News

14 Tahun Damai Aceh, Wali Nanggroe: Masih Banyak yang Harus Dibenahi

Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haytar | Repro

BANDA ACEH (popularitas.com) – Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haytar mengaku senang karena perdamaian di daerah tersebut sudah berusia 14 tahun. Dia berharap perdamaian Aceh dapat terus berlanjut di masa mendatang.

“Karena perdamaian diperlukan di Aceh untuk membangun Aceh. Masih banyak hal-hal yang harus dibenahi, terutama di sektor ekonomi, terutama pada masyarakat di gampong-gampong di Aceh,” kata Malik Mahmud di sela-sela peringatan 14 Tahun MoU Damai Aceh, di Banda Aceh, Kamis, 15 Agustus 2019.

Malik Mahmud berharap adanya kerjasama semua pihak untuk membangun Aceh pasca konflik berkepanjangan.

Di sisi lain, Malik Mahmud juga menyebutkan telah meminta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk menelaah kembali butir-butir perdamaian Aceh yang belum dilaksanakan hingga saat ini. Menurutnya semua kajian terhadap implementasi MoU Helsinki tersebut saat ini sudah disiapkan oleh tim yang dibentuk DPRA.

“Jika nanti sudah siap, akan saya bawa ke pemerintah,” kata Malik Mahmud yang mengaku tidak memasang target kapan telaah itu harus disiapkan oleh tim bentukan DPR Aceh.

Seperti diketahui, Aceh sempat mengalami konflik berkepanjangan setelah Belanda menginvasi daerah ini pada 26 Maret 1873. Perang Belanda di Aceh menyebabkan kerugian di kedua belah pihak. Setelah Aceh mendapat serangan dari Belanda, perang kembali berkecamuk di daerah tersebut setelah Jepang, yang ikut berperang dalam Perang Dunia II, turut menduduki Aceh.

Dalam catatan sejarah diketahui, Aceh kemudian menjadi daerah modal untuk mendirikan Indonesia sekaligus secara sukarela bergabung dengan negara baru bekas jajahan Hindia Belanda ini. Di perjalanannya, perang demi perang terus melanda kawasan tersebut seperti Perang Cumbok di awal kemerdekaan, kemudian diikuti dengan pemberontakan Daud Beureueh melalui Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Republik Islam Aceh (RIA), dan terakhir perlawana Tgk Hasan Muhammad di Tiro melalui Gerakan Aceh Merdeka atau Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF).

Perdamaian di Bumi Serambi Mekkah ini kemudian terbuka lebar setelah bencana alam gempa dan tsunami melanda Aceh. Lebih dari 200-an ribu jiwa melayang membuat kedua belah pihak, RI-GAM melakukan gencatan senjata. Jalan panjang menuju damai sebenarnya telah beberapa kali digagas, tetapi menemui jalan buntu. Akhirnya difasilitasi oleh Crisist Manajemen Initiative (CMI) bentukan mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, kesepakatan damai antara GAM dan RI baru tercapai pada 15 Agustus 2006.

Kedua belah pihak sepakat mengakhiri perang dengan menandatangani nota kesepahaman damai di Helsinki. Perdamaian yang dilakukan kedua kubu tersebut belakangan menjadi rujukan bagi negara-negara Asia yang turut dilanda perang saudara berkepanjangan.*(BNA)

Shares: