EkonomiNews

Aceh Jadi Provinsi Termiskin Karena Dinilai Salah Kelola Dana Otsus

Penggangguran dan Kemiskinan Global Meningkat Tajam Selama Pandemi
Ilustrasi. Foto merdeka.com

POPULARITAS.COM – Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) telah melakukan kajian masalah kemiskinan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Menurutnya, kemiskinan di Aceh bisa diatasi apabila dana otonomi khusus (otsus) dikelola dengan benar.

Peneliti KPPOD Arman Suparman menjelaskan persoalan kemiskinan di Aceh disumbang oleh persoalan tata kelola pembangunan di daerah. Seharusnya pembangunan di sana bisa difokuskan untuk memenuhi kebutuhan mayoritas masyarakat di Aceh.

“Tata kelola pembangunan, dari birokrasi dan pelayanan publik tidak banyak memberikan andil untuk kesejahteraan masyarakat. Ini juga salah satu kontribusi angka kemiskinan,” kelas Arman, Kamis (18/2/2021).

Tata kelola pembangunan dan implementasinya seharusnya fokus ke persoalan masyarakat di daerah. Kadang pemerintah daerah itu kurang tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat,” kata Arman melanjutkan.

Melihat sumber daya alam yang ada di Aceh, seperti kopi dan kakao, seharusnya kata Arman bisa dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyat di sana. Optimalisasi produksinya, menurut Arman salah satunya bisa digunakan melalui dana otsus.

Dana pembangunan di Aceh, kata Arman terbesar berasal dari dana otsus. Pun 50% penerimaan daerah berasal dari dana otsus yang setiap tahun digelontorkan oleh pemerintah pusat.

Masalahnya, pengelolaan dana otsus di Aceh, menurut Arman tidak dikelola dengan baik. Seperti diketahui, sejak 2008 – 2015 dana otsus di Aceh meningkat. Terakhir pada 2019 dan 2020, Aceh mendapatkan porsi dana otsus Rp 8,4 triliun, meningkat dibandingkan alokasi 2017-2018 yang sebesar Rp 8 triliun.

“Seharusnya dengan dana otsus itu bisa untuk mengatasi kemiskinan dan mensejahterakan rakyat Aceh. Caranya, dana otsus dialokasikan untuk pembiayaan prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Dari sistem perencanaan harus fokus.”

“Money follow program, ketika punya fokus, anggaran seharusnya mengikuti programnya. Ini yang belum optimal dijalankan Pemda Aceh. Juga dari pemerintah pusat kurangnya pengendalian dan pengawasan,” jelas Arman.

Oleh karena itu, menurut Arman pemerintah pusat semestinya bisa memberikan semacam NPSK. Atau lebih tepatnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah pusat sebagai pedoman dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren (bersaingan) serta menjadi kewenangan pemerintah pusat dan untuk menjadi kewenangan daerah.

Sementara dari tahun yang sudah berjalan, sambung Arman dana otsus di Aceh tidak dipergunakan secara rata, baik itu untuk infrastruktur, kesehatan atau pendidikan. Dari pengamatannya sejauh ini, dana otsus banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur di Aceh pun tidak memberikan multiplier effect yang signifikan untuk masyarakatnya.

“Seharusnya infrastruktur itu untuk mempermudah konektivitas masyarakat. Perlu meningkatkan kebijakan lain, karena mata pencaharian besar di Aceh kebanyakan adalah petani. Perlu memajukan kesejahteraan petani dengan program lain. Makanya dana otsus sebaiknya fokus,” jelas Arman.

Berdasarkan data BPS, sampai dengan Agustus 2020 jumlah mata pencaharian masyarakat di Aceh sebanyak 231,86 ribu masyarakatnya atu 21,42% bekerja di sektor pertanian. Kemudian 162,99 ribu orang atau 15,05% sebagai tenaga administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial, dan sebanyak 156,84 ribu orang atau 14,49% bekerja di jasa pendidikan.

Tahun 2021, pemerintah pusat juga telah memutuskan agar dana otsus Aceh berlanjut. Namun anggarannya berkurang dari tahun sebelumnya, menjadi Rp 7,8 triliun.

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu Astera Primanto Bhakti dan Direktur Pembiayaan dan Transfer Non Dana Perimbangan DJPK Kemenkeu Adriyanto tidak mau berkomentar.

Sumber: CNBC

Shares: