News

Aktivis Balai Syura Nilai Raqan Poligami Belum Tepat Diterapkan di Aceh

BANDA ACEH (popularitas.com) – Aturan tentang legalitas poligami yang bakal dituang dalam Qanun Hukum Keluarga di Aceh terus mendapat sorotan dari sejumlah pihak. Banyak yang menentang, tetapi tak sedikit juga yang mendukung. Termasuk aktivis Balai Syura Ureung Inong Aceh, Suraiya Kamaruzzaman.

Melalui siaran persnya, Rabu, 10 Juli 2019, Suraiya menyebutkan pengaturan dengan sangat khusus tentang pelegalan poligami masih belum tepat diterapkan di Aceh. Hal tersebut dilatarbelakangi masih banyaknya masyarakat Aceh yang hidup dalam garis kemiskinan.

“Dan banyaknya persoalan sosial lain yang ada di masyarakat, dan masih banyak hal lainnya yang lebih urgensi untuk diatur dan diprioritaskan,” kata Suraiya.

Dia kemudian merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan Aceh masuk dalam peringkat angka kemiskinan tertinggi di Sumatra, dan nomor enam tertinggi di Indonesia dengan persentase 15,97 %.

Menurut Suraiya, hal tersebut dianggap lebih penting untuk diselesaikan daripada urusan melegalkan poligami.

“Balai Syura melihat bahwa hal ini tidak mengakomodir kepentingan perempuan, tetapi akan menyebabkan semakin maraknya praktik-praktik poligami di Aceh. Kebijakan ini tentu hanya akan menguntungkan pihak-pihak yang akan melakukan poligami, tapi diragukan akan menguntungkan perempuan dan anak. Karena dari banyak kajian menyebutkan bahwa anak-anak dan perempuan akan lebih sejahtera dan bahagia apabila hidup dalam perkawinan monogami, dimana hanya ada keluarga inti yang terdiri dari  ayah, ibu dan anak-anak,” ungkap Suraiya.

Persepsi yang terlalu maskulin dalam melihat poligami menurutnya hanya akan menguntungkan pihak laki-laki,  dan dipakai dalam merumuskan kebijakan ini. Seharusnya, kata dia, qanun ini diarahkan untuk kepentingan  penguatan ketahanan keluarga, dan menyelesaikan persoalan-persoalan kesejahteraan keluarga. “Bukan fokus pada melegalkan praktik poligami yang menyebabkan istri dan anak yang dalam banyak paktik malah menjadi terlantar,” ujarnya.

Secara hukum, pengaturan dan pelegalan poligami telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dengan syarat-syarat khusus. Pengaturan kembali tentang poligami dalam rancangan qanun ini juga dinilai akan menjadi tidak produktif dan tumpang tindih, serta menimbulkan kebingungan dalam praktek pelaksanaannya.

“Balaisyura menilai pengaturan tentang poligami dalam rancangan qanun, malah menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak setara, dan menafikan kesejahteraan dan keadilan bagi perempuan dan anak, dan hanya memperhatikan kepentingan laki-laki. Alasan pengaturan poligami untuk menyelesaikan persoalan nikah siri, dan perlindungan perempuan dan anak dalam pernikahan siri sangat tidak beralasan,” tambahnya lagi.

Untuk penyelesaian nikah siri, kata dia, seharusnya dibuat aturan sebaliknya yaitu dengan menerapkan kebijakan penghapusan nikah siri. Dia juga menilai beberapa pasal dalam raqan tersebut sangat diskriminatif dan merugikan perempuan dan anak.

”Jika eksekutif dan legislatif yang sedang membahas raqan keluarga, memuat pasal poligami dengan tujuan untuk perlindungan perempuan dan anak, meskinya pengaturan poligami  fokus untuk mengatur cara mencegah problem sosial poligami seperti penelantaran nafkah keluarga, apa sanksinya kalau ditelantarkan dan apa skema pemenuhan nafkah jika terjadi penelantaran,” sebutnya.

Dalam pembahasan rancangan qanun ini, pihak legislatif sangat minim melibatkan perempuan untuk menyuarakan pendapatnya terkait dengan masalah dan kebutuhan perempuan dan anak untuk penguatan ketahanan keluarga. Dia mencontohkan seperti peningkatan perekonomian keluarga, peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan dan kehidupan sosial lainnya.

“Balai Syura mendesak pemerintah Aceh untuk meninjau kembali pengaturan tentang pelegalan poligami di dalam kebijakan daerah, dan lebih fokus mengatur pencegahan nikah siri  dan berbagai upaya lain untuk mensejahterakan masyarakat, termasuk anak-anak, perempuan dan kelompok rentan lainnya,” ujarnya lagi.

Tak hanya itu, Suraiya juga melihat adanya upaya mempermudah poligami dalam raqan yang kontroversi tersebut. Salah satunya adalah memangkas syarat poligami sebagaimana yang telah diatur dalam KHI.

“Di KHI, ada tiga persyaratan harus terpenuhi baru boleh poligami. Namun, raqan tersebut dibuat menjadi salah satu dari tiga yang terpenuhi sudah  boleh melakukan poligami. Selain itu, kalau di KHI, jika istri tidak setuju bisa membawa kasus sampai ke kasasi, tapi kalau di raqan kalau istri tidak setuju Mahkamah Syariah berhak memutuskan. Jadi isi pasalnya lebih berpihak keinginan para poligamor dari pada upaya perlindungan perempuan,” katanya.

Selain dari hal itu, kata dia, sebaiknya qanun keluarga tidak hanya bersifat normatif, seperti mengurusi persoalan pernikahan, perceraian dan poligami saja. Namun juga dituntut agar memasukkan indikator-indokator ketahanan keluarga yang dapat diukur untuk kesejahteraan keluarga, “termasuk perempuan dan anak.” * (RIL)

Shares: