FeatureHeadline

16 Tahun Tsunami Berlalu, Rian Masih Tinggal di Shelter

16 tahun tragedi bencana gempa dan tsunami Aceh sudah berlalu. Rian, seorang penyintas masih tinggal di rumah shelter. Sudah beberapa kali mengajukan pembangunan rumah pada pemerintah, hingga sekarang belum terealisasi.
16 Tahun Tsunami Berlalu, Rian Masih Tinggal di Shelter
Rian Aldiansyah (32) tahun bersama keluarganya di Desa Lampaseh Kota, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh, Kamis (24/12/2020). (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

POPULARITAS.COM – Gempa dan gelombang Tsunami pada 2004 silam masih terekam jelas di ingatan Rian Aldiansyah (32), warga Lampaseh Kota, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh. Saat itu, Rian masih berusia 16 tahun.

Gelombang maha dahsyat itu bukan hanya menyapu harta dan tempat tinggalnya, tetapi juga sang ibunda tercinta. Pada Minggu, 26 Desember 2004 usai salat subuh, ibu dan ayahnya pamit untuk berjualan sayur di Pasar Kampung Baru, Kota Banda Aceh.

Sementara Rian dan beberapa saudaranya tinggal di rumah tersebut. Sekitar pukul 07.59 WIB, gempa 9,3 skala richter menggoyang Kota Banda Aceh. Rian dan keluarga pun panik tanpa kepalang.

“Orang tua saya, habis salat subuh langsung berangkat ke pasar, jadi tinggal kami di rumah,” kata Rian saat ditemui di kediamannya di kawasan Lampaseh, Kamis (24/12/2020).

Tak lama berselang, goyangan gempa mereda, keluarganya yang terdiri abang, kakak sepupu dan nenek pamit untuk melihat kondisi sang ayah dan ibunya di pasar. Sedangkan Rian tetap menetap di rumah.

Beberapa saat kemudian, teriakan terdengar bahwa air laut naik. Rian lalu bergegas lari mengikuti arah warga lainnya yang juga ikut berlarian. Suasana cukup padat, berbagai jenis kendaraan berjibaku untuk saling mendahului.

Rumah yang ditempati Rian Aldiansyah (32) tahun, warga Lampaseh Kota, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh, Kamis (24/12/2020). (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

“Jadi begitu ada teriakan air sudah naik, saya sempat ambil uang jajan dan kunci pintu, langsung saya lari, tiba di depan lorong saya melihat air sudah mengejar kami dari jembatan di Lampaseh,” katanya.

Saat berlari menyelamatkan diri, Rian pun terjebak dengan kemacetan. Ia kemudian naik ke atas atap angkutan labi-labi yang terparkir memanjang di Jalan Rama Setia, Kota Banda Aceh. Lalu berjalan hingga mencapai pasar Kampung Baru.

“Jadi tidak ada lagi jalan untuk lari, saya lari di atas labi-labi, jadi orang yang di Pasar Kampung Baru sudah keluar semua, sementara di luar sudah padat sekali, sehingga saya lari ke dalam pasar, tidak ada orang satu pun, saya sempat berdiri di lapak ayah dan ibu jualan, tidak ada orang lagi,” katanya.

Dari pasar Kampung Baru, Rian kemudian terus berlari hingga ke perkarangan Masjid Raya Baiturrahman (MRB). Ia lalu naik ke atas toilet yang berada di sudut masjid. Di sana, Rian menyaksikan langsung betapa dahsyatnya arus tsunami; mobil, rumah, kayu terbawa oleh air bah.

“Saya ingat betul, di luar sudah penuh satu tingkat toko, sementara di dalam masjid tidak ada air, mungkin ini kuasa Allah,” tutur Rian.

Tak lama berselang, Rian kemudian berjalan menuju ke dalam masjid. Di sana, ia melihat warga bergelantungan di atas kubah dan beberapa sisi masjid. Sedangkan Rian tetap bertahan di lantai masjid.

“Itu orang cukup banyak, ada yang naik ke kubah dan jam, tidak ada satu pun orang di lantai masjid, saya pasra, Alhamdulillah tidak masuk air ke dalam masjid. Saat air sudah surut, saya keluar dari masjid, saya melihat kakak sepupu sudah bersama jenazah ibu saya.”

Kemudian, Rian juga bertemu dengan sejumlah warga lainnya yang sekampung. Mereka memberi tahu bahwa ayah Rian selamat dan sedang berada di Masjid Muhammadiyah.

“Saya ke sana, rupanya ada, masih selamat, masih diberi umur panjang oleh Allah,” ujar Rian.

Dari Masjid Muhammadiyah, Rian lalu membawa sang ayah untuk berkumpul bersama keluarga lainnya di Masjid Raya Baiturrahman. Tak lama kemudian, Rian juga menemukan abangnya dalam kondisi selamat, namun mengalami luka-luka.

Di sela-sela itu, Rian juga sempat mencari angkutan L-300 untuk membawa pulang jenazah ibu ke Sigli, Kabupaten Pidie. Namun tak ada yang bersedia, karena BBM yang sangat langka.

“Kemudian saya pulang ke Sigli, selanjutnya pulang-pergi Banda Aceh untuk cari abang yang pertama dan nenek. Alhamdulillah hari kelima pulang ke Sigli, diselamatkan oleh PM setelah tersangkut di bawah jembatan Pante Pirak,” katanya.

Setelah menetap di Pidie beberapa bulan, Rian kemudian kembali ke Banda Aceh. Di sana, ia menetap di shelter yang disediakan oleh donatur, lokasinya persis berada di rumahnya yang sudah dihempas Tsunami.

“Saya kembali ke Banda Aceh, lalu disusul oleh ayah saya dan keluarga lainnya,” ujarnya.

Kondisi lantai rumah Rian Aldiansyah (32) tahun, warga Lampaseh Kota, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh, Kamis (24/12/2020). (Muhammad Fadhil/popularitas.com)

Menetap di Shelter Selama 16 Tahun

Meski gempa dan Tsunami Aceh sudah berusia 16 tahun, Rian tetap masih menetap di shelter Desa Lampaseh. Permohonan bantuan rumah sudah beberapa kali diajukan kepada pemerintah setempat, namun tak ada hasilnya.

Padahal, tempat tinggal yang ditempati Rian dan keluarga saat ini cukup memprihatinkan. Pada saat musim hujan misalnya, rumah Rian selalu digenangi air hujan. Demikian juga untuk toilet, masih digunakan bekas Tsunami.

“Di bawah ini air semua. Hujan sebentar, air meluap dan keluar nyamuk. Ini kamar mandi bekas rumah Tsunami, yang masih kami pakai. Pembuangan juga saya bangun sendiri, langsung ke septi tank, diserap sendiri oleh tanah,” katanya.

Kata Rian, beberapa tahun setelah Tsunami, pihaknya pernah mendapat bantuan rumah dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). Namun, rumah tersebut diserahkan kepada abangnya, dengan pertimbangan sudah berkeluarga.

“Kami kasih ke abang, karena abang sudah berkeluarga. Tidak mungkin kami tinggal bersama abang, karena sudah berkeluarga. Sehingga saya menetap di sini bersama ayah, hingga saya berkeluarga,” jelasnya.

Pengurusan rumah bantuan sudah dilakukan sejak 2009 saat ayahnya masih ada. Namun, dalam perjalannya selalu gagal. Pengurusan kembali dilakukan pada kesempatan lainnya, juga gagal.

“Kami coba lagi, juga gagal. Katanya, saya terkendala pada umur, karena minimal peraturan dari pemerintah itu 40 tahun untuk bisa mendapat rumah dhuafa. Kriteria saya dianggap masih produktif,” katanya.

Sehari-hari, Rian bekerja sebagai OB di kantor Keuchik Desa Lampaseh dengan gaji per bulan sekitar Rp 1,2 juta. Pada sore hari, Rian membantu sang istri berjualan gorengan dengan pendapatan tak menentu.

“Pendapatan jual gorengan tidak menentu, kadang-kadang saya juga usaha tarik ojek,” ucapnya.

Rian berharap, di momen peringatan 16 tahun Tsunami ini, pemerintah dapat membantu dirinya bersama keluarga untuk merehap tempat tinggal tersebut hingga layak huni.

“Saya sebenarnya tidak muluk-muluk, saya tidak berharap misalnya dibangun rumah bantuan layaknya orang lain. Yang saya harapkan mungkin atap tidak bocor. Mungkin di bawah ditimbun sedikit atau diikat bata sekitar setengah meter, serta ada saluran pembuangan, itu alhamdulillah sekali,” harap Rian. []

Editor: Acal

Shares: