HeadlineNews

Aktivis Perempuan Desak DPRA Tunda Pengesahan Raqan Hukum Keluarga

Ilustrasi keluarga | Foto Mommiesdaily

BANDA ACEH (popularitas.com) – Aktivis perempuan dan anak di Aceh mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk menunda pengesahan Rancangan Qanun Hukum Keluarga. Mereka juga mendesak DPRA untuk membuka kembali ruang untuk menyempurnakan substansi qanun dengan melibatkan lebih banyak pihak berkepentingan.

Demikian disampaikan Ketua Presidium Balai Syura, Khairani Arifin, saat memberikan kesimpulan hasil diskusi publik tentang Raqan Hukum Keluarga yang dilaksanakan di Kriyad Muraya Hotel Banda Aceh, Rabu, 4 September 2019.

Meskipun demikian, para aktivis perempuan dan anak tersebut menilai Rancangan Qanun Hukum Keluarga penting karena dapat menjadi peluang bagi Pemerintah Aceh dalam membangun sistem ketahanan keluarga untuk melindungi dan memenuhi hak perempuan dan anak. Untuk itu Raqan Hukum Keluarga ini dinilai perlu dilakukan konsultasi dengan Mahkamah Agung sebelum pengesahan.

“Harapan besar diletakkan pada Raqan ini karena Balai Syura dan organisasi masyarakat sipil lainnya meyakini ada banyak permasalah yang dapat diselesaikan jika substansi yang diatur dalam Raqan Hukum Keluarga ini sungguh-sungguh menerapkan azas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, maka substansi yang diatur dalam raqan ini harus benar-benar menyelesaikan permasalahan yang sudah ada, bukan menimbulkan permasalahan baru,” ujar Khairani.

Dia turut mengutip data yang dipaparkan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh. Dalam data tersebut diketahui setiap tahun terjadi peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebanyak 65 persen diantaranya terjadi di dalam rumah tangga.

Pada sisi lain, kata dia, Bappeda Aceh Utara mencatat 4.250 pasangan suami istri masih menunggu untuk itsbat nikah karena menghadapi masalah administrasi perkawinan akibat konflik dan tsunami. Persoalan yang sama diperkirakan juga dihadapi di banyak kabupaten lainnya di Aceh.

Lebih lanjut, Balai Syura berharap Raqan Hukum Keluarga dapat diimplementasikan secara efektif. Karena itu diharapkan pembuat kebijakan agar mengedepankan kehati-hatian dalam mengatur kewenangan pelaksana qanun.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Balai Syura, ditemukan adanya persoalan secara substansi yang dapat menempatkan perempuan pada kerentanan baru dan mengalami masalah-masalah yang mengganggu kesejahteraan perempuan, anak dan lansia yang menjadi para pihak dalam rumah tangga. Untuk itu menurutnya tindakan yang paling bijaksana saat ini adalah menunda pembahasan akhir dalam Rapat Paripurna.

“Kami menyadari bahwa DPRA sangat ingin menyelesaikan tanggungjawab pengesahan rancangan qanun ini pada akhir masa jabatan di bulan September 2019 ini, tetapi jika hal tersebut dipaksakan, maka dampak yang akan muncul sangat merugikan bagi perempuan dan anak,” katanya.

Sementara itu, Koordinator Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam UIN Arraniry, Dr. Rasyidah, M.Ag mengatakan, Raqan Hukum Keluarga sepatutnya mengatur mengenai konsep nafkah yang lebih tegas karena kekerasan dalam rumah tangga yang paling tinggi adalah penelantaran ekonomi. Dia juga menyarankan agar qanun tersebut juga menetapkan aturan nusyuz bagi suami yang menelantarkan keluarganya.

“Rancangan Qanun ini juga menafikan golongan masyarakat non-Muslim yang sesungguhnya juga merupakan masyarakat di Aceh,” ungkapnya.

Masukan terhadap Raqan Hukum Keluarga juga disampaikan Wakil Ketua Mahkamah Syariah Aceh, Rosmawardani. Dia menyarankan isi qanun tersebut nantinya juga mencantukan pola penyelesaian satu pintu untuk persoalan-persoalan keluarga, seperti KDRT dan juga perceraian. “Raqan ini harusnya mengatur tentang Pengadilan Keluarga sehingga persoalan dalam keluarga bisa diselesaikan secara komprehensif dan melindungi perempuan dan anak,” tambahnya.

Sementara Arfian dari ICAIOS justru menyikapi Raqan Hukum Keluarga belum layak untuk disahkan di Aceh. “Bahkan untuk 10 tahun ke depan. Sebelum negara mampu menyediakan infrastruktur dan aparatur pelaksana dengan kuantitas dan kualitas yang cukup serta anggaran yang memadai untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Raqan ini,” kata Arfian.

Sementara Marty Mawarpury mewakili unsur psikolog di Aceh, menilai Raqan ini masih sangat sedikit mengatur tentang aspek kuratif, preventif dan rehabilitatif terhadap persoalan “psikologis” yang dihadapi oleh perempuan dan anak, akibat poligami dan perceraian. Menurutnya kondisi perkembangan keluarga di Indonesia harus diakui masih rapuh.

“Karena itu Raqan ini perlu mengatur secara khusus mekanisme yang dapat dirujuk oleh perempuan dan anak atas dampak psikologis tersebut. Raqan diharapkan juga mengatur dengan jelas ketentuan mengenai kursus pranikah dan mendorong adanya unsur psikolog untuk menguatkan kesiapan mental pasangan yang akan menikah,” katanya.* (BNA/RIL)

Shares: