsung sejak pukul 10.00-12.30 WIB. Dan dari atas jembatan, sayup-sayup masih terdengar pidato Habibi, yang secara lantang meminta semua pihak, terutama aparat keamanan, untuk menghentikan pertumpahan darah di Aceh. “Dan saya, selaku Presiden RI, meminta maaf kepada rakyat Aceh,” katanya kala itu.

Sekitar pukul 11.00 WIB, pecah bentrokan pertama, saat itu, akibat desakan mahasiswa, dan aksi saling lempar dan pukul, aparat Polri yang berada pada lapisan pertama mundur, banyak diantara mereka yang kena lempar, tidak sedikit pula mahasiswa yang berhasil merebut tameng fiber.

Macam-macam alat mahasiswa kala itu, batu, kayu, bom air, dan apa saja yang dapat digunakan untuk melempar dan memukul. Dan karena kewalahan, aparat lapisan ketiga melepaskan gas air mata, disusul TNI yang meringsek maju dan memukul balik gerakan mahasiswa.

Pada bentrok pertama ini, mahasiswa dipukul mundur, tembakan gas air mata, membuat ribuan mahasiswa kalang kabut, ada yang lari ke kolam renang, dan tidak sedikit yang memilih menceburkan diri ke Krueng.

Namun, usai bentrokan pertama, mahasiswa tidak surut, konsolidasi kembali dilakukan, disebabkan azan yang menandakan waktu sholat Jumat tiba, mahasiswa memilih sholat diatas jembatan. Dengan tetap dikawal aparat keamanan yang bersiaga penuh.

Selang beberapa menit usai sholat, kembali terjadi aksi saling dorong, dan pada aksi kedua, mahasiswa lebih beringas. Saling lempar, saling dorong, saling pukul, terus mewarnai aksi kedua tersebut.

Secara tiba-tiba, pasukan keamanan yang memblokade, bergerak maju, tembakan gas air mata, senapan menyalak, saat itu, demonstran kalang kabut, pada aksi kedua ini lebih heroik dan medan lapangan dikuasai oleh TNI dan Polri.

Gerak maju TNI dan Polri, membuat mahasiswa lari tunggang langgang, ada yang kena popor senapan, kena pukul kayu, dan sebagian kena peluru karet. Dan pada bentrokan ini, ratusan TNI tiba-tiba keluar dari markas Kodam, saat itu masih Korem Teuku Umar, yang ikut serta menghempang mundur mahasiswa.

Nasib naas dialami penulis, saat berusaha menyelamat diri, bukan lari ke arah tugu simpang lima, namun malah masuk kedalam markas Korem. Dan tentu saja, tubuh ini jadi bulan-bulanan TNI dan Polri yang telah menguasai lapangan.

Pukulan popor senapan, tendangan, dan pijakan sepatu lars, lebih dari ratusan aparat dialami oleh penulis. Dan baru sadar dua hari kemudian, telah berada di salah satu ranjang Rumah Sakit Umum Zainal Abidin. Saat siuman, sebagian kawan-kawan berkata, kami pikir dirimu telah mati.

Selamat jalan Pak Habibie, apa yang engkau wariskan kepada negeri ini, dan apa yang telah engkau perbuat untuk provinsi ini, akan menjadi catatan sejarah, yang akan terus dikenang oleh kami, generasi penerus bangsa ini. (RED/*)

Shares: