News

API : Kadistanbun Aceh Lecehkan Visi Nawacita Presiden Joko Widodo

Aliansi Petani Indonesia (API), menilai langkah Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh, adalah bagian dari pelecehan program nawacita, yakni membangun 1.000 desa mandiri benih, yang digagas Presiden RI Joko Widodo.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, A Hanan. |FOTO: Al Asmunda

BANDA ACEH (popularitas.com) : Aliansi Petani Indonesia (API), menilai langkah Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh, adalah bagian dari pelecehan program nawacita, yakni membangun 1.000 desa mandiri benih, yang digagas Presiden RI Joko Widodo.

Pandangan ini disampaikan oleh organisasi tersebut, dalam siaran persnya yang dikirimkan kepada media ini, Jumat, 26 Juli 2019.

Dalam siaran persnya, yang disampaikan oleh Muhammad Rifai, selaku Ketua Departemen Penataan Produksi, Koperasi, dan Pemasaran, Aliansi Petani Indonesia (API), organisasi ini menilai bahwa, tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh Kadistanbun Aceh, A Hanan, adalah sesuatu yang sangat ironi, dan sungguh bertentangan dengan konsep nawacita Presiden RI.

Ia menceritakan, sangkaan pasal yang dikenakan pada Munirwan, selaku Keuchik Meunasah Rayuk, Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara, yang diduga melanggar ketentuan UU nomor 12 tahun 1992, adalah tidak tepat, sebab, pihaknya adalah salah satu organisasi yang telah melakukan gugatan terhadap keberadaan UU tersebut, yang kemudian dikabulkan oleh MK, melalui amar putusan nomor 99/PUU-X/2012.

Namun sungguh disayangkan, putusan MK tersebut, diabaikan oleh pihak terkait, terutama oleh Kadistanbun Aceh, sehingga melalui kekuasannya melakukan kriminalisasi terhadap petani kecil, yang disebutkan dalam amar putusan MK.

Muhammad Rifai menerangkan, status tersangka yang dikenakan pada Munirwan, selaku pemulia benih, melalui ketetapan Polda Aceh No. S.Tap/16/VII/Res. 2.1/2019, atas tuduhan memproduksi dan mengedarkan secara komersil benih padi IF8 yang belum dilepas.

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Aceh mendakwa Pak Munirwan telah melanggar Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman No. 12 tahun 1992 pasal 12 ayat (2) jo pasal 60 ayat (1). Bunyi ayat (1) Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu harus dilepas oleh pemerintah yang; ayat (2). Varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri yang belum dilepas sebagaimana ayat (1) dilarang diedarkan.

Dari dakwaan tersebut, kata Muhammad Rifai, pihaknya telah berkodinasi dengan Bapak Muhammad Nur, dan Nurohman Joko Wiryanu, selaku tenaga ahli utama Kemendes PDTT, dan selanjutnya melakukan pertemuan dengan Erizal Jamal, selaku Kepala Pusat Perlindungan Varietas, Kementrian Pertanian.

Nah, pendapat Bapak Erizal Jamal, UU Nomor 12 tahun 1992, tidak dapat dijadikan dasar hukum penetapan Munirwan sebagai tersangka, sebab, sudah sangat jelas ditetapkan dalam amar putusan MK. “Dari keterangan beliau, Munirwan dikategorikan petani kecil, sebagaimana disebutkan dalam putusan MK,” katanya.

Sebenarnya, kata Rifai, jika Kepala Distabun Aceh mampu berpikir objektif, Ia dapat melihat Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) RI nomor 40/PERMENTAN/TP.010/11/2017, tentang pelepasan varietas tanaman. “Permentan inikan lahir dikarenakan adanya amar putusan MK RI terkait gugatan atas UU nomor 12 tahun 1992 tersebut,” terangnya.

Jadi, jika pihak Distanbun Aceh, menggunakan Permentan tersebut, semestinya tidak perlu ada pelaporan terhadap upaya Munirwan dalam pengembangan benih IF8. Dan seharusnya Polda Aceh juga tidak dapat menerapkan pasal-pasal dalam UU 12 tahun 1992, sebagai dasar hukum penetapan Munirwan sebagai tersangka.

Karena itu, API menilai, Kadistanbun Aceh, lalai dalam menjalankan kewajibannya untuk mendaftar benih-benih yang dihasilkan dari pemulian petani kecil yang diminati oleh masyarakat, yang dikembangkan oleh Munirwan.
“Sikap arogansi dan kelalain dari Kadistanbun Aceh inilah yang sangat kita sesalkan,” tukasnya. (SKY)

Shares: