News

Alasan Buruh Tolak Rumus Baru Upah dan Pesangon Jokowi

Jokowi: Aturan Turunan UU Cipta Kerja Segera Terbit
Massa yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) berunjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja, di depan Gedung DPRD Kota Cilegon, Banten, Selasa, 20 Oktober 2020. ANTARA/Asep Fathulrahman

POPULARITAS.COM – Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) Indra Munaswar menolak tegas 3 Peraturan Pemerintah (PP) turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo. Menurutnya tiga regulasi tersebut cacat prosedur sejak awal sehingga hasilnya pun tak bisa diimplementasikan.

Ia mencontohkan, misalnya, PP 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Dalam beleid tersebut, dalam keadaan tertentu besaran pesangon kepada korban pemutusan hubungan kerja (PHK) bisa lebih kecil dari ketentuan UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Dari sini saja sudah aneh. bagaimana tiba-tiba di PP bisa bervariasi kan enggak benar karena Undang-undangnya sudah tidak benar. Itu prinsip yang kami sikapi,” ujarnya, Selasa (23/2/2021).

Tak hanya soal pesangon, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan menurutnya juga bermasalah. Salah satunya lantaran upah minimum provinsi dijadikan patokan besaran upah di wilayah kabupaten/kota.

Jika kabupaten/kota ingin menetapkan upah minimum sendiri, mereka harus memenuhi variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah dihitung berdasarkan rata-rata tiga tahun terakhir dari data yang tersedia.

“Soal upah provinsi itu dijadikan patokan upah kabupaten/kota sudah keliru. Upah kabupaten kota itu situasional. Akibatnya akan menjadi masalah sehingga dalam pelaksanannya akan susah, karena kota kabupaten itu kan variatif. Contoh lah, Jawa Barat. Karawang sama Cimahi saja sudah berbeda,” tuturnya.

Sementara itu, Presiden Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) Mirah Sumirat menilai kebijakan pengupahan yang tercantum dalam PP36/2021 akan merugikan buruh.

Pasalnya, formula penghitungan upah tak lagi menggunakan komponen kebutuhan hidup layak (KHL) melainkan hanya pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah. “Ini bisa jadi penurunan upah luar biasa untuk besok. Itu sudah terjadi di 2021 karena adanya covid-19 jadi enggak naik,” terangnya.

Sebagai anggota dewan pengupahan nasional, ia juga menilai komponen KHL sangat diperlukan karena variabelnya sangat bervariasi. Karena itu perubahan kuantitas pada sejumlah item KHL sering terjadi untuk menyesuaikan kebutuhan pekerja.

Menurut mereka perubahan itu bahkan harusnya mempertimbangkan anjuran dari ahli gizi dan juga kebutuhan pekerja yang telah diperbarui.

“Artinya apa, kalau enggak ada lagi KHL, ya sudah makin apes lah kita sebagai buruh,” ujarnya.

Sebagai informasi, dalam PP 78/2015, kenaikan upah minimum hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Sementara, berdasarkan PP 36/2021, penyesuaian upah minimum ditetapkan pada rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah upah minimum pada wilayah yang bersangkutan.

Batas atas upah minimum merupakan acuan nilai upah minimum tertinggi yang dihitung menggunakan variabel rata-rata konsumsi perkapita dan rata-rata banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART) yang bekerja pada setiap rumah tangga. Sementara, batas bawah upah minimum merupakan acuan upah minimum terendah yang besarannya 50 persen dari batas atas upah minimum.

Kemudian, nilai batas atas dan batas bawah bersama variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi provinsi digunakan untuk menghitung formula penyesuaian nilai upah minimum.

Sumber: CNN

Shares: