FeatureHeadline

Berburu Rezeki dari Leumang Gurih Selama Ramadan

Berburu Rezeki dari Leumang Gurih Selama Ramadan
Muhammad Yakob meratakan bara api saat memasak leumang di kawasan Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, Selasa, 12 Mei 2020. (Fadhil/popularitas.com)

BANDA ACEH (popularitas.com) – Dengan memakai sarung tangan dan tongkat sepanjang 2 meter, Muhammad Yakob tampak sibuk meratakan bara api yang berasal dari kayu-kayu bekas. Dalam sekejap, api merata dan hawa panas membumbung hingga radius 3 meter.

Di sekeliling bara api, puluhan buluh bambu tampak diatur berderetan berbentuk persegi panjang. Ukurannya kira-kira 2 x 5 meter. Ukuran buluh bambu pun beragam, dari yang kecil hingga yang besar.

Satu jam kemudian, buih-buih mulai keluar dari ujung buluh bambu tersebut, warnanya putih kepekatan dan coklat. Meski sudah satu jam dipanggang, warna buluh bambu belum berubah dari hijau menjadi coklat atau hitam.

Berburu Rezeki dari Leumang Gurih Selama Ramadan
Proses memasak leumang di kawasan Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, Selasa, 12 Mei 2020. (Fadhil/popularitas.com)

Itulah sekilas gambaran suasana proses memanggang leumang yang dilakukan Muhammad Yakob bersama keluarga pada Selasa, 12 Mei 2020. Leumang adalah kuliner khas Aceh, terutama saat bulan Ramadan dan hari raya.

Saban hari, Muhammad Yakob bersama keluarga memanggang leumang di Jalan Syiah Kuala, Gampong Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Lokasinya berada persis sebelah kiri dari arah Simpang Jambo Tape.

Setiap hari, mulai pukul 07.00 WIB, Muhammad Yakob bersama keluarga mulai meracik sejumlah bahan untuk pembuatan leumang. Sedangkan proses memanggang dilakukan pada pukul 10.00 WIB.

Untuk menghasilkan leumang siap saji, Muhammad Yakob harus bergelut di tengah-tengah hawa panas 4 hingga 5 jam setiap hari. Baginya, ini bukanlah hal yang susah. Pekerjaan ini sudah dilakoninya belasan tahun lalu.

“Sudah 23 tahun kurang lebih kami memasak leumang ini, dahulu yang memasaknya ibu saya, sekarang karena dia sudah tua makanya dialihkan ke saya,” kata Yakob saat ditemui, Selasa, 12 Mei 2020.

Berburu Rezeki dari Leumang Gurih Selama Ramadan
Proses memasak leumang di kawasan Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, Selasa, 12 Mei 2020. (Fadhil/popularitas.com)

Ibu Yakob bernama Hafsah, ia telah menggeluti pekerjaan memasak leumang sejak tahun 1994. Karena usianya sudah tua, pekerjaan ini diteruskan oleh anaknya bersama keluarga.

Meski sudah dialihkan kepada Yakob, bukan berarti Hafsah tak lagi terlibat dalam memasak leumang. Menurut Yakob, setiap hari ibunya aktif meracik sejumlah bahan yang digunakan untuk pembuatan leumang.

“Setelah semua selesai, saat memanggang itu tugas saya, walaupun panas tetapi sudah terbiasa,” jelas Yakob.

Ia menuturkan, memasak leumang saat bulan Ramadan sudah bagaikan tradisi. Hal ini memang dilakukan rutin saat bulan puasa tiba. Apalagi, pada bulan penuh berkah ini, permintaan leumang cukup tinggi.

Pada hari-hari biasanya, ia bersama keluarga menghabiskan sekitar 5 bambu beras ketan untuk memasak leumang. Sedangkan saat Ramadan tiba, ia menghabiskan 40 hingga 60 bambu beras.

“Kalau jumlah buluh setiap hari itu tidak pasti, karena buluhnya ada yang besar dan kecil,” ujarnya.

Kata Yakop, dengan 40 hingga 60 bambu beras ketan, ia biasanya dapat menghasilkan 100 hingga 150 batang bambu yang berisi leumang. Kuliner ini saat masak langsung dijual di tempat, mulai pukul 15.30 WIB hingga jelang berbuka puasa.

Ia mengatakan, leumang dibuat dari beras ketan atau ubi. Kedua bahan ini awalnya direndam, lalu dimasukkan ke dalam buluh bambu yang sudah dilapisi daun pisang. Ini dilakukan agar saat bambu dibelah, tak merusak isi leumang.

Sebelum dipanggang, leumang itu terlebih dahulu diguyur santan. Kemudian, baru diatur secara bederetan dan dibakar menggunakan bara api. Proses ini harus selalu diawasi supaya tidak hangus.

“Setelah masak, leumang langsung dijual di sini dengan harga bervariasi, ada yang Rp 30 ribu, Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu,” kata Yakob.

Berburu Rezeki dari Leumang Gurih Selama Ramadan
Warga membeli leumang di kawasan Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh pada Rabu, 6 Mei 2020. (Fadhil/popularitas.com)

Saat musim hujan, usaha leumang Muhammad Yakob dan keluarga sedikit terganggu. Saat hujan mengguyur Kota Banda Aceh pada Jumat, 8 Mei 2020 lalu misalnya, lokasi pembakaran leumang dipenuhi genangan air.

“Saat hujan deras lokasi pembakaran ini dipenuhi genangan, karena lokasinya agak rendah, sehingga dua hari saat itu kami tidak jualan,” kata Yakob.

Dipadati Pembeli

Leumang milik Muhammad Yakob dan keluarga memang sangat diminati pembeli. Amatan popularitas.com, saban hari lokasi penjualan leumang ini selalu diserbu pembeli. Mereka bahkan rela berdesak-desakan untuk memperoleh kuliner tersebut.

Hal ini diakui Hafsah, orang tua Muhammad Yakob. Setiap hari, usaha leumang keluarganya sangat diburu oleh pembeli dari berbagai kalangan. Karena itu pula, ia sering mendapat teguran dari petugas karena dinilai mengabaikan physical distancing.

“Dua hari lalu ada ditegur jangan berdesak-desakan, pembeli sudah kita ingatkan, tetapi tetap saja rapat-rapat,” kata Hafsah.

Meski demikian, Hafsah tetap terus mencoba menyerukan kepada setiap pembeli untuk tetap menjaga jarak sesuai protokol kesehatan, termasuk memakai masker. Demikian juga kepada karyawan.

“Karena kondisi seperti ini, saat penjualan urusan yang pegang uang dikhususkan pada satu orang, agar tidak bercampur-campur dengan leumang,” pungkas Hafsah.

Berburu Rezeki dari Leumang Gurih Selama Ramadan
Warga membeli leumang di kawasan Lamdingin, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh pada Rabu, 6 Mei 2020. (Fadhil/popularitas.com)

Asal Muasal Leumang

Pemerhati Sejarah dan Budaya Aceh, Tarmizi A Hamid atau lebih dikenal Cek Midi menuturkan, leumang sudah ada di Tanah Rencong sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam. Kuliner ini dibawa oleh bangsa Melayu yang datang ke Aceh.

“Apakah orang Melayu datang ke Aceh untuk mengikuti pengajian? bisa saja terjadi seperti itu, mereka suka makanan-makanan yang mengandung santan. Jadi dia kembangkan, saat tradisi ini berlanjut, disambut oleh tradisi-tradisi generasi sekarang,” kata Cek Midi saat ditemui di kawasan Lampineung, Rabu, 13 Mei 2020 dini hari.

Cek Midi menjelaskan, Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki peradaban besar di Asia. Pada masa kerajaan, daerah ini menjadi sentral perdagangan dunia terutama soal rempah-rempah.

“Aceh daerah makmur, jadi berdagangan orang ke Aceh Darussalam ini, masing-masing mereka ada yang membawa tradisi makanannya tersendiri. Karena dia lama tinggal di Aceh, kawin dengan orang Aceh, jadi makanan itu menjadi milik orang Aceh,” ujar dia.

Selain leumang, kata Cek Midi, kuliner-kuliner lain yang kini menjadi makanan khas di Aceh juga berasal dari luar negeri, seperti sie reuboh berasal dari Arab, kuah beulangong dari India, martabak dan kebab dari Turki serta masih banyak lainnya.

Saat masuk ke Aceh, kuliner tersebut diterima dengan baik oleh orang Aceh. Pada pertemuan-pertemuan di istana kerajaan, kuliner itu selalu disediakan untuk tamu-tamu yang datang.

“Saat Sultan Aceh menerima tamu dari Turki, maka akan dihidangkan makanan khas Turki. Demikian juga untuk tamu dari India, Arab dan negara-negara lainnya. Jadi Aceh tidak terlepas dari semua kombinasi bangsa-bangsa lain,” pungkasnya. [acl]

Reporter: Muhammad Fadhil

Shares: