FeatureNews

Bili Droe IKM binaan Disperindag Aceh ingin promosi ke luar negeri

Industri Kecil dan Menengah (IKM) Bili Droe, merupakan satu dari puluhan ribu pengusaha yang menjadi binaan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh. Produksi yang dihasilkan, seperti tampi, tas, tempat tisu, dan hampir seluruh peralatan rumah tangga. Untuk bahan baku, mereka menggunakan bemban.
Anyaman Bili Droe bakal tampil di Inacraf Jakarta
Sri Wahyuni sedang mengayam beraneka ragam produk Bilidroe di Desa Lampanah Tunong, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar. Rabu (29/6/2022). FOTO : popularitas.com/Riska Zulfira

POPULARITAS.COM – Industri Kecil dan Menengah (IKM) Bili Droe, merupakan satu dari puluhan ribu pengusaha yang menjadi binaan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh. Produksi yang dihasilkan, seperti tampi, tas, tempat tisu, dan hampir seluruh peralatan rumah tangga. Untuk bahan baku, mereka menggunakan bemban.

Bemban adalah sejenis tanaman terna, yang menghasilkan serat yang biasanya digunakan untuk bahan anyaman. Dalam bahasa latin dikenal dengan Donax canniformis. Disejumlah daerah, penyebutannya berbeda, seperti, Jawa dikenal dengan nama wuwu, Sulawesi Selatan disebut Borong, dan dibali dinamakan Kelangisan. 

Nah, di Aceh sendiri, tanaman itu disebut Bili. Jenis tumbuhan itu banyak terdapat di Aceh, dan telah lama dikenal oleh para perajin, untuk digunakan sebanyak anyaman, dan dibuat berbagai alat kebutuhan perlatan dapur, dan juga lainnya.

Salah satu kelompok IKM di Aceh yang menggunakan bemban sebagai bahan adalah Bili Droe. Usaha yang terletak di Gampong Lampanah Tunong, Indrapuri Aceh Besar itu, telah terbentuk puluhan tahun silam, dan telah dikenal masyarakat luas. Jenis tanaman ini, biasanya tumbuh liar di dalam hutan di daerah ini. Namun, kian hari tumbuhan itu mulai jarang ditemui.

Rabu, 29 Juni 2022, popularitas.com mendatangi tempat usaha Bili Droe. Seorang perempuan yang kemudian memperkenalkan diri Sri Mawarni menyambut kehadiran media ini. Ia terlihat sibuk menganyam beban di bawah rumah miliknya.

Rumah Aceh yang ditempati Sri Mawarni memang memiliki struktur bertingkat, sehingga banyak aktivitas yang Apat dilakkukan pada bagian bawah lantai rumah tersebut.

Sri Mawarni tidak sendiri, beberapa perempuan lainnya juga ikut bersamanya, mengenyam bemban dengan cekatan, dan membentuk pola tertentu yang kemudian menghasilkan alat yang biasa digunakan oleh warga, seperti tampi, tas dan lain sebagainya.

Sambil berbica dengan popularitas.com, sesekali Sri Mawarni terlihat membasahi kulit bemban dengan air yang disediakan di dalam ember yang diletakannya di depannya.

Gampong Lampanah Tunong merupakan satu dari dua desa yang dikenal sebagai penghasil kerajinan tangan berbahan bili di Aceh Besar. Selain di Lampanah Tunong, kerajinan yang sama dari bahan serupa juga dapat ditemui di Gampong Lam Giriek, Kecamatan Lhoknga.

Meskipun demikian, tidak semua warga di dua gampong itu yang menjadi pengrajin anyaman berbahan bemban. Seperti yang terlihat di Lampanah Tunong, hanya sekitar 20 orang saja yang terlibat dalam kerajinan tangan tersebut. Mereka umumnya berusia lanjut.

Saban harinya para perempuan itu berkumpul di rumah Sri Mawarni untuk menganyam bemban. Aktivitas tersebut bahkan telah dilakoni sejak turun temurun untuk membantu perekonomian keluarga.

Ulfa Fitri selaku owner kerajinan Bili Droe yang juga anak Sri Mawarni mengatakan, kerajinan anyaman bili sudah ada sejak lama. Namun baru mendapat binaan dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) pada tahun 1983.

Kelompok Bili Droe kemudian memasarkan kerajinan tangan tersebut secara offline maupun online. Pemasaran offline biasanya dilakukan dengan mengikuti pameran hingga bazar-bazar yang ada, sedangkan secara online, Ulfa mengaku mempromosikan barangnya melalui WhatsApp dan Instagram. “

Kalau melalui offline, ya kami mengikuti festival bazar, pameran gitu, jika secara online selain mempromosikan melalui media sosial, sekarang kami juga sudah mempunyai website resmi yakni Bilidroe.com,” ujar Ulfa.

Aneka produk kebutuhan masyarakat produk IKM Bil Droe. FOTO : popularitas.com/ Riska Zulfira

Selain itu produksi Bili Droe juga kerap dipasok untuk Dekranasda Aceh Besar untuk kemudian diolah lagi dan dipasarkan ke luar Aceh. “Pihak Dekranasda melakukan pengemasan beserta logo untuk dipasarkan,” katanya.

Ulfa mengatakan penjualan secara daring bahkan meningkat selama pandemi. Ulfa menyebutkan kerajinan dari bahan bemban ini menjadi daya tarik bagi mereka yang menghindari pemakaian sampah plastik dalam kehidupan sehari-hari. Selain bernilai seni, kerajinan bemban juga disebut tahan lama. Ulfa bahkan mengaku hasil kerajinan Bili Droe akan bertahan hingga dua tahun.

Sementara harga yang dibanderol beragam mulai dari 30 ribu rupiah hingga 700 ribu rupiah. “Harga berdasarkan kerumitan dari produk itu sendiri, kalau yang kecil dan pembuatannya mudah, itu kami jual seharga 30 ribuan,” ujar Ulfa.

Produk ini, lanjut Ulfa, juga sudah mendapat pembinaan dari pemerintah dalam meningkatkan kualitas, maupun produktivitasnya. Pembinaan oleh Pemerintah Aceh melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag)  Aceh, Dekranasda Aceh Besar hingga Dekranas Aceh.

“Produk dipasok untuk Dekranasda Aceh Besar dan kemudian diolah lagi untuk dipromosikan hingga ke luar negeri,” kata Ulfa.

Ulfa berharap produk yang dihasilkan Bilidro ini bisa terus dipromosikan hingga seluruh mancanegara. “Harapannya semoga produk bisa terus berkembang, dan penjualannya juga semakin meningkat,” imbuhnya.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Aceh terus menyokong agar para pelaku IKM di provinsi paling barat Indonesia itu terus eksis, salah satunya dengan meningkatkan kompetensi melalui pelatihan-pelatihan.

Disperindag Aceh dorong kompetensi pelaku IKM

Kepala Disperindag Aceh, Mohd Tanwier mengatakan, selain meningkatkan kompetensi, para pelaku IKM juga harus menyadari bertapa pentingnya manajemen produksi.

Menurut pria akrab disapa Baong ini, manajemen produksi yang bagus akan menjadi kunci berkembangnya sebuah IKM. Oleh karena itu, Dia mengajak para pelaku IKM untuk membenahi manajemen produksi, mulai dari keuangan, kualitas, hingga kontinuitas barang yang dihasilkan.

“Manajemen produksinya seperti apa, tentu yang diperlukan pertama adalah kualitas dari barang tersebut, karena persaingan sudah ketat,” kata Baong.

Selain itu, kata Baong, para pelaku IKM juga perlu menjamin kuantitas barang yang diproduksi, sehingga stok di pasaran tidak sampai habis atau putus. Baong menginginkan produksi yang dihasilkan para pelaku IKM terus berkesinambungan, tanpa menghilangkan kualitas barang.

“Karena kalau kita sudah berinteraksi dengan orang, tentu sistem ini pasti diperlukan, karena orang kalau sudah meminati punya kita, mereka akan konsisten apabila kita konsisten,” ucapnya.

Di era teknologi yang serba canggih, Baong juga meminta para pelaku IKM harus menyesuaikan diri dengan terjun ke dunia digital. Suka tidak suka, terang Tanwier, dunia digital menjadi segmen penting di dunia pada masa ini.

Disperindag Aceh di beberapa kesempatan selalu mengimbau dan menyerukan kepada pelaku IKM untuk terus memanfaatkan dunia digital dalam mempromosikan produknya. Karena, dunia digital bisa dijangkau ke berbagai belahan dunia.

“Hari ini peluang terbesar untuk pasar adalah pasar digital, suka tidak suka, ya kita harus masuk ke segmen itu. Intinya diperlukan adanya pembelajaran kepada teman-teman IKM ini untuk bisa menjual prodaknya secara online,” tutur Baong mengakhiri pendapatnya. (**)

Shares: