Headline

Alasan Repsol Gunakan Batam Untuk Pabrikasi Pipa Pengeboran Migas Offshore di Aceh

Perihal adanya tudingan dari berbagai pihak, terkait Respol yang tidak memanfaatkan pelabuhan di Aceh, seperti Lhokseumawe sebagai base mobilisasi alat pengeboran, namun memilih pelabuhan di Kota Batam, dijawab secara teknis oleh Plt Kepala Badan Pengelola Migas Aeh (BPMA), Azhari Idris.
Azhari Idris, Plt Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). FOTO : kompas.com)

BANDA ACEH (popularitas.com) : Hasil studi seismic 3 dimensi, yang dilakukan oleh Talisman Andaman BV (Repsol), telah memperlihatkan adanya potensi hidro karbon berupa gas dan minyak bumi di lepas laut pantai di Aceh, yang meliputi Pidie Jaya, Pidie dan Bireuen.

Dari hasil studi tersebut, tahapan selanjutnya Repsol akan melakukan proses eksplorasi pada kedalaman laut 1,500 meter.

Perihal adanya tudingan dari berbagai pihak, terkait Respol yang tidak memanfaatkan pelabuhan di Aceh, seperti Lhokseumawe sebagai base mobilisasi alat pengeboran, namun memilih pelabuhan di Kota Batam, dijawab secara teknis oleh Plt Kepala Badan Pengelola Migas Aeh (BPMA), Azhari Idris.

Ia menjelaskan, secara teknis, proses pengeboran sumur gas dengan kedalaman seperti dilepas laut pantai Aceh ini, membutuhkan penanganan khusus, dan saat ini, belum ada perusahaan di Aceh yang memiliki keahlian khusus dalam penanganan pipa pengeboran migas.

Nah, diseluruh eksplorasi migas yang berada dikawasan Indonesia, satu-satunya tempat yang terdapat pabrik yang memiliki keahlian khusus dalam customize pipa bor migas hanya ada di Batam. “Kita di Aceh belum ada tekonologi untuk perlakuan pipa bor seperti di Batam,” jelasnya.

Jadi, kata Azhari, pipa bor migas yang didatangkan dari luar negeri tersebut, masuk ke Indonesia, dan selanjutnya pipa itu masuk pabrik di Batam, untuk dibuat kepala pipa, dibuat ulir antar pipa untuk proses penyambungan, dan lainnya.

Ia menerangkan, proses eksplorasi migas ini hanya membutuhkan waktu tiga bulan hingga empat bulan, jadi adalah hal yang belum menguntungkan secara bisnis, jika ada perusahaan yang ingin berinvestasi di Aceh untuk membangun pabrik penanganan pipa pengeboran seperti yang ada di Batam.

Karena itu, adalah salah paham besar, jika BPMA tidak menginginkan agar kontraktor kontrak kerja sama (K3S), mengoptimalkan daya dukung pelabuhan di Aceh untuk kegiatan eksplorasi.

Lagipula, sambung Azhari, ketika proses customize pipa itu telah selesai dikerjakan di Batam, pihak Respol akan membawanya ke Pelabuhan di Lhokseumawe, dan menjadikan kawasan itu sebagai base logistik.

Respol sendiri, kata Azhari, telah menandatangani kontrak dengan pihak Pelindo di pelabuhan Lhokseumawe, untuk penyimpanan seluruh logistik dalam proses pengeboran dilepas laut yang saat ini mereka kerjakan.

“Jadi harus bisa kita bedakan, proses customize dan penyimpanan logistik,” sebut Azhari.

Lagipula, pengeboran sumur gas itu membutuhkan teknologi tinggi, dan standar suatu pengeboran mengikuti aturan secara internasional, begitu juga alat kelengkapannya, dan saat ini, diseluruh Indonesia, sesuatu alat pengeboran dinyatakan clearence atau telah memenuhi aspek persyaratan teknis, masih hanya bisa dikeluarkan dari Batam.

Sederhananya seperti begini, sambungnya, sebelum pipa masuk sumur pengeboran gas, maka seluruh alat tersebut harus di instalasi, diukur tekanannya, dicek ketebalannya, dan juga seluruh aspek dan resiko dilakukan quality control secara menyeluruh, nah, semua alat untuk pabrikasi dan pengecekan tersebut, saat ini hanya tersedia di Kota Batam.

Lantas, bagaimana agar proses pabrikasi itu bisa ada di Aceh, nah yang harus kita lakukan saat ini adalah mencari sumber-sumber minyak dan gas bumi sebanyak mungkin, agar masuk investasi ke Aceh untuk proses pabrikasi seluruh alat kelengkapan pengeboran migas, paparnya.

Contohnya seperti ini, saat di Aceh dulu masih sedikit yang menanam sawit, maka pilihannya adalah mengirim buah sawit itu ke Medan untuk dijual dalam bentuk TBS. lalu, ketika produksi TBS melimpah, tentu akan ada investor yang mau berinvestasi membangun pabrik kelapa sawit di Aceh, sebutnya.

BPMA sendiri, sambung Azhari, terus berkomitmen untuk menjadikan wilayah Aceh sebagai basis pendukung untuk kegiatan offshore dan juga eksplorasi migas. Dan saat ini, sambungnya, pihaknya telah menjajaki kerjasama dengan Badan pengusahaan kawasan sabang (BPKS), untuk kemungkinan kawasan itu dijadikan sebagai Marine Logistic Suplly Base. “BPMA dan BPKS telah beberapa kali melakukan pertemuan, untuk membahas dan mendiskusikan perihal tersebut,” tukasnya.

Jadi, selaku regulator Migas di Aceh, kita memberikan edukasi kepada BPKS, mengenai aturan-aturan, dan aspek teknis yang harus dimiliki kawasan Sabang, agar dapat dijadikan sebagai Marine Logistic Supply Base. “Tentu kita berpikir bahwa, kehadiran BPMA harus dapat memberikan kemanfaatan bagi Aceh yang kita cintai ini,” kata Azhari. (SKY)

Shares: