News

Ada Apa dengan Status Hutan Adat Aceh?

Ilustrasi | Tuhoe

BANDA ACEH (popularitas.com) – Ilyas, seorang Imum Mukim Beungga di Pidie, bingung dengan nasib hutan adat di daerahnya. Hingga saat ini, nasib hutan adat masih menggantung lantaran belum ada penetapan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Anehnya tidak diketahui apa yang menjadi kendala sehingga nasib hutan adat di Aceh terkatung-katung. Padahal, pada Januari 2018, Indonesia melalui Kementerian LHK telah menetapkan wilayah hutan adat seluas 16.463 ha. Rencana penetapan hutan adat tersebut berada di 12 lokasi yang mencapai total luas lebih kurang 21.331 ha. Jumlah ini mencakup areal hutan adat yang telah ditetapkan, dan areal pencadangan yang mencakup 8.976 KK sebagai penerima manfaat langsung.

Dari 12 lokasi itulah, tiga diantaranya berada di Aceh. Ketiga lokasi tersebut yaitu Mukim Beungga, Kecamatan Tangse yang memiliki luas 10.988 hektare hutan adat. Selanjutnya Mukim Paloh di Kecamatan Padang Tiji seluas 4.106 hektare, dan Mukim Kunyet masih di kecamatan yang sama seluas 2.921 hektare.

Ilyas mengaku pihaknya sudah mengikuti semua prosedur yang ditetapkan agar hutan adat di Beungga dapat terwujud. Semua regulasi pun sudah diserahkan kepada pihak terkait. “Tim KLHK bahkan sudah melakukan verifikasi awal hutan adat Mukim Beungga pada 8 Maret 2017 lalu,” ujar Ilyas, di hadapan peserta Focus Group Discussion (FGD) bertema “Mengapa belum ada penetapan hutan adat di Aceh”. FGD ini dilaksanakan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) di aula MJC, Banda Aceh, Rabu, 11 September 2019.

Hadir dalam FGD tersebut beberapa imum mukim yang ada di Aceh, perwakilan JKMA, elemen sipil yang bergerak di bidang adat, dan para jurnalis.

Ilyas kemudian membeberkan kronologis rencana penetapan hutan adat di wilayah kemukimannya. Rencana itu berawal dari sebuah pertemuan pada 2007 lalu. “Setelah itu kami semakin serius membahas penyelamatan wilayah adat dari bencana ekologis,” sebutnya.

Ilyas optimis memperjuangkan nasib hutan adat di Kemukiman Beungga agar menjadi jelas. Terlebih Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan putusan bernomor 35 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa hutan adat berada di wilayah adat dan bukan di kawasan hutan negara.

“Apapun yang kami lakukan demi masyarakat. Kami tidak akan mengubah fungsi hutan, bahkan akan melakukan penjagaan hutan secara lebih ketat lagi,” ujar Ilyas.

Dia berharap keberadaan hutan adat dapat mencegah aksi pembalakan liar dan menyelamatkan sumber air serta mencegah erosi. Tentunya pencegahan tersebut dilakukan dengan aturan adat yang berlaku di Aceh.

Selama tiga tahun terakhir, Ilyas mengaku sudah beberapa kali menghadiri pertemuan dengan tim KLHK di Jakarta. “Di Beungga telah 3 tahun lamanya kami mengurus hutan adat, tapi sampai sekarang belum ada penetapan dari Kementerian LHK atau dari pemerintah Republik Indonesia,” sebutnya.

Upaya legalisasi hutan adat terus dilakukan Mukim Beungga. Hingga akhirnya mereka mengetahui salah satu penyebab hutan adat di Aceh tak kunjung direstui pemerintah pusat. Menurut Ilyas, pihak KLHK berdalih hutan adat di Aceh secara umum tumpang tindih dengan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI).

“Jadi mereka bilang hutan adat di Kabupaten Pidie, atau di Aceh umumnya, tumpang tindih dengan konsesi HTI. Namun, setelah kami verifikasi ulang, ternyata di Beungga tidak semuanya kena klaim masuk HTI,” kata Ilyas.

Ilyas kemudian menceritakan perjuangan mereka yang kembali mendatangi KLHK usai dinyatakan hutan adat Aceh tumpang tindih dengan konsesi HTI. Pihaknya bahkan mendesak KLHK agar menetapkan hutan adat yang ada di luar HTI seluas 5.390 hektare. Namun, usulan itu belum juga mendapat respon positif dari lembaga yang bersangkutan.

Alasan menggantungnya nasib hutan adat di Aceh kembali berubah pada 27 Juni 2019. Beberapa Imum Mukim di Aceh yang langsung mendatangi KLHK kembali harus menelan ludah pahit terkait nasib hutan adat di kawasan mereka.

“Kata mereka (KLHK), Pidie sudah masuk peta indikatif,” terang Ilyas.

Pihaknya kemudian diminta melengkapi peta penambahan untuk tiga mukim di Kabupaten Pidie. Namun, kata Ilyas, hingga hari hari ini peta tersebut belum mereka terima dari Pemkab Pidie. “Itu kendala,” ujarnya.

Angin segar terkait penetapan hutan adat di tiga mukim tersebut kerap mereka terima kala bertemu Tim KLHK di Jakarta. Seakan-akan harapan mewujudkan hutan adat tersebut segera terealisasi. Namun, bak api jauh dari panggang. Penetapan hutan adat tiga kemukiman di Aceh itu tak jua menjadi kenyataan.

“Hari ini kita bicarakan, jawabannya seolah-olah besok atau lusa sudah turun penetapannya. Tapi sampai sekarang belum ada apa-apanya,” ucapnya.

Ilyas mengaku kesal dengan harapan palsu yang diberikan Tim KLHK tersebut. Jikapun hutan adat tak mampu diwujudkan, seharusnya mereka tidak diberikan harapan. “Ini diberikan harapan-harapan yang serius. Sehingga kita menggantungkan harapan,” ketus Ilyas.

Di sisi lain, masyarakat di kemukimannya kerap mempertanyakan hasil pertemuan dengan Tim KLHK. Lagi-lagi, Ilyas terpaksa turut memberikan angin segar kepada warga di kemukimannya karena gerah dengan kondisi tersebut. “Paling saya bisa jawab, tunggulah beberapa hari lagi. Tapi nyatanya sampai sekarang belum ada penetapannya, entah dimana tertahan,” sebut Ilyas.

Di kesempatan yang sama, Sekretaris Pelaksana JKMA Aceh, Zulfikar Arma, menyebutkan Pemerintah Aceh telah mengusulkan 13 mukim di Aceh untuk mendapatkan status hutan adat. Sementara total luas hutan adat yang diusulkan mencapai 145.250,24 hektare. Jumlah ini tersebar di empat kabupaten, meliputi Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Terdiri atas 144.497,27 hektare berada dalam kawasan hutan, dan 752,95 hektare di luar kawasan hutan.

“Usulan hutan adat untuk mukim Beungga, Kunyet dan Paloh mulai dari 2006. Kemudian di tiap tahunnya ada beberapa kali pertemuan kita lakukan dengan pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat berada di Direktorat PKTHA,” ujar Zulfikar.

Zulfikar mengatakan pada tahun 2017 sempat keluar surat perintah dari KLHK kepada Balai Perhutanan Sosial Kemitraan Lingkungan (BPSKL) wilayah Sumatera untuk melakukan verifikasi hutan adat di Aceh. Namun, hasilnya sampai sekarang tidak diketahui.

“Belum ada tanda-tanda niat baik dari pemerintah pusat untuk melakukan penetapan soal hutan adatnya sendiri,” ungkap Zulfikar lagi.

Terkait hal ini, Kepala Bidang Planologi Kehutanan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Win Rima Putra, menyebutkan dalam regulasi penetapan hutan adat ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. “Pemerintah sebenarnya konsen terhadap hutan adat. Cuma mungkin selama ini formula belum kita temukan,” ujarnya.

Menurutnya, perlu duduk bersama semua komponen untuk membuat formulanya supaya apa yang diperjuangkan bisa berhasil. “Bagaimana kita mendorong apa yang kita usul ini, bisa beberapa waktu ke depan ini dengan segala hierarki kita tempuh, bisa kita tetapkan sebagai hutan adat,” tutur Win.* (RED)

Shares: