Dinas Kebudayaan dan Pariwisata AcehNews

Aceh, Monolog dan Pertunjukan Pesanan

POPULARITAS.COM – Tidak bisa dibandingkan antara teater tradisional dengan teater modern. Kalau pun bukan berbicara fase, untuk melihat kebaikan atau keburukan di dalamnya sangatlah naïf, apalagi andai seseorang berkata,

“Kuno, mereka hanya memakai topeng-topeng, berwujud makhluk tertentu, membesar-besarkan tubuh aktor dengan properti pendukung.” Atau, “sudah bisa ditebak, ujung-ujungnya aktor utama mati ditembak. Palingan rumah pelacuran isinya perempuan-perempuan dengan om-om genit yang saban hari menikmati dentuman musik sambil menenggak minuman keras bukan es batu!” tidak bisa dibandingkan dan tidak bisa buru-buru disimpulkan.

Setidaknya satu hal yang harus dipahami bahwa teater juga punya alirannya masing-masing.

Aceh, tentu saja dengan beberapa teater tradisinya, serupa Mop-mop, Dalupa, PMTOH, dan lain sebagainya, juga tidak bisa lepas dari beberapa fase perteateran dunia.

Selain itu, teknik pertunjukan, model, jenis yang dihadirkan juga tidak mungkin tidak terikat dengan perkembangan teater dunia, misal fase-fase awal perkembangan teater, selerti fase Yunani Klasik, Romawi Klasik, hingga Abad Pertengahan, yang kemudian ditransisi oleh fase Renaissance untuk menuju teater modern yang dimulai pada abad 20.

Beberapa waktu lalu, di Aceh sempat menyaksikan pertunjukan-pertunjukan teater dengan beragam teknik, alur/plot, yang segala kemungkinan yang dihadirkan di dalamnya membuat penonton bisa menikmati, kadang pula penonton tidak bisa mengerti apa maksud dari pertunjukan tersebut.

Boleh jadi, kurangnya penggarapan, sehingga alasan-alasan klise yang sering muncul karena hal ini semisal; kurangnya waktu untuk proses garapan, kemampaun aktor kurang terasah, ruangan kurang memadai untuk melakukan pertunjukan, dan kekurangan-kekurangan lainnya yang perlu kita cari solusinya bersama.

Aceh sempat punya harapan pada tahun 90-an awal. Aceh punya seniman, aktor, bahkan gedung pertunjukan yang memang pada masa itu cukup mendukung untuk dijadikan tempat pertunjukan.

Program Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh sudah berupaya menuju ke arah lebih baik. Pelatihan kesenian bagi guru dan pelatih sanggar/komunitas, khusunya monolog yang dilaksanakan pada bulan februari 2021 lalu, setidaknya memberikan bukti bahwa pemerintah sedang berupaya membangkitkan kembali kesenian yang sempat tenggelam bahkan dilupakan.

Pelatihan ini akan menjadi sebuah catatan baru dalam pengembangan sumber daya kesenian melalui belajar dengan pola menggabungkan teori dan praktek sehingga peserta nantinya lebih expert (memiliki keahlian) dalam mengemas sebuah konsep pertunjukan.

Nurlaila Hamjah, Kabid Seni dan Bahasa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh menuturkan, karya-karya atraktif dan hebat nantinya akan lahir setelah pelatihan ini.

“Kami yakin itu akan membawa secercah harapan baru bagi perkembangan seni teater di Aceh. Teruslah berkarya, berlatih dan lakukan duplikasi untuk pengembangan diri sendiri dan generasi penerus, menggerakkan motivasi agar semakin banyak org yang mencintai seni teater,” kata Nurlaila dalam keterangannya, Sabtu (3/4/2021).

Target akhir dari pelatihan kesenian bagi guru dan pelatih sanggar, yaitu
menggairahkan kembali pegiat seni teater untuk berkarya dan berkreatifitas di era new normal, yang mungkin selama pandemi aktivitasnya sempat sepi.

Kemudian memotivasi pecinta seni teater pendatang baru yang punya potensi, terutama kaum milenial sebagai langkah regenerasi agar seni teater ini terus tumbuh, berkesinambungan dan selalu mendapat tempat di hati pencintanya.

“Semoga pelatihan-pelatihan serupa dapat menggairahkan kembali pegiat seni teater untuk berkarya dan berkreativitas di era new normal, yang selama pandemi aktivitasnya sempat sepi. Kemudian, timbul motivasi pecinta seni teater monolog pendatang baru yang punya potensi, terutama kaum milenial sebagai langkah regenerasi agar seni ini terus tumbuh, berkesinambungan dan selalu mendapat tempat di hati pencintanya,” kata Nurlaila.

Menurutnya saat ini pekerja seni teater perlu terus belajar dan meningkatkan kapasitas dalam membuat konsep pertunjukan yang baik dan siap tampil di berbagai event ke depan dengan berbagai tema. Tidak hanya di Aceh namun juga di luar Aceh.

Pada tahun-tahun berikutnya, pelatihan ini tetap dilaksanakan agar teater monolog yang selama ini masih ada yang salah kaprah dalam memahaminya, dapat tercerahkan sehingga panggung-panggung teater monolog di Aceh tidak lagi menjadi sekadar ajang pementasan ecek-ecek yang tidak memiliki konsep yang gemilang.

“Semoga dinas terkait membuka peluang besar kepada sekolah-sekolah, guru-guru, komunitas atau sanggar-sanggar untuk menggali dan menampilkan pementasan melalui festival-festival teater monolog di tingkat lokal agar nama Aceh bisa bergaung di pentas nasional maupun internasional,” ucapnya.

Shares: