HeadlineNews

Bincang Firli Bahuri dan Ketua Umum JMSI di Harkodia 2021

SETIAP 9 Desember, dunia memperingati Hari Antikorupsi Sedunia atau dikenal dengan Harkodia. Peringatan Harkodia 2021, Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa, berkesempatan berbincang dengan Ketua KPK RI Firli Bahuri.
Bincang Firli Bahuri dan Ketua Umum JMSI di Harkodia 2021
Ketua KPK RI Firli Bahuri dan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMS) Teguh Santosa, saat bincang santai dalam rangka dikusi peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Harkodia) 2021, Kamis (9/12/2021).

POPULARITAS.COM – SETIAP 9 Desember, dunia memperingati Hari Antikorupsi Sedunia atau dikenal dengan Harkodia. Peringatan Harkodia 2021, Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa, berkesempatan berbincang dengan Ketua KPK RI Firli Bahuri.

Bertempat di rumah Ketua KPK RI di kawasan Galaxy Bekasi Barat, keduanya berbincang tentang masa depan Indonesia, soal demokrasi, tantangan pemberantasan korupsi dan rencana-rencana lembaga anti rasuah itu wujudkan negeri ini bebas dari korupsi.

Teguh yang dalam pertemuan itu mengenakan baju motif batik dipadu celana jins warna biru, duduk santai bersama Firli yang mengenakan kemeja motif batik warna krim muda dipadu coklat.

Latarbelakang diskusi keduanya terlihat pajangan foto keluarga Firli Bahuri dan seutas bendera bintang tiga yang dilambangkan pangkat Ketua KPK itu pada institusi kepolisian adalah Komisaris Jenderal Polisi (Komjenpol).

Diawal perbincangan, Firli menegaskan tentang prinsip keterbukaan, dan transparansi yang merupakan karakter sistem demokrasi. Menurutnya, dengan menganut konsep demokrasi seperti saat ini, semestinya Indonesia sudah tidak ada lagi korupsi.

Pada era tidak adanya demokrasi, pejabat tentu dapat menggunakan kekuasaannya tanpa batas, dan berbuat sesuka hati Tanpa kontrol publik, nah ketika saat ini demokrasi menjujung tinggi partisipasi publik, seharusnya bangsa ini sudah bebas dari praktek korup, tukas Firli.

Sebagai ilustrasi, Sambung Firli, pasca 98 pintu demokrasi telah terbuka lebar, hal tersebut ibarat cahaya matahari yang memasuki rumah pengap. Nah, ketika sinar surya telah menerangi, maka tikus dan kecoa otomatis keluar dari sarangnya sebab mereka tidak bisa hidup di lingkungan yang bersih.

“Gambaran inilah yang menjelaskan fenomena meningkatnya kasus korupsi di Indonesia. Sebab para tikus dan kecoa banyak yang ditangkap, dan telah keluar dari persembunyiannya,” tutur Firli.

Selama 23 tahun Indonesia menjalani era demokrasi terbuka, tidak ada tempat lagi bagi para pelaku korupsi untuk bisa nyaman dan tinggal, sebab semuanya telah transparan, dan partisipasi publik dalam pengawasan semakin tinggi.

Nah, jika hari ini kasus korupsi masih marak, lanjut Firli, penyebabnya ada tiga hal, yakni soal regulasi, pelembagaan demokrasi, dan juga budaya antikorupsi yang belum tumbuh ditengah masyarakat dan penyelenggara negara.

Demokrasi saat ini yang dirasakan bangsa Indonesia, semestinya melahirkan kualitas pejabat publik yang tangguh, namun pada kenyataannya, justru pemimpin yang lahir dari praktek perkawinan politik transaksional.

Semestinya, mendapatkan pemimpin yang berkualitas tidak perlu lagi ada Pilkada, Pileg atau Pilpres yang membutuhkan ongkos politik mahal, agar kepemimpinan tidak tersandera pada kepentingan pihak lainnya.

Selama ini, Sambung Firli, praktek yang ada dalam berdemokrasi, pejabat publik harus memiliki popularitas, elektabilitas, kapasitas dan isi tas. Namun hal tersebut telah berubah, saat ini isi tas yang jadi faktor utama, baru syarat lain jadi pendukung saja.

“Kita ingin pilkada, pileg, pilpres, nol threshold-nya. Tidak boleh ada. Bukan hanya threshold yang nol persen, biaya politik juga harus nol rupiah,” kata dia lagi.

Pada bagian lain, Firli Bahuri kembali mengingatkan, upaya memberantas korupsi di tanah air bagai orkestrasi yang melibatkan semua sistem. 

Itulah sebabnya, laporan Firli Bahuri kepada Presiden Joko Widodo dalam rangka peringatan Hakordis 2021 di Gedung KPK yang diselenggarakan Kamis pagi (9/12) diberi judul “Satu Padu Bangun Budaya Anti Korupsi.” 

“Kita bisa melepas jerat korupsi yang melilit negara dan bangsa ini dengan orkestra sistem integritas nasional. Kita bersatu padu membangun budaya anti korupsi,” ujarnya sambil menambahkan bahwa okestrasi itu dipimpin oleh Presiden RI.

Dengan orkestrasi tersebut, sejatinya KPK tidak harus menjadi tukang cuci piring dari residu sistem. Atau, KPK tidak harus menjadi tukang tangkap yang seakan merampas kebebasan manusia. Juga tidak menjadi objek kemarahan keluarga tersangka korupsi yang menuduh KPK berbuat zalim.

Salah satu substansi revisi UU 30/ 2002 menjadi UU 19/2019 tentang KPK adalah penjelasan bahwa KPK bukan entitas di luar sistem. KPK akan bekerja sebagai bagian sistem dan di dalam sistem tata negara secara independen dan tanpa intervensi dari cabang kekuasaan apapun.

Lantas, Presiden memegang peranan penting dalam pemberantasan korupsi karena alokasi wewenang dan anggaran terbesar republik ini menumpuk di tubuh eksekutif. 

Dia mengingatkan adagium Lord Acton tentang hukum besi korupsi, di mana ada kewenangan dan uang di situlah ada potensi terjadinya korupsi. Adagium itu berbunyi, “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.”

Untuk itu, sambungnya, KPK tidak mungkin bisa jauh dari Presiden dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang dimandatkan oleh UU. KPK dan kabinet yang dipimpin Presiden harus berjalan seirama, senafas, satu tindakan, dan satu padu dalam membangun strategi pemberantasan korupsi. 

Tugas KPK adalah memastikan anggaran yang dialokasikan Presiden ke tiap institusi negara berdaya guna dan berhasil guna dalam mendorong perekonomian nasional dengan tidak ada satu rupiah pun yang dikorupsi oleh penyelenggara negara. Untuk itu koordinasi dan kerjasama antara KPK dan Presiden dan dengan visi yang sama sangatlah penting untuk memimpin orkestra pemberantasan korupsi.

Trisula Pemberantasan Korupsi 

Dalam peringatan Hakordia 2021, Firli Bahuri juga memperkenalkan apa yang disebutnya sebagai “Trisula Pemberantasan Korupsi” yang menjadi pemandu kerja KPK dalam pemberantasan korupsi.

Trisula pertama adalah pendidikan dan peran serta masyarakat dalam membangun dan menanamkan nilai, karakter, budaya dan peradaban manusia Indonesia yang anti perilaku korup. Sasarannya adalah peningkatan integritas penyelenggara negara dan terwujudnya budaya antikorupsi.

Trisula kedua adalah pencegahan dan monitoring dengan fokus di hulu. Peran koordinasi dan supervisi sebagai amanat UU KPK akan digunakan sepenuhnya untuk masuk ke seluruh institusi negara yang memproduksi regulasi untuk menjamin tidak ada celah bagi perilaku korup dalam regulasi.

Editor : Hendro Saky

Shares: